Monolog di Tengah Senja Demokrasi3 min read

Langit-langit senja telah menampakkan kehadirannya dan lalu lintas angkasa raya terus dibayang-bayangi oleh rombongan burung yang kembali ke sarangnya menyebabkan cahaya mentari senja dibuat samar-samar. Suasana yang hampir serupa juga terjadi di lalu lintas senja demokrasi menjelang perhelatan pilkada serentak. Para elit politik mencari sarang-sarang politik demi menjaga asa dan harapan.

Suasana senja demokrasi menjelang pilkada menjadi sangat ramai dalam lalu lintas politik. Ada yang tiba-tiba berganti sarang, ada pula yang masih sementara mencari sarang dan ada pula yang mungkin kehilangan sarang. Semua masih terus bergulir bahkan pertunjukan kejutan demi kejutan masih akan sangat memungkinkan untuk hadir.

Lalu, senja demokrasi ini akan berpihak kepada siapa? Ungkapan politik yang teramat mahsyur dan mungkin favorit menjadi kicauan para elit dimomen ini adalah “politik masih sangat cair ataupun dinamis”. Tetapi, apakah memang demikian adanya? Sekali lagi kebenaran politik terkadang memilih jalan yang samar tuk terbaca lewat kicauan elit politik. Yang terucap kadang menjadi bertolak belakang dengan kenyataan yang ada ataupun sebaliknya.

Bahasa-bahasa politik memiliki selubung-selubung misteri dan menakar kicauan para elit politik di tengah balutan senja demokrasi, mungkin akan memberikan kerumitan sebagaimana rumitnya memahami pemikiran Martin Heidegger yang menyediakan cahaya penerang dalam menafsirkan bahasa-bahasa yang terucap dan tertulis. Namun, bila ada jalan tuk memahami kicauan para elit politik maka jalan itu ada pada bahasa.

Walau bahasa para elit politik memiliki tingkatan-tingkatan tersendiri dalam memecahkan kode-kode bahasa yang diungkapkan perlu cara-cara yang juga tidak biasa sebagaimana elit politik yang bergerak dan beranjak meninggalkan status sebagai warga biasa. Suasana senja demokrasi di tengah perhelatan pilkada yang sarat akan produksi dan surplus bahasa dari elit politik segaligus mengingatkan slogan “life speech”.

Manusia berada di dunia akan menunjukkan kehadirannya dengan cara berbahasa. Namun, apakah kicauan para elit politik memiliki nada yang sama dengan kicauan warga? Mengingat kicauan para elit politik yang terbiasa menuturkan “ini harapan warga”, “ini keinginan warga” dan “ini kebutuhan warga”. Tetapi, yang menjadi persoalan kicauan-kicauan elit politik biasanya hanya diproduksi lewat monolog dengan warga, itupun mungkin hanya lewat interaksi baliho yang memasang wajah dan kicauannya.

Masalah senja demokrasi yang paling serius itu hilangnya dialog antara warga dan elit politik. Kicauan elit politik tak memiliki nada yang sama dengan warga, membuat lalu lintas politik di tengah senja demokrasi yang menyibukkan para elit politik mencari sarang politik. Namun, warga di tengah senja yang sama kadang tak memiliki alasan yang cukup kuat tuk kembali sebab roda ekonomi yang sulit seakan menjadi rintangan dan menyebabkan langkah-langkah itu teramat berat diayungkan.

Senja demokrasi hanya menyuguhkan monolog para elit politik segaligus mewakili bahasa-bahasa kode yang bertebaran di sepanjang jalan. Monolog itu menyuguhkan jumpa pers dan deklarasi. Oleh karena itu, sebagaimana monolog yang monoton segaligus hanya memperdengarkan satu arah. Kecanggihan monolog di senja demokrasi itu hanya membutuhkan teriakan “yes” dan “yel-yel” belaka.

Dialog hanyalah dongeng yang dituturkan dari perhelatan demokrasi ke perhelatan demokrasi berikutnya. Untuk tetap menyakinkan bahwa demokrasi itu masih ada dan kalaupun sudah tidak ada minimal dongeng-dongengnya tetap dihidupkan. Sehingga suasana senja demokrasi yang hadir dalam rupa  monolog, tetapi minimal antar poster-poster yang berjejeran itu saling berdialog satu sama lain. Supaya mereka paham bahwa berdialog dengan diri sendiri kadang mereka telah lupa, lebih-lebih berdialog dengan warga.

One thought on “Monolog di Tengah Senja Demokrasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like