Habitus Membaca Buku & Menulis di Media Online7 min read

Setiap data statistik yang dipublikasikan terkait minat baca, seringkali memberikan kabar buruk—dan bahkan kabar ini seakan menjadi “langganan”—menempatkan Indonesia pada posisi yang sangat rendah. Mungkin kita ingin melawannya dengan sikap optimis, dah bahkan “menuduh” data data tersebut tidak benar. Namun indikator yang menegaskan sekaligus bisa menjadi instrumen konfirmatif atas kebenaran data statistik tersebut sangat nyata di hadapan mata. Dan semakin meyakinkan ketika muncul statement Haedar—sebagaimana dikutip oleh Arif Yudistira (2018)—“Mengumpulkan orang berdemo lebih mudah daripada mengajak orang untuk membaca di perpustakaan”.

Hari ini kita sedang dalam pusaran peradaban digital dan sekaligus era disrupsi. Menimbulkan banyak perubahan, mempengaruhi nalar, menuntut kemampuan adaptif dan inovasi. Terlambat sedikit saja, akan tergilas roda kehidupan. Tesis Michael Foucault “knowledge is power”-pun seakan sudah tergilas dan tergantikan dengan tesis “speed is power”. Kini manusia berada dalam ekstasi kecepatan.

Mungkin sudah bisa menjadi mantra pamungkas apa yang dikatakan oleh Rhenald Kasali (2017) sebagai respon pencerahan menghadapi situasi kehidupan, “motivasi saja tidak cukup, dibutuhkan kemampuan membaca ‘where we are’ dan ‘where we are going to’. Dibutuhkan kemampuan membaca posisi diri di tengah realitas kehidupan, di tengah-tengah kosmos, sebelum mengetahui dan menentukan kemana akan melangkah.

Membaca “where we are” apalagi “where we are going to” bukanlah sebuah perkara mudah. Kehidupan hari ini tumpang tindih, batas-batas telah lenyap, organisme kebudayaan telah mengalami kekacauan, telah terjadi transformasi kehidupan dari kehidupan ekspansif ke kehidupan inersia, “malas tabayyun”. Semua yang terjadi ini, bisa kita temukan secara jelas, baik dalam realitas sosial maupun dalam narasi-narasi semiotik Yasraf Amir Piliang (2011).

Batas-batas yang hilang bukan hanya batas teritorial antara negara yang satu dengan negara yang lainnya, tetapi termasuk—di antara banyak batas-batas lainnya—“batas politik”, sulit membedakan antara negarawan dan pecundang, lenyapnya “batas sosial”, sulit membedakan antara mainan anak-anak dan mainan orang dewasa. Kekacauan organisme kebudayaan—satu dari sekian banyak—adalah ketika dengkul menjadi otak, sehingga kini, manusia lebih banyak dan sering bertindak daripada berpikir.

Selain daripada itu, ketika kita pernah membaca “dongeng” tentang pangeran kecil yang diculik oleh nenek sihir dan disembunyikan di atas sebuah menara yang hanya punya jendela yang berterali besi. Pada saat sang pengeran kecil membenturkan mahkotanya pada terali besi untuk bermaksud minta tolong, justru pesan yang sampai pada masyarakat sekitar menara adalah “suara merdu”. Realitas sesungguhnya, “adanya pangeran kecil yang membutuhkan pertolongan”, sama sekali pesan itu tidak sampai.

Dari selaksa deskripsi problematika di atas termasuk dongeng tentang pangeran kecil, pada substansinya saya ingin menyampaikan bahwa hari ini, membaca realitas kehidupan yang sebenarnya bukanlah perkara yang mudah, belum lagi produksi dan reproduksi hoax di media sosial yang sangat massif dan ditunjang oleh model manusia yang telah mengalami apa yang disebut kehidupan inersia dan semakin terseret dalam arus “negatif” dunia virtual.

Menjawab problematika tersebut, maka sesungguhnya dibutuhkan sebuah habitus membaca. Meskipun telah banyak dipahami bahwa term “membaca” memiliki cakupan makna yang luas, apalagi teks yang dibaca pun cakupannya juga luas. Meliputi segala realitas yang ada—realitas adalah teks itu sendiri—namun membaca buku adalah merupakan hal penting dan utama untuk menjawab berbagai problematika kehidupan hari ini.

Jika kita membaca sejarah, kita menemukan preseden historis yang inspiratif dan memantik kesadaran betapa pentingnya membaca buku. Para founding fathers Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir dan Tan Malaka adalah sosok yang memiliki semangat membaca yang tinggi terhadap buku. Bahkan—sebagaimana saya kutip dari tulisan Asratillah—konon, Bung Hatta pernah berkata, “dirinya rela dipenjara, asalkan bersama buku-bukunya”.

Bagi Asratillah (2020)—sebagaimana dirinya terinspirasi pula dari Max Weber—“buku bukanlah sekedar kertas atau halaman-halaman, tetapi semacam ruang mental bagi manusia untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan” dan “buku adalah ruang bagi manusia untuk bermain-main dengan pikirannya”.

Buku adalah jendela dunia. Membaca buku berarti menatap dunia dari multi perspektif. Melalui membaca buku, terpatri sebuah harapan, konstruksi bangunan mental dan nalar positif, mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan untuk memahami dan memiliki satu perangkat interpretasi dalam memahami realitas kehidupan yang sesungguhnya. Mampu membedakan hitam-putih sekaligus memiliki pandangan bahwa hidup tidak hanya hitam-putih.

Membaca—termasuk membaca buku—sebagaimana dijelaskan oleh Arif Hidayat (2018), adalah pintu masuk untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan merupakan pilar utama untuk kemajuan suatu bangsa dan peradaban. Membaca buku pada dasarnya bukan hanya bagaimana mengetahui kumpulan teks yang ada di dalamnya tetapi sesungguhnya yang diharapkan adalah menemukan makna. Makna yang mampu menggerakkan jiwa untuk berbuat yang terbaik.

Membaca buku yang memiliki implikasi signifikan terhadap kemajuan sebuah bangsa dan peradaban, sejatinya bukan hanya menjadi aktus segelintir orang, bukan hanya menjadi pengisi waktu luang seseorang. Membaca buku sejatinya harus diupayakan secara serius untuk menjadi sebuah habitus.

Bagi saya suatu aktus menjadi habitus memerlukan upaya serius dan massif, membutuhkan pemahaman filosofis dan kerangka berpikir ideologis. Ada selaksa determinan habitus dalam kehidupan yang saling “bertarung” antara yang satu dengan yang lainnya, untuk melahirkan habitus tertentu (seperti habitus membaca). Apalagi seringkali dalam realitas kehidupan terjadi sebuah dominasi yang dikuasai oleh kepentingan-kepentingan tertentu—jika kita memahami gagasan yang pernah disampaikan oleh Abdul Gani (seorang aktivis IMM Sul-Sel). Baik kepentingan kelompok maupun kepentingan ideologis.

Berbicara habitus maka tentunya mengenal Pierre Bourdieu, karena ini adalah merupakan konsep khasnya yang akan menjelaskan hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linear. Terkait Habitus, Bagus Takwin (2009) dan Abdul Gani (2020) memberikan penjelasan yang mudah dipahami. Secara sederhana Abdul Gani menjelaskan, “gaya, ekspresi, nilai dan segala hal yang menjadi kebiasaan bahkan menjadi cara pandang individu adalah habitus”. Habitus melibatkan sebuah proses internalisasi eksterior menyerap realitas eksternal menuju eksternalisasi interior lalu diwujudkan kembali dalam tindakan.

Memperhatikan penjelasan Abdul Gani di atas maupun Bagus Takwin—dalam kata pengantarnya pada buku (Habitus x Modal) + Ranah = Praktiksaya memahami bahwa agar aktu membaca buku menjadi habitus maka perlu memassifkan konsepsi-konsepsi, ruang-ruang, komunitas-komunitas yang berkaitan dengan makna dan pentingnya membaca buku. Yang secara sederhana—sering saya sampaikan, sarankan untuk dilakukan oleh kader-kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah Bantaeng, karena hal itu pula sering saya lakukan—bisa pula anggota-anggota komunitas literasi/komunitas baca, “kemana-mana menenteng buku”.

Ada sejenis anekdot, bagaimana membedakan antara turis asing dan turis lokal? Jawabannya, katanya, dilihat dari caranya menunggu penerbangan. Kalau turis lokal asyik dengan gadget-nya sedangkan turis asing asyik membaca buku.

Apa yang saya sarankan di atas meskipun secara sederhana dan seperti kebiasaan turis asing di atas, sebenarnya hari ini di tengah kehidupan globalisasi, ada yang bisa kita manfaatkan sebagai satu dinamika budaya dan bisa menjadi sebuah peluang untuk memassifkan dan mendorong lahirnya habitus membaca buku. Hari ini—sebagaimana yang ditegaskan oleh Baudrillard—dalam hal tahapan nilai dalam perkembangan masyarakat telah sampai ke tahap keempat, apa yang disebut dengan fraktal (viral).

Saya memahaminya bahwa apa yang viral bisa menjadi nilai utama, mempengaruhi habitus. Jadi idealnya para pegiat literasi perlu memassifkan dan mengusahakan segala aktivitas terkait literasi yang didalamnya termasuk dan terutama membaca dan menulis diviralkan.

Selain habitus membaca buku maka, yang didorong selanjutnya adalah menulis di media online. Menulis jika memperhatikan gagasan utama Hernowo (2009) adalah merupakan aktivitas mengikat makna. Menulis telah dipahami bersama merupakan laku keabadian dan mengabadikan.

Selain harapan besar menulis dalam bentuk buku, saya pribadi memandang bahwa menulis di media online adalah merupakan persoalan urgen yang perlu mendapatkan porsi perhatian yang tinggi. Hal ini berangkat dari sebuah kesadaran bahwa di media sosial (yang menjadi ruang massif produk media online) terjadi “perang” opini dan gagasan. Dan tidak sedikit yang lahir di media sosial adalah opini dan gagasan-gagasan yang menyesa(t/k)kan.

Jika kita memahami gagasan Bernando J. Sujibto (2018) ditegaskan bahwa terutama oleh generasi millenial, bergerak massif dalam wilayah virtual. Sujibto menambahkan bahwa wilayah virtual tempat kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini daripada kesadaran faktual yang berpijak pada ilmu pengetahuan. Di sini menjadi ruang produksi dan reproduksi hoax termasuk menjadi memontum lahirnya post-truth.

Dari kondisi—sebagaimana disampaikan oleh Sujibto di atas—maka menulis di media online, hari ini juga sesuatu yang sangat penting, apalagi jika harapan kita, gagasan-gagasan yang diproduksi ingin menyentuk generasi millenial dan kelas “rebahan”. Sekaligus untuk mengcounter opini-opini yang menyesa(t/k)kan tersebut.

Apalagi sebagaimana disampaikan oleh Agung Hidayat Mansyur (2018), “seiring perkemangan jaman (globalisasi), ada ilmuwan yang meramalkan bahwa peperangan yang terjadi pasa msa depan adalah peperangan antar media teknologi (tulisan). Berliterasi sangat penting untuk melepaskan kita dari anti kritik terhadap media dan juga kita tahu banyaknya berita palsu yang cukup meresahkan…”.   

Mengapa habitus membaca dan menulis menjadi pusat perhatian? Karena membaca adalah awal dari gerbang sebuah ilmu pengetahuan. Dan menulis adalah gerbang manusia menuangkan atau menghasilkan sebuah karya inovasi pembaharuan.

Judul tulis ini pernah menjadi tema Webinar Edukasi yang dilaksanakan oleh Mahasiswa KKN-PPL terpadu XXI Fakultas Ilmu Pendidikan UNM. Tulisan ini dan sama halnya pada forum webinar tersebut, saya menggiring tema bukan pada hal teknis membaca dan menulis, tetapi saya aksentuasikan sebagai pemantik kesadaran, betapa pentingnya membaca buku dan termasuk menulis di media online.

Eks Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng yang sekarang menjabat sebagai Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018 - 2023

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like