Partai Solidaritas (Sosialita) Indonesia4 min read

Belum lama ini kader Partai PSI Muannas Alaidid melakukan somasi terhadap Farid Gaban yang mengkritik salah satu kinerja kementerian di Indonesia. Menurut Juru Bicara PSI Rian Ernest kasus tersebut tidak berhubungan dengan Partai dan “menghormati urusan pribadi”, sementera menteri yang di kritik tersebut menganggap bahwa dia tidak anti kritik!. Lah, Partai yang mengusung demokrasi justru mempertahankan kader yang menjauhkan nilai-nilai demokrasi, salah satunya kebebasan kritik dan mengkritik?

Tidak sebagus dan estetik namanya, kali ini justru memperlihatkan borok yang semakin mendalam. Sama seperti berbagai kasus nama “solidaritas”, yang dipaksakan dipunggung partai tidak lepas dari anomali dalam praksis (kesatuan teori dan praktik-ed). Kenapa saya lebih menggunakan kata “sosialita” dari pada “solidaritas”. Karena “kata” atau “identitas” yang disematkan, seharusnya dapat mewakili praktik yang sesungguhnya. Sosialita bermakna aktivitas kelompok atau organisasi yang beraktivitas secara sosial bermode kelas atas. Sementara “solidaritas” bermakna perasaan senasib dan seperjuangan serta berprinsip untuk merubah nasib atau sejenisnya.

Kembali ke PSI, nama “solidaritas” selain anomali atau bertentangan dengan prakteknya, juga kosong dalam wacana alternatif atas Demokrasi di Indonesia!. Sekarang marilah kita pertanyaan peran Partai yang sesungguhnya, Apakah pernah parpol di Indonesia saat ini mendorong melawan upah murah? Apakah pernah mendorong penuntasan pelanggaran HAM? Apakah pernah mendorong kontrol rakyat pekerja atas industri massal? Apakah pernah mendorong kesetaraan dalam dunia pekerjaan, industri, pendidikan, hingga melawan domestifikasi rumah tangga?

Apakah pernah bersolidaritas dengan Buruh Tani dan Perempuan di Kendeng, Tumpang Pitu, dan lainnya melawan industri perusak lingkungan? Apakah pernah melawan pemberangusan serikat pekerja? Apakah pernah mendorong  perlawanan industri sawit di Kalimantan, Sumatera hingga Papua untuk membuat sistem yang berkelanjutan?

Apakah pernah mendorong pendidikan politik kader, menyadarkan, hingga praksis menyadarkan massa rakyat? Apakah pernah bicara perlawanan kapitalisme-imperialisme? Apakah pernah mendorong perlawanan seksisme, rasisme, hingga kebigotan?

Apakah pernah mendorong pembangunan partai berbasis koran? Apakah pernah mendorong setiap kader menjadi pemimpin bagi massa rakyat, bukan “diplomat” borju? Apakah pernah membangun kritik antar partai seperti masa kemerdekaan dahulu? Apakah pernah partai membangun basis di desa, kampung, kota yang merekruit massa rakyat? Dan masih banyak lagi pertanyaan sederhana, yang justru jauh panggang dari praksis berpartai di Indonesia.

Namun bukan berarti saya anti Partai. Omong kosong jika ada orang berpendapat, kita berjuang dalam jalur “independen”, bisa merdeka mengutarakan pendapat. Sama saja orang tersebut membiarkan pengusaha, konglomerat, atau borjuis tertawa dari pendapat tersebut, sementara mereka berada dalam Partai yang membela kepentingannya.

Kita membutuhkan Partai (bahkan wajib) untuk segera melakukan perjuangan kolektif berdasarkan kepentingan program, strategi-taktik, hingga pelucutan dan penghancuran kelas borjuasi (pemodal).

Sejarah sudah membuktikan, sebelum kemerdekaan massa rakyat mengorganisasi diri melalui Partai, Sukarno dengan Partai Nasional Indonesia, Tan Malaka dengan Partai Murba, Semaun dengan Partai Komunis Indonesia, Hasyim Asyari dengan Partai Masyumi dan sebagainya.

Dan apa yang membedakan Partai semasa kemerdekaan dahulu dengan sekarang? Yaitu debat sengitnya! Mau buat kebijakan masing-masing Partai punya platformnya, punya program, punya analisa. Sekarang Partai hanya jadi rente dari pemodal besar dan dikuasai. Sekarang debat hingga tawaran prespektif tidak punya, yang ada hanya “rebutan” kursi perwakilan.

Kita butuh partai untuk mengorganisir perjuangan, namun tidak cukup hanya dengan masuk. Sama halnya ketika ditanya “apa yang membedakan kaum sosialis, dengan kaum lainnya dalam melihat penindasan?”. Kaum lainnya melihat penindasan karena “negara abai”, “partai tidak berperan”, ” penindasan karena kesejahteraan tidak dibagi merata”, dsb, dsb. Hal tersebut sebagian benar.

Namun bagi Kaum Sosialis melihat bahwa “penindasan ada karena kelas borjuis masih ada, dan kita berperan untuk merubah dan merontokkannya!”. Karena tidak cukup hanya melihat bahwa negara abai, dan lainnya. Selama negara masih dikuasai oleh Konglomerat, Pengusaha, Elit Pejabat, selama itu negara jadi mesin buat mereka.

Maka fungsi Partai adalah sebagai alat perjuangan, penyadaran, hingga bertujuan untuk merombak tatatan negara. Tidak cukup hanya “mendaurulang” Negara. Namun bermasalah juga jika merombak untuk membangun kekuasaan ditangan seorang khalifah sebagaimana yang dicita-citakan HTI dan sejenisnya. Tesis yang menyebutkan kekuasaan yang dikuasai minoritas tertentu cenderung “tirani”, bisa menjadi relevan jika penguasa negara oleh penguasa tunggal/kelompok. Selain itu, problem yang paling mendasar adalah bagaimana kekuasaan dapat dibangun, dikelola, hingga siapa yang bekerja hingga kerjasama internasional apa yang dapat dilakukan adalah soal yang tidak dapat dilakukan dengan penguasa tunggal dengan identitas tertentu semata, mengingat pluralnya masyarakat.

Namun, cita-cita merombak negara bertujuan untuk merumuskan ulang manajemen produksi dan distribusi yang dikelola bersama oleh kelas pekerja, buruh, kaum tani, masyarakat adat, kaum muda secara bersama, dan tidak menguasai secara “kepemlikan pribadi/privat” sumber-sumber potensial dan masal untuk kepentingan bersama.

Ditulis oleh: Basawira Sandayuhan*

*tulisan ini merupakan salinan dari status Facebook Basawira Sandayuhan dengan menambahkan beberapa kalimat yang relevan.

One thought on “Partai Solidaritas (Sosialita) Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like