Perubahan Iklim Menjadi Ancaman Nyata untuk Manusia5 min read

Beberapa minggu belakangan ini sangat santer sekali pemberitaan tentang Climate Change atau perubahan iklim. Dalam rilisnya IPCC mengatakan bahwa temperatur permukaan global adalah 1.09C tertinggi dalam dekade terakhir dari 2011 sampai 2020 jika dibandingkan dengan sejak 1850-1900. Tidak hanya itu saja, mereka juga mengungkapkan dalam lima tahun terakhir ini suhu lebih panas dari tahun 1850. Lalu, rata-rata permukaan air laut meningkat lebih tajam dari 1901-1971. Konkritnya, kenaikan permukaan laut global sebenarnya telah dimulai pada awal abad ke-20. Antara tahun 1900 dan 2017, permukaan laut rata-rata global naik 16–21 cm (6,3–8,3 in). Artinya kita sedang dalam keterancaman, perubahan iklim mendorong peningkatan suhu, cuaca ekstrem, peningkatan level permukaan air laut dan mungkin mestimulus aneka penyakit yang lebih ganas. Keberadaan perubahan iklim telah mendorong semacam kekhawatiran global. Sebab salah satu catatan saja, dampak perubahan iklim begitu masif dan destruktif.

Begini, merujuk pada laporan berjudul “New report shows impacts of climate change and extreme weather in Latin America and Caribbean” mengungkapkan antara tahun 1998 dan 2020, peristiwa terkait iklim dan geofisika mengakibatkan hilangnya 312.000 jiwa dan secara langsung mempengaruhi lebih dari 277 juta orang. Pada tahun tersebut di wilayah Latin dan Karibia, kematian dan kehancuran di dorong oleh bencana iklim seperti Badai Eta dan Iota di Guatemala, Honduras, Nikaragua dan Kosta Rika. Lalu ada kekeringan dahsyat dan kebakaran yang eksplosif dan masif di wilayah Pantanal di Brasil, Bolivia, Paraguay, dan Argentina. Dampak dari bencana iklim ini termasuk kekurangan air dan energi, hancurnya pertanian, adanya pengungsian serta terganggunya kesehatan dan keselamatan, semua persoalan ini berkelindan dengan keberadaan pandemi COVID-19.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Tentu perubahan iklim juga mengancam. Oke, biar lebih terlihat dampaknya, kita memakai catatan dari BNPB. Menurut mereka, Indonesia telah mengalami sekitar 1.441 bencana sejak 1 Januari hingga 18 Juni 2021. Bencana itu didominasi oleh banjir dengan 599 kejadian. Lalu disusul oleh puting beliung sebanyak 398 kejadian. Secara berurutan ada tanah longsor sebanyak 293 kejadian, lalu kebakaran hutan109 kejadian dan gempa bumi sebanyak 20 kali. Dari total kejadian ini telah menyebabkan 5.3 juta orang mengungsi dan 493 orang meninggal dunia.

Dari keseluruhan bencana tersebut mayoritas didominasi oleh bencana perubahan iklim. Sepintas saja, seperti apa hubungan antara perubahan iklim dengan bencana? Catatan dari Marten yang berjudul “The impacts of climate change on the risk of natural disasters,” merujuk pada pengamatan terkait perubahan iklim, bahwa telah ada fenomena umum kenaikan suhu yang mengakibatkan peningkatan jumlah hari panas, dan penurunan jumlah hari dingin/beku, untuk hampir semua wilayah daratan. Di lintang utara menengah dan tinggi, pengamatan juga menunjukkan peningkatan kejadian hujan lebat. Pada beberapa wilayah, seperti sebagian Afrika dan Asia, frekuensi dan intensitas kekeringan meningkat selama beberapa dekade terakhir.

Perubahan ini konsisten dengan intensifikasi umum dari siklus hidrologi. Proyeksi untuk masa mendatang menunjukkan bahwa jumlah hari yang panas dan sangat panas akan terus meningkat, dan jumlah hari yang dingin dan sangat dingin akan menurun terus berlanjut di hampir semua wilayah daratan. Selain itu, intensitas dan frekuensi kejadian curah hujan ekstrim sangat mungkin meningkat di banyak daerah, dan kembalinya periode kejadian curah hujan ekstrim diproyeksikan mengecil (tidak dapat diprediksi), sehingga lebih banyak lagi banjir dan tanah longsor. Daerah tengah benua umumnya akan menjadi pengering yang kemungkinan besar meningkatkan risiko kekeringan pada musim panas dan mendoronng kebakaran hutan.

Perubahan Iklim dan Pandemi

Tidak hanya bencana alam, dampak perubahan iklim juga memiliki hubungan erat dengan adanya suatu pandemi. Merujuk pada artikel yang berjudul “Changing climate and the COVID-19 pandemic: more than just heads or tails,” menyebutkan bahwa iklim merupakan faktor yang mempengaruh kelangsungan hidup patogen, baik perkembangan dan penyebaran, dengan demikian faktor iklim dapat memudahkan limpahan patogen. Iklim juga memiliki peran penting dalam mempromosikan kemunculan peristiwa limpahan baru secara besar-besaran, melalui sebuah transmisi melalui peristiwa alam seperti kelembapan dan suhu.

Pada dasarnya perubahan iklim juga mendorong perubahan ekosistem yang mengarah pada substitusi spesies secara bertahap, seperti menyusutnya ekosistem dan penurunan keanekaragaman spesies. Kondisi tersebut mendorong hilangnya siklus alami sampai rusaknya habitat asli sehingga beberapa spesies melakukan migrasi ke tempat lain untuk bertahan hidup, dari non-manusia ke manusia (zoonosis). Peristiwa tersebut juga turut didorong oleh cuaca dan suhu, dengan adanya anomali cuaca akibat perubahan iklim maka limpahan pandemi tidak dapat diprediksi dengan pasti.

Meski pola pastiya masih belum dibuktikan secara pasti. Tetapi perubahan iklim menyebabkan peningkatan suhu, kala planet memanas, hewan besar ataupun kecil baik di darat dan di laut, secara alamiah akan menuju ke kutub untuk keluar dari panas atau mereka akan mencari tempat yang teduh seperti kawasan yang masih bagus ekosistemnya. Berarti hewan melakukan kontak dengan hewan lain yang biasanya tidak mereka lakukan, dan itu menciptakan peluang bagi patogen untuk masuk ke inang baru (peristiwa zoonosis).

Banyak dari akar faktor penyebab perubahan iklim juga meningkatkan risiko pandemi. Salah satunya merujuk pada buku Rob Wallace “Dead Epidemiologists: On the Origins of COVID-19,” jika deforestasi yang sebagian besar terjadi untuk tujuan pertanian telah menjadi penyebab terbesar hilangnya habitat alami hewan. Hilangnya habitat memaksa hewan untuk bermigrasi dan berpotensi menghubungi hewan atau manusia lain dan berbagi patogen yang ia bawa. Seperti keberadaan peternakan ternak besar juga dapat menjadi sumber penularan infeksi dari hewan ke manusia, karena faktor konsumsi. Tentu, keberadaan pandemi saat ini dan nanti yang akan muncul juga sangat bergantung pada kondisi alam, yang salah satunya perubahan iklim dan kerusakan lingkungan lainnya.

Refleksi Singkat

Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim memiliki dampak dengan spektrum yang luas, mulai mendorong bencana, memperparah bahaya-bahaya alam sehingga meningkatkan resiko bencana, sampai ia berdampak pada kemunculan pandemi, baik transmisi sampai pada limpahannya. Sehingga perubahan iklim yang diakibatkan oleh rusaknya lingkungan, salah satunya adalah aktivitas manusia telah mendorong kerentanan kehidupan manusia itu sendiri, serta mendorong hancurnya metabolisme alam.

Jika peringatan IPCC soal bahaya perubahan iklim diabaikan, praktis ke depan situasi yang lebih buruk akan terjadi. Di samping harus menghadapi dampak perubahan iklim seperti bencana hidrometorologi yang masif, berdampak pada sosial dan ekonomi yang akan semakin riskan. Faktor lain seperti keberadaan pandemi saat ini atau pandemi baru juga menjadi ancaman. Tidak dapat dibayangkan karena keabaian atas perubahan iklim akan membuat kehidupan masa depan semakin rentan, memunculkan sebuah adagium “sudah jatuh tertimpa bencana alam, tertimpa pandemi pula.”

Asisten Peneliti dan Pengkampanye WALHI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like