Humor Politik dalam Kreasi Visual5 min read

Sekitar pertengahan bulan Agustus lalu jagat virtual sempat dihebohkan dengan aksi represif negara melalui aparatnya yang melakukan penghapusan kreasi-kreasi mural di beberapa daerah dan ramai isu menangkap pembuatnya. Dari itu kita mafhum bahwa kreasi visual ternyata ditakuti oleh negara. Namun terlepas dari itu, sebagaimana kutipan di atas, hal tersebut menegaskan bahwa kita sekarang ini semakin tervisualisasi dan cenderung untuk lebih visual daripada sebelumnya.

Kreasi visual yang memicu polemik di atas bagian dari, apa yang disebut oleh Nicholas Mirzoeff, sebagai budaya visual (visual culture). Nicholas Mirzoeff (2016) berpendapat bahwa budaya visual merupakan sebuah budaya mengenai visual. Sebuah budaya visual menurutnya tidak sekedar jumlah total dari apa yang telah dikreasikan untuk dilihat, semisal film dan lukisan, mural, dan lain sebagainya. Namun lebih dari itu budaya visual adalah relasi antara apa yang terlihat (visible) dan istilah-istilah yang kita sematkan pada apa yang terlihat tersebut. Ia juga terkait dengan apa yang tidak tampak atau yang terhalang dari pandangan.

Di era digital sekarang ini budaya visual merupakan pengejawantahan kehidupan sehari-hari, sebuah cara kehidupan sosial yang disebut oleh Manuel Castells (1996) sebagai network society (masyarakat berjejaring), yang bentuknya bersumber dari jejaring-jejaring informasi elektronik (electronic information networks). Jejaring informasi elektronik tersebut tidak hanya memberi kita akses pada visual mural yang dibuat, pun mampu merelasikan visualisasi mural tersebut dengan kehidupan sehari-hari kita dan bagaimana kita berpikir sekaligus mengalami relasi-relasi tersebut.

Era Digital: Kegandrungan pada Visual

Bermula dari mural yang menggambarkan wajah seseorang – yang diyakini mirip Presiden Joko Widodo – dengan tulisan pendek “404 not found” viral di medsos. Lantas mural-mural lain dari berbagai daerah pun turut muncul dan mengekor viral. Tampaknya mural-mural tersebut adalah kritik visual yang ditujukan kepada pemerintah. Dan seharusnya pemerintah menyikapi berbagai kritik tersebut secara elegan bukan lantas membungkam kritik visual tersebut dengan tindakan represif.

Pertanyaannya sekarang adalah, di era digital sekarang ini siapa yang tidak visual? Sejatinya kita tergantung pada visual karena informasi dan pesan semuanya tervisualisasi begitu canggih dan menarik melalui gawai dan medsos yang kita miliki. Realitas keseharian kita pun sekarang tervisualisasi melalui status medsos yang kita share atau dari interaksi antar sesama dalam ruang publik digital. Internet melalui berbagai platform medsos harus diakui menjadi medium yang menyebabkan kreasi visual seperti mural tersebut menjadi viral.

Visual dengan demikian sangat penting dan menjadi keniscayaan di era digital sekarang. Hal tersebut juga ditegaskan oleh Martinez-Rolan & Pineiro-Otero (2016) yang menyebut bahwa transisi antara politik tradisional dengan medsos mengakibatkan tumbuhnya ruang-ruang baru, bentuk, dan bahasa-bahasa untuk komunikasi politik. Aspek visual menjadi sangat krusial dalam proses transisi tersebut. Sekarang ini kita mengetahui bahwa dominasi visual mengisi ruang-ruang baru tersebut bahkan bertransformasi menjadi bahasa politik yang sudah lumrah dimanfaatkan warga untuk menyuarakan aspirasinya. Jadi jangan heran jika inkompetensi dan ketidakbecusan kinerja pemerintah dalam menangani pandemi covid-19 dan imbas turunannya niscaya sangat mudah tervisualisasikan melalui ragam kreasi visual yang tentu saja menjadi viral di ranah virtual.

Data dari We are social dan Hootsuite yang bertajuk Digital 2021 Global Overview Report juga menegaskan pentingnya aspek visual yang melaporkan sebanyak 98,5% pengguna internet di Indonesia menonton video daring setiap bulan. Selain itu dilaporkan juga sebanyak 74,3% pengguna internet di Indonesia menonton video blog (vlog) setiap bulan. Dan kita bisa membayangkan bahwa data dari hasi survei tersebut mengungkap masyarakat Indonesia dilaporkan menghabiskan waktu sekitar 3 jam 14 menit mengakses medsos (wearesocial.com, 2021; kompas.com, 2021). Sebagian besar netizen di Indonesia memaksimalkan aspek visualnya dengan menonton video blog (vlog).

Ruang-ruang publik baru yang lahir dari adanya internet tersebut mengalami kontestasi, yang dalam kasus di atas, diperebutkan oleh warga versus pemerintah. Dan pemerintah sukses menunjukkan kuasanya atas ruang publik baru tersebut. Jati (2016) menyebut bahwa ruang publik digital ini memiliki daya pikat yang luar biasa untuk aktivitas komunikasi dan interaksi yang tidak terbatas waktu dan tempat. Komunikasi yang bisa dilakukan tanpa batasan ruang dan waktu (spaceless and timeless) ini melahirkan benih-benih kesadaran politik kelas menengah di ranah virtual. Cemoohan dan protes yang diutarakan oleh netizen melalui medsos, termasuk dengan kreativitas visual, adalah bukti nyata bagaimana kesadaran politik di kalangan internet users di Indonesia menguat dalam melawan otoritarianisme negara.

Visualisasi Humor: Pemerintah JANGAN Baperan!

Kreasi meme (internet) menjadi satu dari sekian ekspresi visual warga negara di ranah virtual. Kreasi meme tersebut tidak sedikit berisi kritik kepada otoritas berwenang. Meme menjadi preferensi logis bagi netizen dalam menyampaikan pesan dan informasi di medsos. Meme yang berupa visual gambar atau video pendek dengan diberi tulisan singkat (caption) tentu jauh lebih menarik dan efektif dalam mentransmisikan pesan dibandingkan tulisan pesan (tekstual).

Sebagian kreasi meme dikemas dalam bentuk humor visual yang satiristik ataupun sarkastik. Kita semua bisa mendapatkan dengan mudah beragam kreasi meme humor buatan netizen dalam menyikapi kebijakan-kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi covid-19. Tidak terkecuali kreasi mural yang viral tersebut karena sudah diduplikasi menjadi meme humor.

Humor bukan semata-mata terkait dengan tertawa dan guyon. Humor juga tidak bisa dilepaskan dari politik. Ia menjadi kanal aspirasi politik warga. Tidak sedikit humor juga dikemas oleh para politisi dalam komunikasi politiknya. Dalam kolomnya di detik.com (2019) Rahmat Petuguran berpendapat bahwa humor adalah bagian penting dari keterampilan berkomunikasi dalam dunia politik. Alasannya humor merupakan bahasa universal yang niscaya disukai oleh semua orang. Mantan Presiden kita, yang karib dipanggil Gus Dur, adalah figur yang sangat terkenal dengan guyonan politiknya.

Senada dengan itu Davies (1998) menyebut bahwa humor merupakan upaya untuk melakukan kontrol sosial dan bisa dimanfaatkan untuk melawan suatu otoritas politik. Humor yang dikreasikan adalah bentuk ekspresi kegelisahan dan keputusasaan warga negara. Jika mengacu pada pendapat Knobel dan Lankshear (2007), visualisasi humor seperti dalam wujud mural tersebut merupakan humor sosial kontemporer yang menyengat (biting social contemporary humor), yang memang sengaja diciptakan dan sangat relevan dengan isu-isu sosial politik di kalangan masyarakat. Meskipun leluconnya berupa cemooh terhadap suatu otoritas namun humor tersebut sarat dengan kritik-kritik sosial. Dan sebagaimana kita ketahui juga kreasi humor dalam format standup comedy sedang digandrungi oleh kalangan milenial. Dari aspek visual, kreativitas para komika dalam menyampaikan guyonannya, yang tidak sedikit menyinggung pemerintah, bahkan jauh lebih vulgar dibandingkan dengan visual gambar seperti mural ataupun meme.

Kreasi visual dalam kemasan apapun merupakan refleksi dari kenyataan sosial masyarakat. Meskipun ia juga sarat dengan nilai-nilai dan kepentingan kelompok. Realitas sosial yang divisualisasikan dengan kreasi humor begitu rupa seyogyanya mendapat perhatian serius dari pemerintah. Masyarakat sekarang ini masih sedang mengalami kondisi frustrasi sosial akibat pandemi covid-19 yang tak kunjung menunjukkan kapan akan berakhir. Kanal untuk mengungkapkan rasa frustrasi warga salah satunya adalah dengan memvisualkan kondisinya agar pemerintah menunjukkan kepeduliannya. Pemerintah harus menumbuhkan optimisme pada warga dengan kinerja yang baik, bukan sebaliknya menunjukkan arogansi dengan perilaku despotik para aparatnya.

Pengajar dan penyuka onde-onde

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like