Reaktualisasi Nilai Pancasila5 min read

Bangsa Indonesia dalam menetapkan landasan dasar kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mengadopsi paham dan ideologi negara lain yang sudah ada di berbagai belahan dunia. Sebagai negara yang berada dalam persilangan benua dan samudera, tentu bangsa ini menjadi medan persilangan dan perebutan pengaruh wacana ideologi yang sudah ada, baik itu yang ada di lintas daratan dan lautan.

Entah berapa banyak ideologi yang sudah merasakan kontestasi ideologi di nusantara ini. Mulai dari ideologi yang bercorak kapitalis-liberal, sosialis, komunis, dan agama. Uniknya, tidak ada ideologi besar dunia yang mampu mendominasi alam pikiran masyarakat Indonesia sebagai bangsa dan negara baru.

Bangsa Indonesia mempunyai corak ideologi sendiri yang terlepas dari dominasi pengaruh ideologi besar yang berkembang di dunia kala itu. Bangsa Indonesia menemukan rumusan ideologinya yang sekarang kita kenal dengan istilah Pancasila itu. Pancasila menjadi ideologi autentik dan sekaligus pembeda bagi beragam aliran pemikiran yang berkembang.

Soekarno mengatakan, Pancasila lahir dari rahim bangsa Indonesia yang digali dari perut Ibu Pertiwi. Pancasila adalah perasaaan sari pati kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga Pancasila menjadi pengikat dan pemersatu bangsa serta menjadi tanda besar bagi segenap anak bangsa untuk hidup nyaman dan sejahtera.

Arti Penting Pancasila

Sebagai sebuah ideologi , Pancasila memuat tentang pandangan hidup (weltangchaung) dalam kehidupan. Sebagai ideologi pula, Pancasila juga memandu kita akan arah tujuan hidup bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Unsur dari ideologi lengkap ada di dalam rumusan Pancasila yang di perjelas pada pembukaan UUD 45 dan yang diperinci dalam batang tubuhnya. Ideologi mutlak diperlukan dalam kehidupan, khususnya bernegara, sehingga bangsa ini punya pegangan, punya arah dan pedomaan mewujudkan mimpi dan rah hidupnya.

Pancasila dalam sila-silanya tidak menegasikan agama (Tuhan) dalam masyarakat kita karena memang bangsa ini adalah bangsa yang kental akan sifat religius dalam masyarakatnya. Pancasila jika tidak membuang jauh-jauh semangat kebersamaan kolektivisme yang menjadi roh dari jiwa sosial masyarakat dalam semangat memujudkan keadilan sosial.

Pancasila juga tidak mengesampingkan penghargaan atas hak dan kreativitas individu di dalam masyarakat. Hal itu tercermin dalam sila yang ada di dalam pancasila (five pilar-five principle). Bisa di bilang Pancasila memuat inti posistif dari berbagai macam corak pemikiran dan ideologi-ideologi besar yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Tantangan Pancasila

Dalam perkembangannya, ideologi yang menjadi pengikat dan pemersatu bangsa itu bisa luntiur dan kusam seiring dengan dinamika perkembangan zaman. Tantangan hidup sekarang tanpa terasa kalau tidak dicermati dengan hati-hati bisa melunturkan spirit ideologi Pancasila yang menjadi dasar dari kehidupan berbanga dan bernegara.

Di era demokrasi dan persaingan bebas, modernitas yang membawa virus negatif pragmatisme dan permisifisme, revolusi teknologi informasi dan transportasi yang mempercepat segala hal, bahkan instan kalau tidak disikapi dengan hati-hati bisa mempercepat proses peluluhan ideologi Pancasila. Pancasila akan ditinggalkan oleh masyarakat, sehingga dinilai tidak punya makna

Sebagai bangsa yang majemuk dan menghargai perbedaan, bangsa ini juga sedang diuji. Fondasi pluralitas dan bangunan toleransi yang tinggi, seperti yang tercantum dalam kata Bhinneka Tunggal Ika seolah menjadi rapuh dan tercederai dengan adanya gelombang fanatisme golongan dan fundamentalisme agama yang kian menguat.

Tafsir dan penafsiran agama yang sepihak menutup ruang pihak lain (other) untuk hidup di dalam payung dan tenda besar pancasila. Peristiwa-peristiwa pemaksaan disertai dengan kekerasan atas nama agama masih terus membayangi, entah itu yang sifatnya struktural maupun horizontal. Reaktualisasi nilai Pancasila menemukan relevansi di tengah situasi yang seperti ini.

Kegagalan menghadirkan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat menjadi kenyataan yang kita saksikan saat ini. Praktek penyelenggaraan negara yang mengingkari Pancasila dengan berbagai modus operandi yang dipraktekkan, baik dalam bidang agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial menyisakan jurang yang menganga antara apa yang diceritakan dan kenyataan yang terjadi.

Kita tidak ingin menyebutkan segala hal yang tidak baik terjadi saat ini adalah penyelewengan terhadap Pancasila. Oleh karena itu, melalui momentum bulan Oktober ini kita harus melakukan reaktualisasi terhadap Pancasila itu sendiri. Adapun proses reaktualisasi itu bisa dimulai pemimpin. Pemimpin baik yang ada di ranah lokal maupun nasional punya pengaruh besar lantaran menjadi real model bagi masyarakat dan akan menjadi panutan bagaimana pemimpin mengimplementasikan nilai Pancasila dalam kehidupan.

Pemimpin juga punya andil dalam proses penanaman nilai-nillai Pancasila. Kegagalan menegakkan nilai-nilai Pancasila, kalau kita mau jujur, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya keteladanan pemimpin atau para elite politik dan elite pemerintah. Rusaknya proses penyelenggaraan negara menjadi contoh bagi masyarakat dalam bersikap dan bertindak.

Seperti yang kita ketahui bahwa perilaku elite politik dan pemerintah kita jauh dari batas-batas normal sebagai bangsa yang mengakui adanya Pancasila yang menjadikan Tuhan sebagai spirit bernegaranya. Perilaku korupsi dan pengrusakan setiap sendi kehidupan  berbangsa hampir masif dilakukan oleh hampir semua instansi penyelenggara negara. Ini membuktikan betapa proses pemahaman terhadap nilai Pancasila belum dipahami dengan baik. Jangan berharap banyak masyarakat mau memahami dan menjalankan Pancasila kalau elite bangsa dan pemimpin republik ini tidak mampu memberikan contoh yang baik.

Reaktualisasi nilai Pancasila bisa dilakukan dengan menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang terbuka yang membuka ruang dialog dan interpretasi sesuai dengan kondisi zaman. Menghidupkan Pancasila tidak bisa dilakukan dengan cara mistifikasi terhadap Pancasila itu sendiri. Sehingga, Pancasila akan terwujud menjadi ideologi yang membumi (down to earth).

Langkah yang sangat strategis dalam melakukan proses internalisasi atau pembumian Pancasila adalah melalui proses pendidikan. Sudah selayaknya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan melakukan reformasi kurikulum pendidikan, terutama tang terkait dengan ajaran Pancasilal. Kurikulum yang di seyogyanya tidak menitikberatkan pada dimensi kognitif, tetapi juga harus menyentuh aspek afeksi dan psikomotorik.

Kita tidak ingin seperti Orde Baru yang melakukan penanaman nilai Pancasila melalui cara-cara indoktrinasi dan menitikberatkan pada aspek kognitif melalui hafalan. Melalui institusi pendidikan, proses pembangunan karakter mentalitas anak bangsa akan berjalan karena pendidikan adalah wahana yang paling strategis untuk melakukan penanaman nilai  dan kaderisasi warga negara yang Pancasilais.

Pemerhati Sosial, Minat Kajian Politik Sastra dan Filsafat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like