Mengapa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Bersifat Final dan Mengikat?10 min read

Berdasarkan penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah “final” dan “mengikat” dalam konteks “Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat” mempunyai pengertian khusus. “Final” diartikan sebagai tahap akhir dari suatu proses, sementara “mengikat” mengandung makna memberikan kekuatan yang menyatu atau konklusif. Dari penjabaran makna ini, kedua frase tersebut secara intrinsik mengindikasikan bahwa sebuah putusan telah mencapai puncak proses penilaian dan menghasilkan keputusan yang bersifat definitif dan mempunyai efek menguatkan yang tidak dapat ditantang lagi.

Dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi, makna “final” dan “mengikat” ini menunjukkan bahwa tidak ada lagi peluang untuk melanjutkan proses hukum setelah putusan diumumkan. Saat putusan itu diumumkan dalam sidang pleno, putusan itu langsung memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) dari UUD 1945.

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuspembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.”

Implikasi Final dan Mengikat

Dalam konteks legalitas putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat, penulis menguraikan implikasi hukum dari karakteristik tersebut ke dalam beberapa aspek utama:

a. Penciptaan Kepastian Hukum

Sifat final dari putusan Mahkamah Konstitusi diarahkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi pencari keadilan. Ini sesuai dengan amanat Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi “berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.” Oleh karena itu, setelah putusan diumumkan oleh Hakim Konstitusi, putusan itu memiliki kekuatan hukum mutlak, dan tidak ada kesempatan bagi para pihak untuk mengajukan upaya hukum lebih lanjut. Ini menjamin bahwa keputusan yang diberikan bersifat final dan dapat langsung dieksekusi, mempercepat penyelesaian masalah dan pemberian kepastian hukum.

b. Mahkamah Konstitusi sebagai Institusi Konstitusional

Perundang-undangan yang mengatur Mahkamah Konstitusi, baik konstitusi maupun peraturan operasional, dengan tegas mengeliminasi kemungkinan untuk mengajukan banding atas keputusan yang telah dibuat. Ini menunjukkan bahwa Mahkamah Konstitusi didirikan sebagai lembaga kehakiman unik, tidak memiliki pengadilan di bawahnya dan tidak tergantung pada lembaga lain. Kondisi ini membedakan putusan Mahkamah Konstitusi dari putusan pengadilan lain. Mahkamah Konstitusi dirancang sebagai pengadilan konstitusional yang fokus pada sengketa-sengketa yang berkaitan dengan konstitusi, sehingga sifat putusannya berbeda dengan pengadilan konvensional yang masih memberikan kesempatan bagi pihak-pihak untuk mengajukan upaya hukum lanjutan.

c. Fungsi Pengaturan Sosial

Dalam konteks ini, penulis merujuk pada pendapat Prof. Achmad Ali tentang peran hukum sebagai alat pengaturan sosial:

“Fungsi hukum sebagai alat pengendalian sosial dapat diterangkan sebagai fungsi hukum untuk menetapkan tingkah laku mana yang dianggap sebagai penyimpangan terhadap aturan hukum.”

Dalam hubungannya dengan karakteristik final dan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi, ini juga merupakan manifestasi dari peran keputusan Mahkamah Konstitusi dalam mengatur dinamika sosial di Indonesia. Selain itu, keputusan tersebut juga menciptakan norma hukum yang dapat diimplementasikan sesuai dengan mandat konstitusi. Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat berperan sebagai instrumen pengaturan sosial yang diwujudkan dalam norma hukum yang memperbolehkan atau membatalkan ketentuan tertentu dalam undang-undang. Oleh karena itu, kekuatan mengikat dari putusan Mahkamah Konstitusi setara dengan kekuatan mengikat undang-undang yang merupakan hasil dari proses politik, yang berfungsi sebagai alat rekayasa hukum untuk memberikan perlindungan hukum kepada seluruh lapisan masyarakat.

d. Pengawal dan Penafsir Tunggal Konstitusi

Pasca-amandemen konstitusi era Orde Baru, Mahkamah Konstitusi dirancang khusus sebagai penjaga dan penafsir tunggal konstitusi. Hal ini ditegaskan dalam penjelasan resmi Undang-Undang No. 08 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang bertugas menangani kasus-kasus tertentu di bidang ketatanegaraan, dengan tujuan untuk memastikan konstitusi dijalankan dengan bertanggung jawab sesuai dengan aspirasi rakyat dan ide-ide demokrasi. Mahkamah Konstitusi juga diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah konstitusional di masa lalu yang disebabkan oleh interpretasi ganda terhadap konstitusi.

Dalam konteks yang sama, A. Mukthie Fadjar, yang pernah menjabat sebagai Hakim Konstitusi, menjelaskan beberapa aspek penting dalam Penjelasan Umum UU No. 08 Tahun 2011 terkait peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, yaitu:

  1. agar konstitusi dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
  2. menjaga terselenggaranya pemerintahan negara yang stabil.
  3. merupakan koreksi terhadap pengalaman kehidupan ketatanegaraan di masa lalu yang ditimbulkan oleh tafsir ganda terhadap konstitusi.

Dalam kerangka ini, keputusan-keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat diinterpretasikan sesuai dengan konstitusi, yang merupakan hukum utama atau gronwet, dan harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Ini menandakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak hanya berfungsi sebagai penafsir melalui putusan-putusannya tetapi juga sebagai korektor, yang tercermin dalam legislasi yang dibuat oleh DPR dan Presiden. Keputusan ini diuji dengan batu uji konstitusi secara kritis dan dinamis. Dengan demikian, putusan yang final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi secara hukum (binding) merupakan cerminan dari peranannya sebagai penjaga dan penafsir konstitusi, dan memastikan bahwa undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Pemerintah tetap sejalan dengan mandat konstitusi.

Dampak Hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat (Binding)

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat menghasilkan berbagai dampak hukum dalam praktiknya. Meskipun dampak-dampak tersebut tidak selalu memberikan efek positif terhadap evolusi ketatanegaraan di Indonesia, ada juga beberapa aspek yang memerlukan pengawasan dan perhatian lebih mendalam, terutama ketika putusan tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.

Artikel ini akan mengkategorikan dampak hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat ke dalam dua kategori utama, yaitu dampak yang positif dan dampak yang negatif. Berikut adalah dampak positif dari putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat:

1. Penyelesaian Sengketa Hukum

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding) memiliki konsekuensi hukum dalam menyelesaikan sengketa hukum. Namun, ini tidak berlaku universal atas semua fungsi Mahkamah Konstitusi, melainkan hanya berlaku pada tiga dari empat kewenangan yang dimiliki, yang melibatkan sengketa hukum, yaitu:

  1. Uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945;
  2. Sengketa antar-lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; dan
  3. Perselisihan hasil pemilihan umum.

Dalam ketiga bidang ini, keputusan final dan mengikat dari Mahkamah Konstitusi berakibat pada penutupan sengketa hukum. Contoh spesifik adalah dalam kasus sengketa hasil pemilihan umum, di mana para pihak, seperti pemohon, termohon, dan pihak terkait, terlibat langsung dalam sengketa yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Keputusan dari Mahkamah ini memungkinkan penyelesaian sengketa tersebut secara efisien dan cepat, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) butir a, b, dan d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Hal serupa berlaku pula dalam kewenangan Mahkamah dalam memutus sengketa kewenangan lembaga negara serta dalam uji materiil undang-undang terhadap UUD 1945.

Namun, dalam kasus seperti pembubaran partai politik atau putusan terkait dengan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas dugaan pelanggaran berat, seperti pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya, situasinya berbeda. Kewenangan ini tidak termasuk dalam kategori penyelesaian sengketa hukum, tetapi lebih pada muatan politis yang melibatkan elit politik.

2. Memperkuat Prinsip Checks and Balances

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat memiliki kekuatan untuk membatalkan undang-undang yang telah dirumuskan melalui kerja sama antara DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan Pemerintah dalam bidang eksekutif. Proses pembuatan undang-undang ini sering kali melibatkan perdebatan intens dan memakan waktu serta anggaran negara yang tidak sedikit. Namun, dengan intervensi dari sembilan Hakim Konstitusi, undang-undang tersebut bisa dibatalkan dalam waktu yang relatif singkat jika dianggap bertentangan dengan konstitusi. Ini menunjukkan bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi berperan penting dalam menjaga prinsip checks and balances di Indonesia. Dengan kata lain, walaupun undang-undang tersebut merupakan produk dari kerja sama antara eksekutif dan legislatif, jika undang-undang itu melanggar prinsip-prinsip konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhak mengintervensi dengan putusan yang final dan mengikat untuk memastikan bahwa prinsip checks and balances tetap dijaga.

Selain itu, tindakan Mahkamah Konstitusi dalam membatalkan keputusan politik yang dibuat oleh pembuat undang-undang juga merupakan bentuk pengawasan yang dijalankan oleh Mahkamah untuk menjamin bahwa jalannya politik negara tetap sesuai dengan koridor konstitusi.

3. Memfasilitasi Dinamika Proses Politik

Sama seperti dampak hukum yang mengakhiri sengketa hukum yang telah diulas sebelumnya, dampak hukum yang mendorong dinamika proses politik juga terbatas pada tiga area kewenangan Mahkamah Konstitusi, yaitu:

  1. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang;
  2. Perselisihan Hasil Pemilihan Umum; dan
  3. Putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai dengan UUD 1945.

Sebagai contoh, keputusan Mahkamah Konstitusi dalam kasus pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (No. 05/PUU-V/2007, tanggal 23 Juli 2007) yang bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini memungkinkan calon perseorangan memenuhi syarat untuk bertanding dalam pemilihan daerah melalui proses yang demokratis dan transparan, mendorong perubahan legislatif yang signifikan terhadap undang-undang tersebut.

Selanjutnya, dalam kasus perselisihan hasil pemilihan umum, keputusan Mahkamah Konstitusi berpotensi mempengaruhi konstelasi politik di suatu daerah, menunjukkan bagaimana putusan tersebut dapat mengubah dinamika politik setempat secara signifikan dan mengikat secara hukum.

Dalam konteks putusan terkait dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan lainnya, keputusan Mahkamah Konstitusi juga memainkan peran penting dalam membentuk proses politik. Baik ketika Mahkamah menemukan adanya pelanggaran maupun ketika Presiden dan/atau Wakil Presiden dinyatakan tidak bersalah, kedua situasi tersebut menghasilkan konsekuensi politik yang mendalam.

Konsekuensi Negatif Putusan Mahkamah Konstitusi yang Bersifat Final dan Mengikat (Binding)

Dengan demikian, keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat dapat mengakhiri atau memulai suatu proses politik untuk memastikan bahwa praktik politik yang ada tetap berada dalam koridor konstitusi. Namun, keputusan tersebut juga membawa beberapa konsekuensi hukum negatif, di antaranya:

1. Mengeliminasi Akses ke Upaya Hukum Berikutnya

Meskipun sudah diketahui bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tidak memberikan ruang untuk upaya hukum lebih lanjut, masih terdapat permasalahan yang sering kali muncul terkait keputusan tersebut, terutama dalam kasus pengujian konstitusionalitas undang-undang. Keputusan tersebut seringkali kontroversial dan menimbulkan debat di masyarakat, yang dapat merusak persepsi keadilan di kalangan yang merasa dirugikan oleh keputusan tersebut. Sebagai contoh, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU IV/2006 tentang uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, di mana Mahkamah menyatakan bahwa beberapa pasal bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 menegaskan bahwa pengawasan atas hakim agung dan hakim lainnya harus dilakukan oleh Komisi Yudisial sesuai dengan undang-undang. Namun, keputusan Mahkamah mengenai Undang-Undang tentang Komisi Yudisial menunjukkan bahwa beberapa ketentuan yang menyangkut fungsi pengawasan menciptakan ketidakpastian hukum. Keputusan ini, menurut Mahkamah, cenderung mengganggu independensi peradilan yang dijamin oleh konstitusi. Namun, beberapa pandangan beranggapan bahwa independensi peradilan seharusnya tidak menghalangi pengawasan terhadap hakim. Denny Indrayana, misalnya, mengkritik keputusan tersebut dengan menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi telah membatalkan “roh” dari keberadaan Komisi Yudisial itu sendiri, menunjukkan betapa kontroversialnya beberapa keputusan tersebut.

Dalam konteks ini, konsep keadilan berubah tergantung siapa yang mendefinisikan dan bagaimana struktur hukum di masyarakat. Menurut Hans Kelsen dan John Rawls, keadilan harus melindungi hak-hak yang dijamin oleh hukum dan memberikan manfaat nyata kepada individu. Namun, saat keadilan yang diperjuangkan melalui keputusan Mahkamah Konstitusi tidak terasa oleh para pihak, mereka tidak memiliki pilihan lain selain menerima keputusan tersebut sebagai akhir dari upaya hukum mereka, sebuah konsekuensi langsung dari keputusan yang bersifat final dan mengikat tersebut.

2. Menciptakan Kekosongan Hukum

Kekosongan hukum mungkin terjadi ketika putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat tidak diimplementasikan, menjadikannya hanya sebuah teori tanpa aplikasi praktis (hukum di atas kertas). Ini sering kali disebabkan oleh ketergantungan putusan tersebut pada tindak lanjut dari pihak-pihak terkait, seperti DPR dan pemerintah, yang harus merevisi ketentuan undang-undang yang dibatalkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi.

Contoh nyata dari fenomena ini dapat dilihat dalam penanganan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 terkait uji materiil terhadap UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Setelah Mahkamah memutuskan untuk membatalkan beberapa ketentuan yang menjadi dasar operasional Komisi Yudisial dalam melakukan fungsi pengawasan atas hakim, terjadi kekosongan hukum terkait dengan pelaksanaan fungsi tersebut sampai ketentuan baru dirumuskan dan disahkan. Selama periode ini, pengawasan atas hakim kembali bergantung pada mekanisme pengawasan internal yang dianggap tidak efektif.

Hal serupa terjadi dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyangkut perselisihan hasil pemilihan umum, seperti dalam kasus Pemilihan Kepala Daerah Kotawaringin Barat. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010 yang mendiskualifikasi satu pasangan calon dan menetapkan pasangan lain sebagai pemenang, menciptakan ketidakpastian dan kontroversi, yang memperlihatkan kekosongan dalam penerapan hukum pasca-putusan.

Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak diikuti dengan tindakan legislatif atau eksekutif yang cepat dan efektif dapat mengurangi kewibawaan hukum dan menimbulkan kegelisahan di masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting bagi DPR dan pemerintah untuk merumuskan regulasi yang mengatur tentang eksekusi putusan Mahkamah Konstitusi untuk mencegah kekosongan hukum dan memastikan implementasi yang efektif dari putusan tersebut.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like