Peringatan! Jangan Sekali pun “Panic Buying” Obat!5 min read

Panic buying, istilah ini menyeruak berkaitan dengan kondisi di awal-awal pandemi penyakit baru yang bermula sejak Desember 2019. Sebuah virus korona varian ke-2, yang saat ini dikenal sebagai SARS-CoV-2, hingga saat ini telah menyebabkan jutaan masyarakat terjangkit Coronavirus Disease-19 (COVID-19). Tercatat hingga 30 Juni 2020, 10.185.374 kasus konfirmasi, dengan 503.862 kematian (4.9 % dari total kasus). Hingga tanggal tersebut juga, di Indonesia sudah terdapat kasus konfirmasi sebanyak 56.385 dari  477.318 orang yang diperiksa. Dengan kematian 2.876 jiwa (5.1 % dari total kasus). Hanya dalam hampir empat bulan, kasus konfirmasi di Indonesia melonjak dari yang awalnya hanya 2 kasus menjadi puluhan ribu kasus.[1]

Bahaya Panic Buying

Di awal-awal melonjaknya angka kasus konfirmasi positif COVID-19, terjadi kepanikan masa untuk membeli barang-barang kebutuhan pokok, bahkan masker medis dan cairan disinfektan juga diborong oleh masyarakat. Bahkan suplemen berupa vitamin, dan obat-obatan juga meningkat pembeliannya[2]. Panic buying, yaitu berupa tindakan membeli barang dalam jumlah besar ini disebabkan oleh sikap antisipasi masyarakat terhadap suatu bencana, atau saat suatu bencana sedang dan telah terjadi, juga untuk antisipasi kenaikan/penurunan harga barang tertentu.

Kondisi panic buying ini juga pernah terjadi se-abad silam, saat Flu Spanyol menjadi pandemi di dunia pada awal abad ke-19. Saat itu juga terjadi pembelian masal orang-orang terhadap bahan makanan pokok, bahkan masyarakat panik membeli kina dan obat-obatan lain yang dianggap bisa membantu mereka dalam menghadapi penyakit[3]. Kemudian, pada saat wabah SARS tahun 2003, juga terjadi peristiwa panic buying ini. Selama wabah tersebut, terjadi pembelian bahan pokok, bahkan masker, antibiotik, dan produk-produk herbal tradisional Cina[4].

Sebenarnya dari kajian ilmu ekonomi, ini merupakan hal yang memang dapat terjadi sebagaimana teori perilaku konsumen. Namun, hal ini akan menyebabkan kekurangan stok barang, atau harga menjadi melejit tinggi. Terbukti bahwa akhirnya ada kekosongan stok bahan-bahan makanan pokok pada awal-awal pandemi, seperti gula dan beras. Dalam teori ekonomi juga terdapat premis bahwa apabila terjadi peningkatan permintaan konsumen, maka akan terjadi peningkatan harga[5]. Hal ini lah yang akhirnya menyebabkan harga masker dan disinfektan menjadi meningkat drastis dibanding sebelum pandemi.

Akibat dari kondisi tersebut, tidak sedikit oknum yang akhirnya menimbun agar bahan-bahan yang dibutuhkan secara berlebihan oleh masyarakat tersebut dapat dijual kembali dengan harga yang sangat tinggi[6]. Orang akan tetap membeli dikarenakan seolah-olah membutuhkan banyak dalam waktu yang singkat. Akhirnya hal ini menjadi lingkaran setan yang tidak berujung. Stok menghilang, harga selangit, dan tetap dibeli. Akhirnya mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti rumah sakit dan dokter praktik swasta, justru tidak kebagian masker dan cairan pembersih, sedangkan jika ada, dibandrol dalam harga yang mahal.

Beruntungnya akhir-akhir ini sembako memang sudah lebih stabil ada di pasaran. Kemudian harga masker dan cairan disinfektan memang sudah mulai turun -meskipun belum kembali normal-, serta stoknya sudah mulai mencukupi, seiring dengan adanya campur tangan instansi terkait untuk mencegah kembali terjadinya hal-hal di atas[7].

Panic Buying Obat

Jika pembelian masal tersebut berkaitan dengan sembako, makser, maupun cairan disinfektan, maka masih bisa dibantu oleh instansi terkait untuk  menahan terjadinya panic buying, dengan serangkaian kebijakan-kebijakan atau stimulus tertentu. Namun hal yang berbeda pada pembelian obat. Meskipun bisa dihentikan, namun obat yang sudah terlanjur dibeli dan dikonsumsi dapat berakibat fatal jika muncul efek samping pada seseorang.

Di Indonesia, obat digolongkan menjadi obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat keras & psikotropika, berdasarkan pola konsumsinya. Hanya obat bebas yang boleh dibeli sendiri oleh masyarakat. Obat bebas terbatas bisa dibeli tanpa resep dokter, namun ada peringatan yang menyertainya. Sebelum konsumsi obat bebas terbatas, maka harus mengetahui informasi mengenai dosis dan efek sampingnya. Jika masih ragu, maka harus konsultasi kepada dokter. Sedangkan obat keras serta psikotropika, hanya boleh dibeli dengan ada resep dokter sebagai pengantar pembeliannya[8].

Penggolongan obat-obatan tersebut terutama terkait dengan dosis obat dan efek samping dari konsumsi obat tersebut. Ada obat yang hanya boleh dikonsumsi untuk pasien-pasien tertentu, di lain sisi ada obat yang tidak boleh dikonsumsi oleh orang dengan kondisi medis tertentu. Kemudian dosis obat pun harus dipertimbangkan secara holistik dari berat badan dan usia pasien, jenis penyakitnya, serta berapa lama harus diberikan kepada pasien.

Jika seseorang harus mengonsumsi obat dalam jangka panjang, dokter pun akan memikirkan untuk mengevaluasi parameter-paramater tertentu, untuk pertimbangan apakan obat tersebut harus diteruskan, ataukah manfaatnya akan lebih besar jika obat dihentikan. Terkadangan pun, obat-obatan yang dikonsumsi pasien dalam jangka lama harus mengalami penyesuaian dosis dahulu sebelum dihentikan. Ini disebut tappering, jadi dosis obat diturunkan perlahan oleh dokter, hingga saatnya dihentikan, atau ditetapkan untuk terus dikonsumsi pada dosis optimal terkecil.

Hal di atas adalah sebuah urgensi untuk tidak panic buying terlebih panik mengonsumsi suatu obat karena khawatir terhadap suatu pandemi. Perilaku tersebut justru adalah perilaku tidak bertanggung jawab yang bisa membahayakan nyawa diri sendiri. Selain itu, juga merugikan masyarakat luas, karena akibat pembelian masal itu, orang-orang yang justru benar-benar membutuhkan obat tersebut akan kesulitan mendapatkannya, atau bahkan harus rela membelinya dengan kocek yang selangit.

Cara paling mudah membedakan suatu obat adalah dengan melihat logonya. Obat bebas dapat dilihat dari lambang lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi hitam. Untuk obat bebas terbatas, berupa lingkaran biru dengan garis tepi hitam. Sedangkan obat keras dan psikotropika, dilambangkan dengan lingkaran merah dengan tepi hitam, dengan adanya huruf K di dalamnya. Ada obat khusus golongan narkotika, yang ditandai dengan lambang lingkaran merah yang di dalamnya terdapat palang yang juga berwarna merah, dengan dasar putih.

Gambar Logo Obat[9]

Cermatlah dalam membeli obat. Dan sebaiknya jangan membeli obat yang tidak benar-benar sesuai dengan indikasi penyakit atau keluhan yang dialami. Untuk saat ini, selalu jaga jarak, pakai masker, rajin mencuci tangan dengan sabun, kemudian makan bergizi seimbang serta minum yang cukup adalah hal paling bijak yang bisa kita lakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh kita. Sejatinya, pandemi ini adalah momen mengasah rasa asih kita. Kita semua pasti ingin selamat, namun jangan sampai kita merugikan orang lain dalam upaya agar kita selamat. Dan terlebih, jangan sampai, kepanikan kita untuk selamat, membawa marabahaya lebih, di mana akhirnya kita sendiri yang sesak tercekat.


[1] http://1.https//covid19.kemkes.go.id/situasi-infeksi-emerging/info-corona-virus/situasi-terkini-perkembangan-coronavirus-disease-covid-19-1-juli-2020/#.XvwEYXUxV6g

[2] https://tirto.id/panic-buying-dan-dampaknya-terhadap-ekonomi-eDDT

[3] Honigsbaum, Mark. (2013). “Regulating the 1918–19 Pandemic: Flu, Stoicism and the Northcliffe Press”. Medical History. 57 (2): 165–185. doi:10.1017/mdh.2012.101

[4] Huiling Ding. (2016). Rhetoric of a Global Epidemic: Transcultural Communication about SARS. Southern Illinois University Press, pp. 70, 72, 83, 103, 111. https://doi.org/10.1080/10572252.2015.1113704

[5] https://www.ajarekonomi.com/2018/02/konsep-permintaan-demand-dan-penawaran.html

[6] https://nasional.okezone.com/read/2020/04/06/337/2194906/polri-sidik-18-kasus-penimbunan-bahan-pokok-di-tengah-pandemi-corona

[7] https://nasional.okezone.com/read/2020/04/06/337/2194906/polri-sidik-18-kasus-penimbunan-bahan-pokok-di-tengah-pandemi-corona

[8] http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum

[9] http://pionas.pom.go.id/ioni/pedoman-umum

Seorang istri, putri, dan kakak, yang juga adalah Dokter Umum di DKI Jakarta. Penyuka diskusi (terutama dengan suami), pecinta harum buku baru, dan tertarik dengan dunia literasi. Saat ini sedang rindu dengan suara debur ombak dan lagu klasik di toko buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like