Membaca Represifitas dalam Perjuangan Warga Pakel, Seluma dan Wadas5 min read

Rentetan panjang konflik agraria hingga berujung represif kembali terulang, tidak hanya persoalan agraria tetapi juga yang berkaitan dengan pertambangan. Kali ini ada kasus konflik agraria Pakel di Banyuwangi, lalu konflik pertambangan di Seluma, Bengkulu dan konflik pertambangan untuk pembangunan proyek strategis nasional di Wadas, Jawa Tengah.

Pada Jumat dinihari (14 Januari 2022) di Pakel, Banyuwangi, Rukun Tani Sumberejo Pakel yang tengah ronda di posko perjuangan tiba-tiba didatangi oleh aparat kepolisian sekitar 15 personil dari Kapolresta Banyuwangi. Dalih aparat kepolisian ke tapak adalah untuk melakukan patroli rutin yang bertujuan untuk menciptakan keamanan. Tetapi bukannya keamanan yang tercipta malah ketakutan. Di mana aparat kepolisian tanpa surat tugas yang jelas melakukan tindak kekerasan kepada petani. Dampaknya 4 orang mengalami luka akibat tindakan tersebut. Sebelumnya ada 13 warga Pakel yang telah menjadi korban kriminalisasi sepanjang 2 tahun terakhir perjuangan mereka, tidak cukup di situ warga juga mengalami intimidasi berupa perusakan tanaman di lahan reklaiming sampai pada titik mereka ditakut-takuti bayangan kriminalisasi dengan tuduhan merusak kebun yang tidak sah tersebut.

Sebelumnya, kekerasan terhadap warga yang berjuang juga dialami oleh Ibu-ibu di Seluma, Bengkulu yang menolak pertambangan di wilayahnya harus diusir, direpresi dan ditangkap paksa saat menduduki tapak pertambangan. Padahal mereka tengah berjuang untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat di wilayahnya. Sementara di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, setiap hari warga diteror oleh aparat kepolisian karena menolak pertambangan batu andesit untuk pembangunan megaproyek Bendungan, Bener, sebagai proyek startegis nasional. Setiap hari warga dihantui patroli, bahkan beberapa kali diketahui warga dimata-matai pakai drone. Jauh sebelumnya warga sempat direpresi, ditangkap dan diusir dari lahan-lahan pertaniannya hanya untuk ambisi negara yang tidak pernah meminta persetujuan warganya.

Diskursus Hegemoni dan Relasi Kuasa

Ketika melihat situasi demikian, maka diskursus yang dapat dikembangkan ialah melihatnya dalam konstruksi hegemoni dan relasi kuasa. Negara memiliki sisi di mana ia dapat melakukan apapun, termasuk merepresi dan melakukan tindakan-tindakan kekerasan guna meneguhkan dominasinya. Secara struktur di sini ada pemerintah selaku yang menjalankan pemerintahan, menciptakan kebijakan dan regulasi.

Hegemoni sendiri secara harfiah adalah dominasi atau kekuasaan sosial-budaya, oleh satu kelompok dominan dalam suatu tatanan masyarakat atau lingkungan. Dan berkaca dari pandangan Gramsci sebagaimana diungkapkan oleh Eagleton (1991), merupakan suatu ide dari kelas penguasa untuk memanipulasi sistem dan kebiasaan dari suatu masyarakat, menjadi satu pandangan global atau tatanan sistem dunia. Selanjutnya, hegemoni sendiri merupakan jalan yang mana kelas penguasa mencoba melakukan subjugasi (penundukan), pada mereka yang akan dijinakkan atau ditundukkan.

Gramsci (2011) kemudian menjelaskan pada tataran ini hegemoni merupakan suatu bentuk dominasi kuasa, artinya erat dengan konteks relasi kuasa. Ada upaya dari kelas penguasa untuk mendominasi melalui berbagai cara, baik melalui otoritas maupun konsensus yang ia ciptakan, sehingga lembaga-lembaga swasta, agama hingga individu membantu melancarkan hegemoni itu sendiri. Pada dasarnya hegemoni ini bertujuan melanggengkan status quo, menciptakan sebuah tatanan otoritatif. Yang mana ada yang terpinggirkan atau dikerdilkan perannya, dan secara konstruktif merupakan bagian dari pola ‘subaltern.’

Dalam hal ini penting juga berkaca pada pandangan Mouffe dan Laclau (2001), bahwasanya proses hegemoni tak jauh dari konteks negara, terutama dalam hal ini kelas penguasa. Relasi kuasa dari hegemoni menyasar alat negara dalam melakukan dominasi kuasa, seperti upaya menggunakan militer, politik, dan ekonomi sebagai artikulasi dalam diskursus politik. Selanjutnya, implementasi dari diskursus artikulasi politik dengan dominasi tersebut menciptakan sebuah budaya, di mana hegemoni dilancarkan oleh masyarakat sebagai sebuah konsensus.

Artinya di sini hegemoni merupakan suatu relasi kekuasaan, di mana masyarakat yang tersubordinasi (ditundukkan) melakukan tugas-tugas sosial yang secara budaya tidak alami. Dalam kata lain tidak memiliki manfaat bagi mereka, tetapi secara eksklusif menguntungkan kepentingan kelas penguasa yang superior. Tentu dalam upaya meneguhkan status quo, melanggengkan dominasi kuasa atas masyarakat sendiri.

Rasionalisasi Kekerasan Terhadap Warga

Berangkat dari hegemoni dan relasi kuasa, maka akan menggiring kita pada suatu diskursus mengapa represi terjadi. Bahwa faktor yang dilakukan oleh aparatus keamanan negara dalam konteks perjuangan warga Pakel, Seluma dan Wadas, merupakan implementasi utuh dari upaya menegaskan dominasi kuasa mereka. Hal ini dapat dilihat dari pola-pola yang dilancarkan oleh negara, melalui kekuasaan koersifnya ia mencoba melakukan subjugasi pada mereka yang dianggap melawan, dan mengancam stabilitas negara.

Melalui kekuasaan militer, politik dan sosial, mereka perlahan menguasai segala lini. Selain melalui kekuasaan koersif, mereka juga melakukan secara kultural dalam bentuk konsesus masyarakat (Mouffe & Laclau, 2001). Di mana masyarakat juga menjadi aktor penting dalam melegitimasi represivitas, mewajarkan tindakan-tindakan koersif, atas dalih stabilitas. Konsensus ini diproduksi melalui narasi ilmiah dan propagandis, baik melalui corong institusi pendidikan maupun media korporasi. Sebagaimana yang terjadi di Pakel, Seluma dan Wadas di mana media jarang berpihak pada warga yang mempertahankan hak-haknya. Tak terkecuali lingkar intelektual menara gading yang malah meligitimasi perampasan atas nama modernisasi hingga inovasi untuk kemajuan negara yang tak lebih dari praktik ekspropriasi dan akumulasi melalui perampasan hak.

Semua didasarkan pada proses panjang hegemoni, yang mana tujuannya adalah dominasi kuasa. Hal inilah yang menjadi gambaran ketika kita melihat bagaimana peran intelektual hari ini, tentu dengan jargon independensinya tak lebih dari bentuk relasi kuasa yang sesungguhnya. Di mana mereka telah tersubjugasi dan tersubordinasi oleh kelas penguasa. Dengan dalih independensinya, mereka tak lebih dari bagian konsensus untuk melakukan dominasi kuasa, bagian utuh dari hegemoni itu sendiri (Gramsci, 2011). Karena mereka tidak berdiri sendiri, apa yang mereka lakukan merupakan pencarian situasi aman, agar tidak terkeksklusi dari zona nyama. Mereka tunduk, patuh dan menjadi bagian dari diskursus represi, karena melegitimasi situasi tersebut seolah-olah merupakan hal yang wajar.

Dan semua lini per-lini yang berhasil dikuasai, seperti intelektual, media dan perspektif masyarakat. Merupakan bagian dari rerantai yang panjang, melihat proses hegemoni pada suatu masyarakat. Di mana ada peran koersif dan kultural, mereka memiliki relasi kuasa yang sama, yakni menciptakan dan melanggengkan status quo. Koersif dengan aparatus keamanan negara, sementara kultural lebih ke konsensus masyarakat yang dikonstruksi aktif oleh media korporasi dan institusi pendidikan. Sehingga diskursus represif, merupakan salah satu bagian dari upaya subordinasi yang menjurus pada konteks ‘subaltern,’ guna meneguhkan dominasi kuasa dalam hal ini ‘status quo.’

Referensi

Eagleton, T. (1991). Ideology: An Introduction. London: Verso.

Laclau, E., & Mouffe, C. (2001). Hegemony and Radical Democracy in Hegemony and Socialist Strategy. London: Verso.

Gramsci, A. (2011). Prison Notebooks Volume 2 (Vol. 2). Columbia University Press.

Asisten Peneliti dan Pengkampanye WALHI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like