Mahasiswa Harus Berontak Terhadap Komersialisasi Pendidikan3 min read

Tulisan ini berangkat dari keresahan pikiran dan diskusi sekelompok mahasiswa yang dalam beberapa hari terakhir menggeluhkan pembayaran UKT dan SPP yang setiap tahunnya harus ditunaikan sebagai kewajiban menuntut pendidikan di Perguruan Tinggi.

Akhir-akhir ini kita kembali dikejutkan dengan berbagai kebijakan kampus yang mencekam mahasiswa, terutama mengenai mahalnya biaya kuliah meskipun di tengah kondisi Covid. Hal ini oleh sebagian mahasiswa dianggap sebagai komersialisasi pendidikan di perguruan tinggi. Namun, saya tidak dapat menyebutkan universitas mana yang dimaksud. Mahasiswa sendiri dapat melihat, membaca, dan menganalisis terkait biaya kuliah yang setiap semester kian meningkat, ditambah lagi dengan kondisi perekonomian orang tua yang kian merosot di tengah pandemi Covid-19.

Masalahnya tak jauh dari mahalnya biaya kuliah hingga kian sulitnya melakukan pembayaran setiap semesternya. Dalam kasus ini, lembaga kemahasiswaan mengambil sikap untuk berontak atau memediasi berbagai keluhan mahasiswa agar kampus tidak dikuasai oleh segelintir orang yang hanya mencari keuntungan.

Perjuangan melawan komersialisasi pendidikan bukanlah hal baru di kampus. Banyak taktik dan strategi yang disajikan untuk melawan kebijakan tersebut. Secara wacana, memang terus dikembangkan opini yang menentang kelemahan komersialisasi pendidikan. Muncul pula para korban langsung dari kebijakan ini. Tak jarang para aktivis mahasiswa turun untuk melakukan demonstrasi besar-besaran. Sikap mereka jelas: komersialisasi bukan solusi, perguruan tinggi bukan tempat untuk mencari laba dan keuntungan. Rakyat kian menjerit akibat kebijakan yang tak berpihak kepada mahasiswa.

Namun, ini bukan pertarungan yang selalu kita sorot sebagai mahasiswa. Serangan itu diarahkan pada kebijakan, bukan pada individu dalam birokrasi. Namun, kita semua harus rasional menanggapi segala aturan dan kebijakan yang ada. Sasaran kritik dan pemberontakan ada pada peraturan, yakni harus disesuaikan dengan keadaan perekonomian mahasiswa. Tulisan yang tajam memang diperlukan untuk mengkritik siapapun yang menghalangi perjuangan.

Sayangnya, tidak selalu setiap tulisan dan agitasi mampu memicu gerakan. Oleh karena itu, dalam beberapa perlawanan terhadap komersialisasi pendidikan atau kebijakan kampus yang tidak berpihak, terkadang hilang orientasi dan tujuan utamanya.

Meskipun setiap orang merasa telah berjuang dengan total, perseteruan seringkali dimulai dari mereka yang merasa mendominasi dibandingkan dengan rekan-rekan seperjuangan mereka. Lebih rumit lagi, gerakan mahasiswa seringkali dilumpuhkan melalui prosedur dan intervensi dari senior-senior atau pejabat kampus yang berafiliasi dengan birokrasi. Perjuangan dan pergerakan selalu menjadi siklus di mana yang tertindas akan kembali menindas. Hal ini tergambar dari beberapa mahasiswa atau senior yang memiliki mental feodal.

Sebagai pengamatan, meskipun saya juga berstatus sebagai mahasiswa, saya sangat menyadari bahwa polarisasi gerakan demonstrasi mahasiswa telah merambah ke lingkaran akademik. Ditambah dengan sikap pragmatis dan apatis yang tak bisa dihindari di kalangan mahasiswa. Hal tersebut akan selalu melemahkan setiap gerakan yang dibangun.

Hal-hal di atas sering terjadi di kalangan mahasiswa itu sendiri. Di tengah krisis legitimasi dan kepercayaan lembaga kemahasiswaan, kita harus ambil bagian dalam setiap masalah yang ada. Tidak ada lagi saling mengandalkan atau hanya menerima keadaan tersebut. Pada dasarnya, ini berangkat dari keresahan pikiran yang diwakili oleh beberapa kalangan mahasiswa. Pergulatan dengan isu gerakan mahasiswa dan komersialisasi pendidikan yang saya alami hampir setiap semester sebagai mahasiswa tetap dihadapkan dengan masalah tersebut.

Perlawanan tak lagi menjadi bahasa bersama dalam setiap masalah mahasiswa atau masalah rakyat yang tertindas. Demikian pula, pamflet dan seruan agitasi tak lagi menggugah mahasiswa untuk bergerak dan berjuang, hanya bersikap pasrah dan menunggu pemimpin yang adil untuk menyelesaikan segala masalah mahasiswa. Ini sangat kontras dengan kenyataan yang semakin menindas mahasiswa.

Pendidikan tak lagi seperti yang diharapkan mahasiswa saat pertama kali masuk kampus. Tanggung jawab negara dalam memenuhi anggaran pendidikan dipangkas untuk memenuhi kepentingan jangka pendek mereka. Berbagai regulasi dikeluarkan untuk menghilangkan tanggung jawab tersebut. Pendidikan dijadikan komoditas dan pasar untuk meraup keuntungan. Kapitalisme pendidikan semakin berhasil menjajah dan merampas hak-hak mahasiswa. Lalu, apa yang harus dilakukan? Sementara memberontak dianggap sebagai hal yang sia-sia di tengah perjuangan, sementara yang lain duduk dan mencari keamanan.

Di momentum seperti ini, diperlukan partisipasi semua mahasiswa untuk menyelesaikan segala masalah yang ada. Diperlukan alternatif konsolidasi dan mobilisasi gerakan yang harus massif jika memang diperlukan. Namun, upaya mediasi dan persuasif harus lebih dikedepankan. Saya juga adalah bagian dari aktor konsolidasi gerakan dalam memperjuangkan masalah-masalah mahasiswa di dalam kampus maupun rakyat di luar kampus.

Semoga Bermanfaat.

Mahasiswa Universitas Haluoleo Sulawesi Tenggara , Demisioner Ketua Kesatuan Pemuda Mahasiswa Maperaha Muna Barat , Mantan Pengurus BEM UHO periode 2019-2020 Dan Saat ini menjabat sebagai ketua Dewan Pimpinan Komisariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia FISIP-UHO.

One thought on “Mahasiswa Harus Berontak Terhadap Komersialisasi Pendidikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like