Pejabat Publik Harus Belajar Keteladanan3 min read

Sederet kasus yang terjadi dengan melibatkan pejabat publik mulai dari Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar yang melanggar kode etik dan pedoman perilaku hingga pasangan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya yang juga anggota DPR RI Hasan Aminuddin.

Kasus yang melibatkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menyangkut peran aktif yang dilakukan dengan memberikan kontak seorang pengacara kepada Syahrial. Tindakan yang dilakukan Lili Pintauli Siregar dengan memberikan kontak kepada seseorang yang berstatus saksi (Syahrial) pada perkara jual beli jabatan. Seorang Wakil Ketua KPK yang diharapkan menjadi pelopor pencegahan tindakan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), namun nyatanya telah menjadi pagar makan tanaman terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Pemberian sanksi terhadap Lili Pintauli Siregar oleh Dewan Pengawas KPK terhadap pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku semestinya menjadi jalan bagi institusi KPK guna membenahi diri. Persepsi publik terhadap tindakan Lili Pintauli Siregar yang memiliki posisi strategis sebagai Wakil Ketua KPK menjadi gambaran betapa mudahnya para pejabat melibatkan diri dan mengatur penanganan perkara yang tengah didalami kasusnya.

Beranjak dari persoalan etik dan pedoman perilaku yang melibatkan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Kasus yang melibatkan pasangan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin yang juga anggota DPR RI menjadi kasus yang menambah daftar keterlibatan pasangan suami istri dalam kasus korupsi. Kasus yang menjerat Bupati Probolinggo bersama suaminya terkait suap jabatan kepala desa dengan tarif 20 juta dan setoran tanah kas desa dengan tarif 5 juta/hektar.

Kasus yang melibatkan pejabat publik dalam tindakan korupsi memberikan gambaran betapa mudahnya memasukkan kepentingan pribadi dalam urusan publik. Pejabat publik yang terlibat dalam kasus-kasus KKN terkesan telah kehilangan pegangan etika dan lebih jauh lagi mereka elah kehilangan pengkhidmatan kepada para pendiri negara yang meletakkan nilai-nilai yang terjabarkan dalam Pembukaan, UUD 1945 dan Pancasila.

Indonesia yang merdeka yang dicita-citakan oleh para pendiri negara meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi. Para pejabat publik mesti diajak kembali membuka catatan-catatan sejarah dalam ruang persidangan BPUPKI tempat para pendiri negara merumuskan dasar dan arah Indonesia merdeka. Belajar dari ruang persidangan BPUPKI menunjukkan keteladanan dari para pendiri negara mereka berebut menyampaikan gagasan bukan berebut kepentingan pribadi.

Pelajaran terpenting yang dapat dipelajari oleh para pejabat publik dari ruang persidangan BPUPKI yaitu para pendiri negara menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Wongsonegoro salah satu anggota BPUPKI menyampaikan dalam persidangan bahwa tidak bisa mendahului votum rakyat (pendapat rakyat). Kondisi di ruang persidangan menunjukkan bahwa para pendiri negara lebih memikirkan dan mementingkan rakyat, mereka tidak sedang dibuai keinginan memperkaya diri atau sibuk membagi-bagi keuntungan.

Para pejabat publik mesti diingatkan bahwa pendiri negara sekelas Soekarno menyampaikan bahwa “akan tetapi berilah aku seribu juta dollar dan di saat itu pula engkau tampar mukaku dihadapan umum”. Kondisi yang sangat jauh dari perilaku pejabat publik hari ini, yang telah banyak terbukti secara nyata meminta uang baik dalam lelang jabatan maupun dalam penentuan pemenang tender dalam suatu proyek.

Bangsa Indonesia masih memerluka pembentukan karakter yang dapat menjiwai nilai-nilai yang terdapat dalam Pembukaan, UUD 1945 dan Pancasila. Bagaimana mungkin bangsa yang memiliki sumber nilai yang kaya ? Tetapi, para pejabat publik telah mengalami kemiskinan karakter. Logo Pancasila terpampang di ruang kerja, namun nilai-nilai Pancasila luntur dalam tindakan.

Apakah pejabat publik tidak malu dengan keteladanan seorang Moh. Hatta? Kekuasaan sebagai Wakil Presiden dan Perdana Menteri pernah dijabat oleh Moh. Hatta, namun sepatu yang diidam-idamkannya tak urung diraihnya. Bukankah dengan jabatan sekelas Wakil Presiden dan Perdana Menteri akan dengan mudah mendapatkan sesuatu. Tetapi, Moh. Hatta sang pendiri negara memilih menyimpan keinginan pribadi dan lebih mengurus kepentingan publik.

Publik telah terbiasa menyaksikan para pejabat publik dan mantan pejabat publik memiliki kekayaan yang demikian fantastis. Kondisi ini, begitu jauh dari keteladanan yang ditunjukkan oleh Soekarno dan Moh. Hatta. Mereka berdua di masa tidak lagi menjabat sebagai presiden dan wakil presiden, malah hidup sederhana dan teramat jauh dari kesan kemewahan. Bukankah ini sebuah anomali bila dibandingkan dengan kehidupan pejabat dan mantan pejabat.

Keteladanan para pendiri negara tak akan ternilai dan sebaliknya para pejabat publik hari ini telah kehilangan nilai. Untuk itu, para pejabat publik harus senantiasa diingatkan guna belajar keteladanan dari para pendiri negara. Mengurus negara bukan berarti jalan menuju kekayaan, sebab Indonesia merdeka yang dicita-citakan para pendiri negara adalah negara yang mensejahtrakan rakyatnya bukan memperkaya pejabatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like