Bagi Marx, kritik Feuerbach terhadap Hegel memecahkan sebuah teka-teki: bagaimana Hegel dapat menghayati rasionalitas menyeluruh dalam pengetahuan absolut, padahal yang rasional hanya pikirannya, sedangkan dunia nyata tidak sesuai sama sekali dengan pikirannya itu. Begitu pula filsafat negara Hegel mendua: di satu pihak Hegel menjunjung tinggi cita-cita Revolusi Prancis, di lain pihak ia mengonsepsikan sebuah negara otoriter. Bagi Marx, Feuerbach menunjuk pada kesalahan dasar dalam filsafat Hegel: filsafat Hegel secara hakiki terbalik.
Hegel membuat subjek menjadi objek dan objek menjadi subjek. Realitas pertama bagi Hegel bukan manusia nyata, melainkan roh, padahal roh adalah buah pikiran manusia, jadi yang nyata adalah manusia. Begitu pula bagi Hegel, subjek atau pelaku negara yang sebenarnya adalah roh dan para warga negara hanyalah ungkapannya yang-tanpa menyadarinya melakukan dengan “bebas” apa yang merupakan pernyataan diri roh. Padahal sebenarnya para warga negaralah yang merupakan kenyataan dasar negara. Kritik Feuerbach membebaskan Marx dari pancaran pesona Hegel.
Dapat dikatakan bahwa kritik agama Feuerbach menjadi titik tolak seluruh pemikiran Marx kemudian. Menggarisbawahi Feuerbach, Marx menulis: “Manusia yang membuat agama, bukan agama yang membuat manusia” [ICHR, ME W 1, 378]. Agama adalah perealisasian hakikat manusia dalam angan saja, jadi tanda bahwa manusia justru belum berhasil merealisasikan hakikatnya. Agama adalah tanda keterasingan angan- manusia dari dirinya sendiri.
Tetapi menurut Marx, Feuerbach tidak cukup konsekuen. Seharusnya Feuerbach bertanya: mengapa manusia sampai mengasingkan diri ke dalam agama? Feuerbach tidak seluruhnya buta terhadap pertanyaan itu. Ia sendiri menulis: “Penderitaan manusia adalah tempat kelahiran Allah” [Feuerbach 1966, 192]. Namun, ia tidak meneruskan logika gagasan ini. Seharusnya Feuerbach bertanya: mengapa manusia tidak merealisasikan hakikatnya secara nyata? Mengapa hanya secara semu dalam khayalan agama?
Sikap kurang konsekuen itu menurut Marx berkaitan dengan kelemahan Feuerbach lain lagi. Manusia yang dibicarakan Feuerbach adalah abstrak. Feuerbach selalu bicara tentang si manusia, tetapi si manusia itu tidak ada. Yang ada hanyalah orang-orang konkret yang hidup pada zaman tertentu dan sebagai warga masyarakat tertentu. Manusia jangan dilepaskan dari masyarakat dan negara di mana ia hidup. “Manusia itulah dunia manusia, negara, masyarakat” [ICHR, ME W 1, 378].
Jadi, kalau manusia hanya dapat merealisasikan diri secara semu, sebabnya mesti dicari dalam keadaan masyarakat. Manusia merealisasikan diri hanya dalam khayalan agama karena struktur masyarakat nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dunia mengasing- kan manusia dari dirinya sendiri, ia membangun suatu kerajaan dalam angan-angan. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, ia mengharapkan mencapai keselamatan di surga.
Dengan demikian, Marx menemukan sesuatu yang sangat penting: agama hanyalah tanda keterasingan manusia, tetapi bukan dasarnya. Keterasingan manusia dalam agama adalah ungkapan keterasingan yang lebih mendalam. Agama hanyalah sebuah pelarian karena realitas memaksa manusia untuk melarikan diri. “Agama adalah realisasi hakikat manusia dalam angan-angan karena hakikat manusia tidak mempunyai realitas yang sungguh- sungguh” [ICHR, MEW 1, 378], Jadi, “agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat” [ICHR, ME W 1, 378].
Tetapi, apabila agama hanyalah gejala sekunder keterasingan manusia, kritik tidak boleh berhenti pada agama. Kritik agama hanya “merusak bunga-bunga khayalan pada rantai”, tetapi “bukan agar manusia membawa rantai yang tanpa khayal, tanpa harapan, melainkan agar ia membuang rantai dan memetik bunga yang hidup” [ICHR, MEW 1, 379]. Yang perlu disobek bukan bunga yang menghiasi rantai, agama, melainkan rantai itu sendiri, keadaan buruk manusia yang membuatnya melarikan diri ke agama.
Jadi, menurut Marx, kritik agama harus menjadi kritik masyarakat. Kritik agama saja percuma karena tidak mengubah apa yang melahirkan agama. Bukan agama yang harus dikritik, melainkan masyarakat: “Kritik surga berubah menjadi kritik dunia, kritik agama menjadi kritik hukum, kritik teologi menjadi kritik politik” [ICHR, MEW 1, 379].
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.