Perjuangan Maraton Menghadapi Covid-194 min read

Sejarah tak pernah berulang begitu saja, namun tak jarang membentuk pola. Begitu Mark Twain penulis Amerika yang hidup antara 1835-1910 mengingatkan kita semua. Pandemi Covid-19 tak seutuhnya baru. Sekitar seratus tahun lalu, pada 1918, dunia didera wabah hebat Spanish Flu yang menewaskan lebih dari 50 juta penduduk dunia.

Kala itu, pendekatan kedokteran belum secanggih sekarang. Justru, wabah telah mempercepat perkembangan kedokteran modern seperti yang kita kenal sekarang. Meski prinsip kedokteran bahwa penyakit adalah fenomena alamiah telah dikemukakan oleh Hippocrates yang lahir 460 Sebelum Masehi (SM), namun pendekatan kedokteran berkembang lambat, hingga hadirnya wabah Flu Spanyol.

Wabah Flu Spanyol terjadi dalam satu era berdirinya Universitas Johns Hopkins di Amerika Serikat, yang sejak awal fokus pada masalah kesehatan. Dalam inaguarasi pendiriannya pada 12 September 1876, ilmuwan Inggris, Thomas H. Huxley, yang diundang sebagai pembicara menyatakan, “The great end of life is not knowledge but action“. Pernyataan ini seakan menjadi fondasi berdirinya Johns Hopkins University sebagai sebuah universitas yang ketika terjadi wabah Flu Spanyol terlibat sangat aktif dan nyata dalam upaya menyelamatkan para jiwa yang terancam akibat pandemi di akhir Perang Dunia I ini.

Black Death

Dunia kedokteran dan perguruan tinggi belajar secara nyata dari perietiwa peristiwa besar yang mengancam manusia dalam perjalanan peradabannya. Krisis kesehatan sangat hebat juga pernah menimpa peradaban manusia pada 1347-1351 atau dikenal sebagai Black Death, yang menewaskan tak kurang dari 200 juta penduduk dunia, hampir sepertiga penduduk dunia kala itu.

Sungguh tragedi kemanusiaan yang sangat besar. Pada waktu Itu, peradaban Eropa masih berada pada Abad Pertengahan, sehingga sebagian besar penduduk tak mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi. Tentu berbeda sekali dengan situasi sekarang ketika ilmu pengetahuan sudah sangat maju. Sejarah tak pernah menyerah pada krisis seganas apa pun. Justru, ia beradaptasi dan belajar dari pengalaman buruk tersebut.

Peradaban terus memperbaiki diri. Black Death telah melecut peradaban Eropa segera memasuki fase “Renaissance, masa ketika nalar (logika) dianggap penting, termasuk untuk memahami dan memecahkan pandemi. Pemahaman tentang penyakit, tatanan masyarakat, agama, dan seni berubah drastis setelah peradaban bergulat dengan wabah yang begitu ganas. Tampak sekali bahwa peradaban terus-menerus mencari Inovasi guna memecahkan masalah yang tengah dihadapinya, serta belajar dari pengalaman tersebut. Lalu, apa yang kita bisa pelajari dari pandemi Covid-19 ini?

Dilema Lebih Baik Atau Buruk Setelah Wabah?

Pemenang Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, dalam sebuah kolom di Financial Times (15/4/2020) mengungkapkan bahwa sebuah masyarakat yang lebih baik akan muncul pasca pandemi Covid-19. Optimisme itu lahir dari pelajaran sejarah selama ini; krisis selalu menghadirkan disrupsi pada kebidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Banyak di antara perubahan itu terjadi ke arah yang lebih baik dengan munculnya perhatian pada kebutuhan-kebutuhan mendasar manusia, seperti jaminan kesehatan maupun perbaikan gizi.

Namun, tak jarang juga sejarah mencatat bahwa krisis bisa membawa situasi yang justru semakin buruk dari sebelumnya dengan dibarengi oleh konflik sosial dan politik. Thomas Piketty, ekonom terkemuka Prancis, dalam wawancara dengan The Guardian (12/5/2020) menyakini bahwa pandemi Covid-19 ini akan membuka peluang munculnya masyarakat yang lebih setara. Meskipun, pada fase awalnya, pandemi ini akan membuka luka akibat ketimpangan. Ini bisa jadi benar.

Menurut pendapat novelis India, Arundhati Roy, dalam kolom di Financial Times (3/4/2020), Covid-19 merupakan “portal” untuk memasuki peradaban baru. Pandemi yang menimpa peradaban modern ini sungguh akan sia-sia jika tak ada perubahan nyata dalam peradaban dunia. Pandemi Covid-19 datang tiba-tiba dan mengakselerasi beberapa kemungkinan yang sebelumnya tampak ragu dan bahkan tak mungkin.

Perubahan mendasar pada pola tingkah laku manusia dengan seketika diubah. Luar biasanya, hal ini terjadi tidak hanya di satu negara, tetapi di lebih dari 200 negara terinfeksi. Tidak berhenti di situ, negara-negara dengan dampak ringan atau tanpa kasus sekalipun pasti terkena dampak secara ekonomi karena keterikatan pada globalisasi.

Tiba-tiba saja, ada praktik baru dalam peradaban yang menjadi normal, seperti bekerja di rumah, belajar selama berbulan-bulan secara daring dan penuh, kebiasaan cuci tangan, dan menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Pandemi Covid-19 telah memberi pelajaran pada manusia di seluruh dunia hanya dalam beberapa minggu saja, untuk rajin mencuci tangan.

Begitu pula perusahaan yang bertahun-tahun mempertimbangkan mengadopsi teknologi, hanya dalam beberapa hari saja sudah menjalankan kegiatan secara online total. Pemerintah, dunia usaha, masyarakat di seluruh dunia dipaksa menjalankan kenormalan baru. Dalam kegamangan menghadapi situasi yang luar biasa, pemerintah diuji dalam tataran yang fundamental. Dengan musuh yang sama, kualitas tata kelola pemerintahan di tiap negara akan menentukan hasil yang bervariasi.

Bagaimana Negara Seharusnya Hadir?

Kemampuan negara untuk menghasilkan kebijakan yang tepat waktu, tepat sasaran, serta efektif di lapangan tentu tantangan yang tidak mudah saat pandemi datang secara tiba-tiba. Akan tetapi, karena banyak negara yang sedang tertimpa hal yang sama, banyak sesungguhnya pelajaran yang bisa diambil pada saat bersamaan. Dengan demikian, evaluasi terhadap setiap langkah yang diambil oleh negara perlu dilakukan secara terus-menerus mengikuti perkembangan harian.

Terlebih karena perjuangan menghadapi Covid-19 adalah sebuah lari maraton yang membutuhkan stamina besar. Karena pandemi berdampak pada segala macam sendi kehidupan, solusi maupun kebijakan yang diambil harus pula mempertimbangkan berbagai macam komponen, mulai dari elemen kesehatan publik, ekonomi, teknologi, politik, sosial budaya, dan berbagai aspek lainnya.

Masing-masing saling terkait satu dengan yang lain untuk menekan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial sekecil mungkin, tanpa saling meniadakan. Hanya dengan kolaborasi lintas-lini dan interdisiplin maka optimisme Amartya Sen dapat terwujud.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like