Problematika Lingkungan Hidup di Era Kapitalisme5 min read

Pengelolaan lingkungan hidup di era kapitalisme sebenarnya problematis. Secara historis, memang, kerusakan lingkungan sudah terjadi saat zaman Yunani Kuno. Hanya saja, yang menjadi pembeda kita kini dengan dulu adalah kita mempunyai teknologi yang mana dapat membuat kerusakan lebih parah dari sebelumnya. Melalui kapitalisme yang terus menuntut bertambahnya ruang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, memaksanya untuk mengeksploitasi alam secara cepat dan besar-besaran. Yang mana, kemudian berdampak pada kualitas lingkungan dan lebih parah menimbulkan bencana di mana-mana.[1]

Kapitalisme memandang alam sumber daya alam sebagai objek yang dieksploitasi tanpa batas. Setidaknya ada tiga tokoh yang awal mula memunculkan kapitalisme ini di antaranya Martin Luther, Benjamin Franklin dan Adam Smith. Ada lima prinsip yang digunakan oleh kapitalisme dan kelima prinsip itu tidak mencerminkan akan konservasi lingkungan, yaitu pengakuan terhadap hak individu tanpa batas, pengakuan secara penuh terhadap kegiatan ekonomi untuk meningkat status sosial, adanya motif dalam ekonomi untuk mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin, pengakuan kebebasan terhadap persaingan antar individu dalam mendapatkan keuntungan dan pengakuan terhadap berlangsungnya ekonomi pasar bebas.[2]

Dari sudut pandang politik ekologi, persoalan kerusakan lingkungan terkhusus di Indonesia, tidak terlepas dari kebijakan ekonomi politik yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang berdampak pada eksploitasi sumber daya alam secara tidak bertanggung jawab.

Permasalahan lingkungan bukan lagi mengenai kebiasaan membuang sampah sembarangan, ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Yaitu ekspansi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh kapitalisme.[3] Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, selalu mendukung tujuan yang diingankan oleh kapitalisme. Ini permasalahan politik ekologis yang serius.

Jika ditarik secara historis, bentuk-bentuk kapitalis yang merusak ini di Indonesia sudah ada sejak zaman imperialisme Barat atau seperti Belanda yang menjajah Indonesia. Penjajah-penjajah tersebut mengeksploitasi alam negeri jajahannya secara berlebihan, di ambang batas normal.

Pasca kolonial pun, sikap kapitalisme masih mengakar di negara-negara bekas jajahan. Misal di Indonesia, pada saat pemerintahan orde baru mengeluarkan kebijakan mengenai pembangunan[4]. Padahal hal tersebut hanya sebagai sebuah dalih untuk dapat mengeksploitasi alam. Dengan begitu kerusakan yang terjadi semakin parah.

Dampak-dampak yang disebabkan dari kerusakan sumber daya alam ini banyak dalam berbagai bentuk. Secara global kita dapat lihat kemudian adanya pemanasan global (global warming), perubahan iklim (climate change), dan hujan asam (acid rain). Untuk di Indonesia sendiri, pengalihfungsian lahan gambut yang notabene menjadi tempat hidup berbagai flora dan fauna serta menjadi menyimpan gas emisi karbon terbaik.

Dengan dialihfungsikannya lahan gambut menjadi ladang kelapa sawit, maka ada beberapa dampak yang kemudian akan muncul. Seperti punahnya beberapa fauna, kekeringan, meningkatnya suhu bumi karena gas emisi keluar dari lahan gambut dan banyak hal yang lainnya.

Problem yang terjadi karena memang watak kapitalisme yang rakus, yang mereka inginkan adalah bagaimana mendapatkan akumulasi dari pola relasi yang terjadi antara produksi dan konsumsi.Kemudian, kapitalisme mencari cara agar dapat menangani kerusakan lingkungan ini. Bahkan yang lebih radikal lagi seperti yang dikemukakan Zizek, bahwa ekologi sekarang tidak lebih dari sekedar ekologi yang didasari oleh rasa takut, takut akan terjadinya sebuah bencana yang menimpa mereka.

Dan hal ini pada akhirnya hanya memunculkan ideologi kapitalisme baru. Zizek kemudian berujar dengan mengutip Marx, ekologi sebagai candu bagi masyarakat. Karena ekologi yang berkembang pada dasarnya hanya mengalihkan dari permasalahan yang paling penting bahwa permasalahan ekologi adalah bentuk dari keserakahan kapitalisme.[5]

Untuk menjaga agar profit tidak berkurang, kemudian kapitalisme mengambil langkah-langkah dengan menggaungkan istilah industri hijau. Mereka kemudian menggunakan bahan bakar nabati, teknologi yang dapat mereduksi karbon, dan tindakan-tindakan lainnya. Yang menurut mereka dapat mengurangi dampak kerusakan lingkungan.

Hal ini juga dapat disebut dengan moralitas hijau, di mana korporasi-korporasi itu berlomba menuju industri hijau. Masyarakat dihipnotis bahwa dengan membeli barang dari korporasi tersebut, seolah telah menyelamatkan bumi dari kerusakan.[6]

Di salah satu litelatur, dihadirkan bagaimana cara menghadapi permasalahan etik dalam mengelola lingkungan di era kapitalisme ini yaitu melalui ecosufism.[7] Ecosufism mengupayakan manusia untuk dapat lepas dari jeratan konsumerimse yang memang dibuat oleh kapitalisme demi menumbuhkan akumulasi keuntungan.

Melalui sikap zuhud dan menyadari bahwa seluruh alam dan isinya merupakan aktor yang berperan aktif dalam menjaga keseimbangan bumi. Yang tentu dititikberatkan dalam ecosufism ini adalah bagaimana kita mengendalikan diri kita, mengendalikan hawa nafsu kita demi mencapai hasrat-hasrat yang negatif. Menggunakan atau membeli sesuatu karena sesuai tuntutan kebutuhan, menjauhi sikap konsumerisme yang cenderung boros dan juga berlebihan.[8]

Dalam sudut pandang lain, yaitu eko-sosialisme. Ini lebih radikal lagi, karena memandang bahwa industri hijau atau moralitas hijau yang diajukan oleh para kapitalis sebenarnya hanya bentuk selubung kapitalis dalam bentuk baru. Persaingan antar pabrik atau pelaku industri semakin terasa. Namun tetap saja, esensi untuk menjaga lingkungan alam dengan sebenar-benarnya tidak pernah tercapai. Ekososialisme melihat bahwa akar permasalahan lingkungan adalah kapitalisme.

Gerakan ekososialisme ini terinspirasi dari marxisme dan ekologi Marx, yang mana secara historis Marxisme telah menjadi alat untuk mengkritik kapitalisme. Apa yang kemudian dijadikan komoditi oleh kapitalisme semuanya berasal dari alam, kemudian dirubah menjadi non-alami. Setelah itu kemudian diperdagangkan, sekalipun perdagangan terjadi sebelum kapitalisme muncul, tapi ada perbedaan mendasar di antara perdagangan pra-kapitalisme dengan perdagangan era kapitalisme.

Pada era perdagangan pra-kapitalisme, alam dimanfaatkan untuk menjadi bahan dagangan atas dasar nilai kegunaan. Sementara di era kapitalisme, alam dimanfaatka untuk menjadi komoditi atas dasar nilai tukar demi mendapatkan kekayaan, sehingga mereka terus melakukan akumulasi dan mengeksploitasi alam secara besar-besaran.[9]

Sehingga isu-isu lingkungan seperti pemanasan global, perubahan iklim adalah karena hubungan antara sosial produksi kapitalisme yang terus ekspansif tanpa batas, sementara sumber daya alam yang tersedia terbatas.

Dengan begitu, seperti contoh penggalakan penanaman kembali pohon-pohon yang diinisiasi pemerintahan sebenarnya tidak sebanding dengan kerusakan yang telah diperbuat oleh industri kapitalisme sendiri yang mana juga dilegalkan oleh peraturan yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri.


[1] Wahyu Eka Setyawan, ‘Memajukan Diskursus Dan Gerakan Lingkungan Hidup’, Transisi, 2020, p. https://transisi.org/memajukan-diskurus-dan-geraka.

[2] Abdul Quddus, ‘Eco-Theology Islam : Teologi Konstruktif Atasi Krisis Lingkungan’, Ulumuna Jurnal Studi Keislaman, 2018.

[3] Yety Rochwulaningsih, ‘Dinamika Gerakan Lingkungan Dan Global Environmental Governance’, Jurnal Sejarah Citra Lekha, 2.2 (2017), 151 <https://doi.org/10.14710/jscl.v2i2.16188>.

[4] Rochwulaningsih.               

[5] Abdil Mughis Mudhoffir, ‘Krisis Ekologi Dan Ancaman Bagi Kapitalisme’, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 16.1 (2011), 93–102 <https://doi.org/10.7454/mjs.v16i1.4874>.

[6] Eka Setyawan.

[7] Fardan Mahmudatul Imamah, ‘Menghadapi Kapitalisme: Pendekatan Eco-Sufism Dalam Gerakan Environmentalisme Islam Indonesia’, Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 5.1 (2017) <https://doi.org/10.21274/kontem.2017.5.1.109-135>.

[8] Imamah.

[9] Inamul Mushoffa, ‘Ekososialisme Atau Kiamat!’, Indoprogress, 2018, p. https://indoprogress.com/2018/01/ekososialisme-ata.

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like