Wajah Human Security di Zona (Demo)crazy Covid-194 min read

Pandemi Covid-19 yang telah menyebar di 213 negara di dunia telah memberikan pemahaman penting bagi kita semua, betapa rapuhnya sistem demokrasi yang kita jalankan saat ini. Sebagai bagian dari ancaman akan keamanan di bidang kesehatan, Covid-19 juga menunjukkan kepada kita semua bahwa Covid-19 telah melumpuhkan seluruh aspek di semua lini kehidupan dan memaksa untuk bisa beradaptasi dengan situasi tersebut.

Namun, tidak semua negara bisa beradaptasi dengan Covid-19, sehingga angka mortalitas dan kasus penularannya pun semakin luas. Tidak terkecuali dengan Indonesia, di mana negara berkembang ini justru dianggap belum berhasil dalam menangani Covid-19 di negaranya. Banyak pihak yang menilai jika hadirnya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia dengan diikuti oleh ragam kebijakannya justru semakin memperburuk kesehatan demokrasi di Indonesia.

Dalam konteks ini menjadi menarik bagi kita semua untuk melihat bagaimana pandemi Covid-19 sebagai bagian penting dari human security berkaitan erat dengan demokrasi setiap negara, termasuk Indonesia.  Melihat Covid-19 sebagai bagian dari isu kemanan adalah penting untuk digali, mengingat isu keamanan saat ini telah berkembang dengan sangat pesat. Dulu isu keamanan hanya dilihat sebagai ancaman militeristik atau tradisional, seperti terorisme, perang, agresi, dan sebagainya. Namun saat ini isu tersebut telah meluas cakupan spektrumnya, termasuk ancaman Covid-19.

Harus diakui jika Covid-19 secara dominan menjadi isu ancaman akan kesehatan manusia, namun yang tidak kalah penting dampaknya juga dirasakan di sektor dan isu keamanan politik, sosial, budaya, hukum, ekonomi, pendidikan, dan lainnya. Lantas bagaimana ancaman-ancaman human security tersebut mempengaruhi demokrasi? Bagaimana isu-isu akan human security itu bekerja dalam mengintervensi sistem demokrasi sebuah negara? mengapa banyak negara yang gagal melaksanakan sistem demokrasinya yang telah bertahun tahun dijalankan, hanya gara-gara Covid-19?

Jujur, harus diakui bila demokrasi kita saat ini yang tengah dirundung Covid-29 membuat mental demokrasi kita tidak sedang baik-baik saja. Laporan terbaru tahun 2020 oleh The Economist Inttellegence Unit (EIU) menempatkan Indonesia ke peringkat 64 dunia dengan skor 6.3. walaupun dari segi peringkat Indonesia masih konstan, namun dari skor yang didapatkan justru mengalami penurunan. Bahkan lebih jauh EIU menempatkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi cacat. Di kawasan Asia Tenggara capaian ini tentu kita masih di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.

Menurunnya skor yang diperoleh Indonesia tidak lepas dari berbagai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Indonesia sendiri dalam memerangi Covid-19. Sedikit banyak regulasi yang dibuat justru mengancam dan melemahkan nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Tidak sedikit kasus penanganan Covid-19 yang justru menjauhkan warganya dari nilai-nilai kesejahteraan, bahkan menjadikan mereka semakin termarginalkan. Alih-alih berbagai kebijakan justru membungkam kebebasan sipil, kesejahteraan warga, dan lebih jauh lagi tidak mengedepankan penanganan yang sejalan dengan nilai hak asasi manusia.

Sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Betham jika esensi demokrasi adalah menjamin dan menjaga pertumbuhan bagi iklim nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam kondisi yang tidak pasti seperti saat ini, justru menjadi tantangan tersendiri bagaimana nilai-nilai hak asasi manusia itu tetap dijunjung tinggi. Namun, faktanya demokrasi kita saat ini masih dalam tataran pada demokrasi prodedural semata. Selaras dengan apa yang disampaikan oleh Schumpeter di mana dalam demokrasi prosedural hanya berhenti jika telah dilakukan pemilihan dengan organisasi pemilu yang menaunginya.

Inilah yang mengakibatkan praktik-praktik demokrasi kita masih jauh dari praktik demokrasi subtansial. Hal ini tercermin dari bagaimana demokrasi kita masih jauh dari nilai-nilai subtansial yang sesungguhnya. Jika demokrasi kita bermain dalam tataran subtansial, maka persoalan Covid-19 harus diselesaikan tanpa melewati batas-batas yang justru membuat masyarakat semakin merasa dijamin hak-haknya. Bukan secara perlahan justru menciptakan ketakutan, seolah-olah negara akan membangun legitimasi kepada wargannya. Ini sangat berbahaya sekali bagi kesehatan demokrasi yang telah dan sedang kita bangun.

Sadar atau tidak demokrasi kita semakin jauh semakin kabur. Jika demokrasi itu menjamin terimplementasinya akan human security, maka sejauh mana dalam kondisi tersebut negara tetap menjamin dan melindungi human security kita sebagai warga negara? Tidak ada satupun bukti yang menunjukkan rekontruksi demokrasi kita menjadi lebih manusiawi. Justru yang semakin nampak adalah bagaimana negara dalam situasi ini selalu tanpa absen menggerakkan aparat militernya untuk menertibkan apa yang dianggap benar dan salah oleh negara itu sendiri.

Kalau banyak diantara kita menanyakan seberapa dalam spectrum demokrasi yang kita anut saat ini, coba lihat bagaimana negara melalui aparatnya menertibkan demokrasi-demokrasi jalanan di negeri ini. Berbagai mural diciptakan oleh sebagian dari kita, sebagai alarm bagi negara agar jangan ingkar terhadap eksistensinya. Bukankah mural itu juga menjadi bentuk dari kebebasan berpendapat? Mengapa negara seolah-olah paranoid terhadap kritik yang sedang dirasakan oleh publik? Negara harus menyadari jika dengan demokrasi dinding jalanlah mungkin negara merespon apa yang dibutuhkan oleh masyarakat kita. Ini penting untuk menjamin agar demokrasi kita tetap sehat. Namun lagi-lagi dan kadang negara juga menafsirkan dengan cara yang lain. Bisa juga negara menciptakan demokrasi yang sehat bagi negara itu sendiri, namun tidak untuk rakyat. Demokrasi yang seperti apa yang akan kita bangun?

Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like