Gerakan Ekonomi Berdikari Bung Karno6 min read

“Kita mau menjadi satu Bangsa yang Merdeka, berdaulat penuh, bermasyarakat adil dan makmur, satu Bangsa besar yang hanyakrawarti, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja, otot kawat balung wesi, ora tendas palune pande, ora tendas gurindo…”

Soekarno (Pidato GESURI, 17 Agustus 1963)

Meskipun Pemerintah Kolonial Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949, namun tidak bisa dipungkiri bahwa hasil-hasil KMB sangat menguntungkan kepentingan ekonomi negeri kincir angin itu. Setidaknya untuk menopang perekonomian Kerajaan Belanda yang masih carut marut setelah Perang Dunia II, Pemerintah Kerajaan Belanda memandang penting mempertahankan perusahaan-perusahaannya di Indonesia.

Indonesia dipandang tetap amat penting bagi ekonomi negeri Belanda. Hal ini tercermin dari satu perkiraan resmi Belanda yang mengungkapkan bahwa pada tahun 1950 penghasilan total Belanda yang diperoleh dari hubungan ekonomi dengan Indonesia merupakan 7,8% dari pendapatan nasional Belanda. Tahun-tahun berikutnya, sampai pada tahun 1957, sewaktu semua perusahaan Belanda diambil alih Kaum Buruh Indonesia, angka presentase ini fluktuatif 8,2% di tahun 1951; 7% di tahun 1952; 5,8% di tahun 1953; 4,6% di tahun 1954; 4,1% di tahun 1955; 3,3% di tahun 1956; & 2,9 di tahun 1957.

Disisi lain, beberapa tokoh Indonesia terutama Wapres Bung Hatta yang memimpin delegasi Indonesia pada saat KMB menganggap hasil dari konferensi itu tetap harus diterima. Menurut mereka yang paling penting, Belanda menarik pasukan militernya dan menghargai kedaulatan politik Indonesia. Beberapa kelompok sayap kiri menganggap bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia, selain melakukan penindasan langsung terhadap Buruh dengan politik upah murah, juga merupakan perwujudan dari masih bercokolnya Neo-Kolonialisme (Nekolim) di Indonesia.

Menghadapi Nekolim yang masih bercokol di Indonesia terutama di lapangan ekonomi, Pemerintah berupaya untuk mengambil langkah untuk menyelamatkan sektor yang dianggap strategis, terutama perbankan. Pada tahun 1953, dilakukan Nasionalisasi terhadap De Javasche Bank dan kemudian berubah namanya jadi Bank Indonesia (BI). Serta membentuk 2 Bank Finansial yaitu, Bank Industri Negara (BIN) yang akan membiayai proyek-proyek, dan Bank Negara Indonesia (BNI) yang menyediakan foreign-exchange sekaligus membiayai kegiatan impor.

Di samping itu, karena desakan Kelompok Nasionalis Kiri, Kabinet Wilopo akhirnya melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan listrik dan penerbangan. Tindakan nasionalisasi ini semakin berkembang pesat karena didorong oleh mobilisasi Buruh oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Beberapa perusahaan Belanda yang berhasil dinasionalisasi kemudian dikelola dengan sistem Self-Management.  

Langkah pemerintah yang berikutnya ialah mengamankan usaha-usaha yang menyangkut harkat hidup orang banyak, seperti : Balai Gadai, beberapa wilayah pertanian penting, pos, telepon, listrik, pelabuhan, pertambangan, dan rel kereta api. Selanjutnya pemerintah membiayai perusahaan negara melalui BIN disektor produksi semen, tekstil, perakitan mobil, gelas, dan botol.

Langkah terakhir pemerintah adalah berusaha memutus kontrol Belanda di bidang ekspor-impor dengan mendirikan Pusat Perdagangan Perusahaan pada 1948 untuk mengekspor produk pertanian Indonesia. Pemerintah juga mendirikan Usaha Industri Indonesia (Usindo) tahun 1956 untuk mengekspor produk industri manufaktur dan mengimpor bahan bahan mentah untuk keperluan industri mereka.

Semua langkah intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi ini ditujukan untuk membangun infrastruktur bagi perkembangan kelas kapitalis dalam negeri. Program Menteri Keuangan waktu itu, Sumitro Djojohadikusumo menggambarkan dengan jelas maksud dari rencana ini. Dimulai pada medio 1951, BIN mengucurkan dana sebesar Rp 160 Juta untuk membiayai proyek-proyek industri.

Berbagai macam industri diantaranya pengolahan karet, tekstil, semen yang didirikan. Pemerintah menguasai kepemilikan serta manajemennya. Namun pemilik modal dalam negeri tak mampu memobilisir mereka untuk menjadi partner dalam industri-industri tersebut dan juga tak mampu menemukan usaha lain yang menguntungkan. Beberapa perusahaan yang dibeli oleh pemerintah ialah Indonesia Service Company (ISC). Perusahaan milik pemerintah ini membeli General Motors (GM); di Tanjung Priok mendirikan PT PELNI.

Upaya pemerintah Indonesia untuk mengembangkan sektor industri manufaktur yang modern, dikuasai dan dikendalikan orang orang Indonesia sendiri dimulai dengan Rencana Urgensi Ekonomi yang bertujuan mendirikan berbagai industri skala besar. Menurut rencana ini, pembangunan industri-industri akan dibiayai dulu oleh pemerintah kemudian akan diserahkan kepada pihak swasta Indonesia, Koperasi, atau dikelola sebagai usaha patungan antara Pemerintah dan pihak swasta nasional.

Untuk memperkuat perlawanan terhadap imperialisme dan kapitalisme, dan disisi lain memperkuat kemandirian ekonomi nasional, maka pada tahun 1950, pemerintahan Sukarno dan Perdana Menteri (PM) Mohammad Natsir, membangun poros kekuatan ekonomi baru, yakni GERAKAN BENTENG. Program ini memiliki tujuan utama untuk membangkitkan industri nasional terutama yang berbasis kepemilikan pribumi dan menempatkan sektor ekonomi vital, seperti perdagangan dan impor dibawah pengendalian negara.

Tujuan mulia dari program Benteng ternyata berbeda dalam prakteknya dilapangan. Borjuasi nasional yang terdiri dari kaum priyayi dalam partai-partai berkuasa, tidak memiliki kapasitas borjuisme yang cukup. Pada prakteknya muncul kelompok-kelompok pengusaha pribumi yang menyelewengkan izin ini : dengan menjualnya kepada pengusaha asing, terutama pengusaha-pengusaha Tiongkok.

Pengusaha-pengusaha “Pribumi Dadakan” tersebut sama sekali tidak memiliki bekal kemampuan usaha yang memadai. Akhirnya mereka hanya “menyewakan” izin tersebut kepada pengusaha-pengusaha swasta lainnya, yang umumnya berasal dari pengusaha keturunan non-pribumi (mayoritas pengusaha keturunan Tiongkok). Praktek kongkalikong inilah yang melahirkan istilah “Ali-Baba”. Si Ali yang memiliki izin dan si Baba yang memiliki uang untuk modal mengerjai izin tersebut.

Hampir seluruh program ekonomi Pemerintahan Sukarno dari era demokrasi parlementer hingga awal Demokrasi Terpimpin kandas ditengah jalan. Penyebabnya adalah :

  1. Situasi politik yang diwarnai manuver dan sabotase, terutama dari kelompok-kelompok politik sayap kanan yang tidak menghendaki kemandirian ekonomi nasional. Pemberontakan PRRI/Permesta dan kekacauan-kekacauan keamanan didaerah sengaja dilakukan pimpinan-pimpinan militer untuk memblokir kebijakan ekonomi proklamator tersebut serta mengakumulasi sentimen anti-pemerintah pusat. Bahwa kenyataan menunjukkan perwira-perwira militer tersebut terutama mereka yang ikut PRRI/Permesta memanfaatkan situasi ini untuk terlibat dalam urusan bisnis, dan jadi cikal bakal dari Militer berbisnis dalam sejarah negeri ini.
  2. Pertarungan kekuasaan antar elit politik di tingkat pusat tidak memberikan kesempatan pada Sukarno dan kabinetnya tersebut.
  3. Borjuasi dalam negeri yang diharapkan menjadi kekuatan pokok dalam mendorong industrialisasi dan kegiatan perekonomian lainnya justru tidak memiliki basis “Borjuis” yang tangguh. Mereka tak ubahnya bagai calo yang memperdagangkan izin.

Kendati berkali-kali mengalami kegagalan, Sukarno kemudian menekankan bahwa haluan ekonomi baru ini berhasil jika didukung oleh Rakyat banyak. Dalam usaha memasifkan dukungan dari Rakyat, Sukarno lahirkan gagasan Trisakti : Berdaulat dibidang politik, Berdikari dibidang ekonomi, & berkepribadian dalam budaya. Kemudian pada peringatan HUT RI Ke-14 17 Agustus 1959, Sukarno berpidato yang berjudul Penemuan kembali Revolusi kita, yang terkenal menjadi pedoman Manifesto Politik RI (Manipol) . Dalam pidato ini, secara garis besar Sukarno mencanangkan dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin. Pada intinya Manipol terdiri atas 5 hal pokok : UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia, yang disingkat USDEK.

Sejak saat itu, setiap gerak dan langkah seluruh komponen bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sistem Ekonomi Terpimpin menuntut seluruh unsur-unsur perekonomian Indonesia menjadi alat revolusi. Dalam Ekonomi Terpimpin, kegiatan perekonomian ditekankan pada konsep gotong royong dan kekeluargaan atau Demokrasi Ekonomi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 33 UUD tahun 1945. Yang pada perkembangan selanjutnya kegiatan ekonomi Indonesia berlandaskan Manipol/USDEK juga dilandaskan atas strategi dasar ekonomi Indonesia yang diamanatkan dalam Deklarasi Ekonomi (Dekon) oleh Presiden Sukarno pada 28 Maret 1963.

Dalam pidato yang bertajuk “Amanat Banting Stir” didepan muka sidang umum MPRS Ke-3 tanggal 11 April 1965, Sukarno menyerukan kepada seluruh kekuatan pokok Revolusi : Buruh, Tani, Mahasiswa, dan seluruh elemen Bangsa untuk memperbesar kekuatan ekonomi negara agar bisa lepas dari kepentingan asing. Sangatlah jelas bahwa Indonesia pernah punya sejarah panjang dalam melakukan pergulatan membangun haluan ekonomi baru yaitu, Berdiri Diatas Kaki Sendiri (Berdikari) untuk melepaskan diri dari belenggu kapitalisme dan imperialisme.

Revolusi Belum Selesai! Menangkan Marhaen!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like