Belakangan ini di pinggir jalan, kita banyak menemui baliho berisi wajah seseorang dan lambang partai politik. Selain baliho, media massa kita saat ini dipenuhi dengan wajah-wajah partai politik yang melakukan manuver untuk menunjukkan eksistensinya. Ketika baliho ini sudah memenuhi ruas jalan dan perbincangan media massa selalu tentang partai politik, kita dapat menduga bahwa sebentar lagi akan ada “pesta demokrasi” (pesta bagi yang memiliki kepentingan).
Persiapan menuju pesta memakan waktu yang sangat panjang agar berjalan dengan lancar sesuai dengan rencana yang telah dirancang oleh berbagai pihak. Pesta ini seperti kompetisi; ada yang menang dan ada yang kalah. Ketika pesta telah selesai, saatnya berbagi kue dan melakukan rekonsiliasi. Tanpa disadari, rakyat telah tercerai berai karena berbeda pilihan.
Melihat fenomena yang sering terjadi seusai pesta, masyarakat kita masih menjadi objek politik yang dibutuhkan saat proses pencalonan hingga pesta berlangsung dengan mengatasnamakan masyarakat untuk memperkaya golongannya sendiri. Hal ini menjadi catatan bagi para kontestan untuk mengubah posisi masyarakat yang semula hanya sebagai objek, kemudian berubah menjadi subjek. Mengapa masyarakat harus menjadi subjek? Politik merupakan rangkaian kebijakan publik yang menuntut masyarakat untuk aktif dan memiliki peran strategis dalam jalannya negara.
Dorongan untuk masyarakat menjadi subjek politik dimulai dari kesadaran kritis masyarakat. Paulo Freire membagi kesadaran menjadi kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Berangkat dari konsep kesadaran Freire, kesadaran politik masyarakat kita masih pada tataran kesadaran magis dan naif. Maraknya money politic dan golongan putih (golput) menjadi bukti bahwa kesadaran politik kita rendah. Bagaimana agar kesadaran politik kita berada pada tataran kritis?
Seluruh kalangan harus bertanggung jawab mengembalikan makna politik sebagai hal yang ada dan berjalan beriringan sejak manusia lahir hingga akhir hayatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan politik, bukan hanya sekedar manuver politik musiman. Kartono dalam bukunya yang berjudul “Pendidikan Politik” menjelaskan bahwa pendidikan politik adalah kegiatan yang dilakukan secara sistematis dengan tujuan untuk membentuk individu yang mampu menjadi partisipan dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan politik dengan landasan etika dan moral.
Ketika membaca putusan MK tentang kebolehan melakukan kampanye di fasilitas pemerintah dan lembaga pendidikan dengan syarat tidak membawa atribut, saya terperangah dan bertanya-tanya mengapa aturan yang diputuskan bukan kewajiban partai politik untuk melakukan pendidikan politik di lembaga pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas pemerintah. Menurut hemat saya, keputusan yang dihadirkan menunjukkan bahwa politik di negara kita dimaknai hanya sebagai kompetisi untuk mendapatkan jabatan, bukan untuk menumbuhkan kesadaran bernegara. Melihat hal ini, kiranya pemerintah, partai politik, dan masyarakat harus melakukan pendidikan politik untuk mendongkrak kualitas demokrasi dan nilai keadilan kita.
Pemerintah memiliki otoritas untuk membentuk hukum dan mengawasi komunitas/rakyat. Dari peran dan fungsi inilah kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah wajib melakukan pendidikan politik kepada rakyat. Bagaimana pemerintah melakukan pendidikan politik untuk rakyat? Kiranya ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, membentuk sebuah kurikulum pendidikan politik di lembaga pendidikan. Selama ini di lembaga pendidikan kita belum ada kurikulum khusus perihal politik, kecuali pada fakultas yang berfokus membahas ilmu politik.
Pelajaran politik dari tingkatan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas masih mengajarkan kita bagaimana menjadi warga negara yang baik dengan memilih ketika ada pemilihan umum, bukan bagaimana menjadi warga negara yang mampu memahami sistem politik dan menjadi masyarakat politik. Kedua, seluruh lembaga pemerintah diarahkan pada penanaman nilai-nilai dasar politik yang menekankan pada kesadaran warga negara terhadap kondisi sosial negara dan global. Ketiga, memastikan budaya politik negara terus berjalan dengan baik yang berdampak pada keberlangsungan sistem politik.
Dalam UU No. 2 Tahun 2011, perubahan atas UU No. 2 tahun 2008 tentang partai politik, salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Fungsi ini perlu dikupas lebih jauh dengan melihat realitas. Faktanya, partai politik saat ini masih absen untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Absennya partai politik disinyalir karena partai sibuk mengurusi internalnya, sibuk membentuk strategi agar menang pada saat kontestasi, dan belum ada format atau peraturan yang jelas tentang bagaimana partai politik melakukan pendidikan politik.
Beberapa hal yang dapat dilakukan partai politik dalam melakukan pendidikan politik adalah: Pertama, menjadi kritikus terhadap pemerintahan selaku jembatan dari rakyat. Kedua, hadir bersama rakyat. Hadir dalam arti setiap tindak tanduknya melibatkan rakyat, bukan hanya hadir ketika pemilihan umum akan berlangsung.
Sebagai subjek politik, masyarakat harus memiliki kepedulian bersama dan saling terlibat dalam melakukan pendidikan politik. Dari ketiga elemen negara yang memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan politik, sepertinya masyarakat lebih massif melakukan pendidikan politik. Bukti dari masyarakat melakukan pendidikan politik adalah lahirnya lembaga-lembaga independen yang sadar politik dan pemilu yang bertujuan untuk melakukan pendidikan politik kepada seluruh lini masyarakat.
Akhir kata, saya berharap pemilihan umum ke depan benar-benar menjadi pesta bagi seluruh elemen dalam negara kita. Pesta dalam makna seluruh elemen negara hadir sebagai peserta, bukan tamu yang tidak diundang yang hanya mengikuti pesta dari bilik suara. Ketika pesta sudah menjadi milik bersama, indeks demokrasi, kesejahteraan, keadilan, dan cita-cita luhur bangsa kita dapat tercapai.