Mulanya dinilai sesat, ‘gila’ atau paling tidak bid’ah bagi seseorang yang berpikir “liberal” (termasuk dalam pemikiran Islam). Kadangkala tanpa dinanya, ada orang tiba-tiba “terbang bebas” dalam pernyataan.
Namun, tidak semua orang menerima, bahwa sesuatu yang ‘gila’ dan bid’ah dalam ketidaklaziman akan mengubah dunia. Istilah “liberal” masih dianggap asing atau belum dikenal secara luas oleh masyarakat di negeri kita. Hanya mungkin di sini mewakili satu atau lebih pernyataan yang dianggap liberal. Agak atau sudah liberal cara berpikirnya.
Diusahakan dalam secuil catatan ini tidak memiliki keterkaitan dengan pemikiran liberal seperti genre Jaringan Islam Liberal (JIL). Saya mencoba untuk mencumbui ‘mode of thought’ JIL. Saya kira, pemikiran JIL bukan hanya disalahpahami oleh sebagian pihak, tetapi juga ibarat genre musik cadas, alunan suara-teks begitu menghentak, merangsang, dan menyentuh bagian terdalam dari penafsiran dan pemikiran.
Mungkin juga pernyataan yang bernuansa aneh dan liberal dari pemikiran seseorang muncul begitu saja tanpa pamrih. Sebetulnya, pemikiran liberal bukan karena sulitnya dicerna kata-kata, kerangka logis atau alur berpikirnya.
Lebih dari ketidakbiasaan dan kemalasan seseorang untuk menjelajahi hal-hal baru atau tidak lazim dalam pemikiran. Sehingga, hal-hal yang sudah mapan di alam pikiran kita seakan-akan sudah ‘titik final’, akhirnya menghalangi diri seseorang atau tidak tertarik untuk memahami sesuatu yang berbeda dari sebelumnya.
Zaman baru lahir berkat cara berpikir individu sudah maju dan liberal, yang menyenangi hal-hal baru. Kaum fondasionalis sudah cukup pada apa-apa yang telah menjadi warisan pengetahuan dari zaman lampau.
Hal-hal baru didorong dengan cara pandang baru. Seseorang tidak perlu memaksakan dirinya untuk mengubah dunia dengan pemikiran baru jika hanya mencari sensasi. Yang membuat sensasi akan menghilang begitu muncul peristiwa yang lebih menghebohkan.
Taruhlah misalnya, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Dudung Abdulrachman melontarkan pernyataan: “Tuhan Kita Bukan Orang Arab.”[1]Sesuatu yang tidak lazim dari seorang petinggi, apalagi dalam lingkungan militer.
Pernah Badan Litbang Kementerian Agama mencoba untuk melacak jejak-jejak perkembangan Islam “Liberal” di Indonesia.[2]Di sini, saya tidak untuk mengurai apa yang dimaksudkan oleh Balitbang Kemenag. Sekedar mengutip pada hal-hal yang berhubungam dengan khazanah Islam “liberal.”
Pak Jenderal Dudung tidak berarti identik dengan JIL dan tokoh-tokoh “liberal” lain. Dia melihat ada sesuatu yang membuat bangsa sudah tidak sesuai dengan realitas kebangsaan mutakhir. Apa yang kita hadapi, diantaranya ‘ujaran kebencian’ dan ketidaktoleran’ antara satu dengan lain. Pak Jenderal Dudung menyeru pada pemikiran baru tanpa belenggu pemahaman yang dogmatis, penghargaan atas perbedaan atau keragaman, dan perjuangan nilai-nilai demokrasi, yang begitu selaras dengan kehidupan bangsa.
Persis, sesuatu yang ‘gila’ tidak harus menjadi Descartes atau Nietszche. Memilih pemikiran “Kiri” tidak mesti menjadi Marx. Hal menarik, orang lebih memilih kerangka berpikir filosofisnya, ketimbang semata-mata pemikiran ideologisnya.
Sosok Jenderal Dudung dengan gayanya, bukan mustahil ada interupsi dari pihak yang tidak setuju dengan pernyataannya. Setiap pernyataan yang aneh dan berbeda dari yang lain memiliki tanda konsekuensi. Pernyataan mesti tidak mutlak menggunakan kata “setiap” sebagai kelaziman menjadi ketidaklaziman.
Menyangkut pernyataan lain “do’a dalam bahasa Indonesia” dari pernyataan Jenderal Dudung menuju ‘contradictio in terminus, suatu pertentangan dalam penggunaan istilah. Kita bisa cermati pernyataan Jenderal Dudung, ketika kemapanan metodologi ijtihad tidak seiring dengan pernyataannya yang diinterupsi, karena analogi Tuhan mengarah pada personifikasi orang Arab. Kita sadar, Jenderal Dudung tidak menjurus pada penilaian dan pemikiran rasial. Cukup sudah rasialis di negeri kita!
Penafsiran pun berbeda tatkala menyebut Tuhan berwujud “orang”. Bisa jadi penafsiran dari seseorang tentang “Tuhan kita bukan orang Arab” berarti Tuhan yang dipahami tidak seperti doktrin yang dipegung tegih oleh orang Arab. Selama ini, pemahaman tentang Wahabisme, salafi, atau kaum jihadis dan Islamis tidak lain dari pengaruh pergerakan keagamaan yang berasal dari negeri Arab. Kecuali mungkin, model pembaruan pemikiran yang dikembangkan oleh segilintir sosok, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, Abed Al Jabiri, Hassan Hanafi, dan tokoh lain yang serupa. Boleh dikata tanpa berlebihan, diluar nama-nama yang disebutkan, orang Arab secara umum belum memiliki pandangan luas dan belum memiliki nalar kritis.
Bisa juga penafsiran atas apa yang dimaksudkan dalam pernyataan Jenderal Dudung tersebut mengandung stigma yang masih terjadi, seperti Islam bukan hanya untuk bangsa Arab.
Berikutnya, ada sebagian kecil komentar dari warganet di media online republika.co.id terhadap pernyataan Jenderal Dudung.
“Kalau Tuhan bukan orang Arab, la terus orang mana Tuhan kamu, hayo ngaku.” “Kan dia bilang juga bukan orang Arab … drun … ingat bukan ORANG.” ” Kegaduhan ini disebabkan “statement jenderal” yang selalu angkat telor.” “Ha ha ha … kadrun KNTL.” “Sayangnya Nabi Muhammad tidak diturunkan di Indonesia ya pak jenderal.” “Karena Allah SWT Maha Segalanya, yang akan mengerti semua bahasa doa yang kita gunakan untuk berkomunikasi kepadaNya.” “Halah .. Gus .. Gus .. pansos lu! Bukannya tabayyin kok malah koar-koar ke media massa. Lengserkan gelar Gus mu!” “Yang perlu dilengserkan itu otakmu.”
Pada diri Jenderal Dudung nampak bukanlah seorang tipikal dalam kaitannya dengan pemikiran atau pemahaman fondasionalis yang kaku di bidang keagamaan. Dia bergaya luwes dalam pemikiran kebangsaan. Antara pemikiran kebangsaan tidak lantas diperhadap-hadapkan dengan pemikiran keagamaan. Dalam waktu yang bersamaan, sang Jenderal mampu bersikap tegas dan membaca lekuk dunia pikiran kaum yang berhaluan keras atau orang-orang yang bertujuan “lain” untuk mengganggu kedaulatan negara dan bangsa.
[1] Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Dudung Abdulrachman melontarkan pernyataan: “Tuhan Kita Bukan Orang Arab.” Diakses dari https://m.republika.co.id/berita/r3exij484/berdoa-bahasa-indonesia-ksad-tuhan-kita-bukan-orang-arab, tanggal 2 Desember 2021, pukul 09.52 WITA.
[2] Badan Litbang Kementerian Agama mencoba untuk melacak jejak-jejak perkembangan Islam “Liberal” di Indonesia. Diakses dari https://balitbangdiklat.kemenag.go.id/berita/perkembangan-islam-liberal-di-indonesia, tanggal 2 Desember 2021, pukul 10.55 WITA.
ASN/PNS Bappeda Kabupaten Jeneponto/ Aktivis Masyarakat Pengetahuan