Negara: Tanda Hakikat Sosial Manusia yang Terasing4 min read

Kritik agama membawa Marx pada kesadaran bahwa sasaran kritik yang sebenarnya adalah masyarakat. Apa yang perlu dikritik dalam masyarakat? Yang dicari Marx adalah dasar keterasingan manusia. Unsur apa dalam masyarakat yang mencegah manusia merealisasikan hakikatnya? (Ludwig Feuerbach: Keritik Terhadap Agama, Kritik Marx Terhadap Kritik Agama Feuerbach, Sejauh Mana Kritik Agama Feuerbach Mengena?)

Untuk menjawab pertanyaan itu, kita kembali ke Feuerbach. Akibat paling fatal yang ditimbulkan oleh agama bagi manusia menurut Feuerbach adalah bahwa agama membuat manusia menjadi egois. Daripada mengembangkan cinta kasih dan persahabatan, manusia mengasingkan potensi-potensi itu ke dalam cinta kasih ilahi. Jadi, agama perlu dibongkar. Marx, mengikuti Feuerbach, memahami manusia sebagai makhluk sosial. Akan tetapi, menurut Marx, membongkar agama tidak akan menghilangkan egoisme, tidak akan mengembalikan hakikat sosial manusia. Agama bukan sebab keterasingan manusia dari sifatnya yang sosial, melainkan sekadar tanda atau ungkapannya. Sebab, sebenarnya keterasingan manusia dari kesosialannya mesti ditemukan dalam struktur masyarakat.

Struktur masyarakat mana yang tidak mengizinkan manusia bersikap sosial? Marx menemukan jawabannya dalam analisis Hegel mengenai masyarakat modern. Yang menurut Hegel khas bagi masyarakat modern adalah perpisahan antara civil society dan negara. Yang dimaksud dengan civil society adalah masyarakat luas, jadi lingkungan sosial manusia di luar keluarga maupun negara, lingkungan yang berfungsi menyediakan kebutuhan-kebutuhannya: lingkungan pekerjaan, pendidikan, rekreasi, dan sebagainya.

Apa yang khas bagi lingkungan itu? Bahwa manusia berlaku di dalamnya secara egois: “Kebutuhan praktis, egoisme, adalah prinsip civil society” [The Jewish Question, Karl Marx/Friderich Engels, Werke; 1956: 1, 374]. Orang menjalankan pekerjaan, bersekolah, memakai fasilitas rekreasi bukan karena ia meminati rekan kerja, guru, penjual karcis masuk, melainkan karena ia membutuhkan mereka, karena fungsi mereka, dan dalam hal ini orang sering bersaing dengan orang lain. Dalam civil society, orang berg melainkan demi kepentingan egois sendiri. Namun, tidak mungkin masyarakat bisa bersatu dan tahan semata-mata karena bukan demi kepentingan bersama, egoisme masing-masing warganya. Penjumlahan egoisme semua individu mesti menghasilkan anarki. Karena itu, sebagaimana dianalisis oleh Hegel, masyarakat memerlukan kekuatan yang mengatasi egoisme itu dan mempersatukan masyarakat. Kekuatan itu adalah negara.

Jadi, situasinya adalah seperti berikut: manusia sudah terpecah ke dalam individu yang murni egois, yang mengejar kepentingan egoisnya sebagai warga masyarakat di satu pihak, dan ke dalam warga negara yang bersifat moral dalam arti bahwa ia menahan diri dari tindakan tidak bermoral karena harus taat pada undang-undang di lain pihak: “Manusia menjalankan… kehidupan ganda, kehidupan surgawi dan kehidupan duniawi, kehidupan dalam lingkungan politik di mana ia dianggap makhluk sosial, dan kehidupan dalam civil society di mana ia sibuk sebagai orang swasta, mempergunakan orang lain sebagai sarana, merendahkan diri sendiri sebagai sarana, dan menjadi bola permainan kekuatan-kekuatan asing” [The Jewish Question, Karl Marx/Friderich Engels, Werke; 1956: 1, 355].

Dengan demikian, menjadi jelas di mana Marx melihar keterasingan yang menghasilkan agama: dalam keterasingan manusia dari sifat sosialnya. Sebagai individu, manusia itu egois, dan ia hanya sosial karena harus taat pada negara. Kesosialan manusia terasing darinya dan mendapat eksistensi terpisah dan tersendiri sebagai lembaga di atasnya, yang memaksa individu-individu untuk berlaku sosial, yaitu negara. Bagi Marx, adanya negara membuktikan bahwa manusia terasing dari kesosialannya karena andaikata manusia sosial dengan sendirinya, tidak perlu ada negara yang memaksanya agar mau bersifat sosial.

Hal itu dapat dimengerti begini: andaikata manusia tidak terasing dari dirinya sendiri, jadi andaikata kesosialannya masih menyatu dengannya, andaikata ia bersifat individu sekaligus sosial (sebagaimana halnya dalam keluarga), tidak perlu ada negara yang mencegah manusia dengan ancaman hukuman dari tindakan asosial. Manusia dengan sendirinya akan bersifat sosial, positif terhadap sesamanya. Ia tidak akan melihat orang lain sebagai saingannya dan tidak khawatir bahwa kalau orang lain memenuhi kebutuhannya, ia sendiri mesti merugi.

Jadi, keterasingan dasar manusia adalah keterasingannya dari sifatnya yang sosial. Tanda keterasingan itu adalah eksistensi negara sebagai lembaga yang dari luar dan dari atas memaksa individu-individu untuk bertindak sosial, sedangkan individu itu sendiri semata-mata bertindak egois. Keterasingan itulah yang dicerminkan dalam agama, di mana manusia menempatkan cinta kasih di luar dirinya dalam bentuk ilahiah dan mengharap- kan penebusan dari egoisme yang ilahi itu. Oleh sebab itu, Marx menulis: “Baru apabila manusia yang nyata menarik si warga negara abstrak ke dalam dirinya sendiri dan sebagai manusia individual, dalam hidupnya yang empiris, dalam pekerjaannya yang individual, dalam hubungan-hubungan individualnya menjadi makhluk sosial (Gattungswesen), baru apabila …. manusia tidak lagi memisahkan potensi sosial dalam bentuk kekuatan politik (= negara, FMS) dari dirinya sendiri, emansipasi manusia tercapai” [The Jewish Question, Karl Marx/Friderich Engels, Werke; 1956: 1, 370].

Pertimbangan-pertimbangan ini menunjukkan bahwa bagi Marx masalahnya belum selesai jika diadakan beberapa reformasi politik, misalnya dengan menuntut diberlakukannya sebuah konstitusi yang menjamin hak-hak asasi manusia. Bukan bentuk-bentuk kenegaraan tertentu yang perlu dikritik, melain- kan seluruh sistem yang memerlukan negara. Negara bukan sekadar harus dibuat lebih terbuka, melainkan harus dihapus. Dalam bahasa Marx: bukan emansipasi politis yang perlu, melainkan emansipasi sebagai manusia.

Marx merumuskan tuntutan yang memuat program seluruh karyanya dalam “imperatif kategoris” ini: “Kritik agama berakhir dengan ajaran bahwa manusia adalah makhluk tertinggi bagi manusia, jadi dengan imperatif kategoris untuk menumbangkan segala hubungan di mana manusia adalah makhluk yang hina, diperbudak, terlupakan, terhina” (Introduction to the Critique of Hegel’s Philosophy of Right; 1844, Karl Marx/Friderich Engels, Werke; 1956: 1, 385]. Dapat dicatat di sini bahwa Marx, meskipun kemudian selalu akan menentang anarkisme, sejak semula sudah menunjukkan suatu kecenderungan anarkis: dalam masyarakat akhir, dalam “komunisme” di mana manusia teremansipasi, menurut Marx negara tidak perlu lagi, manusia akan baik dan bersifat sosial dengan sendirinya.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like