Dulu sebelum memasuki abad 20, ketika dunia dilanda krisis kemanusiaan, saat peperangan terjadi di pelbagai belahan bumi, ketika merobek perut manusia dengan bayonet dijadikan sikap patriotik dan bunuh diri dengan meledakkan bom dalam pelukan ialah sebuah kehormatan. Peperangan atas nama ras, nasionalisme, dan agama telah menjadi candu yang mengguncang peradaban umat manusia.
Nilai-nilai luhur cinta dan kasih telah terkikis dari dalam diri makhluk bernama manusia. Ketika manusia kehilangan akal budinya dan mulai memuja para demagog: ras, negara, dan agama melampaui segala. Ambisi dan kerakusan penguasa sejatinya telah merenggut akal sehatnya.
Lalu di mana peran para seniman? Sebagai juru bicara bagi masyarakat yang tidak berani memperdengarkan parau suaranya, meski hanya sekuntum kata berduri: lawan! Di mana tanggung jawab seorang seniman? Tentu bukan keberadaannya, melainkan suara sumbangnya saat melihat ketidakadilan. Di mana pena seniman yang hendak meluapkan protes, amarah, dan kebencian atas apa yang menimpa pada masyarakatnya.
Dalam The Myth of Sisyphus and Order Essay: ‘An Artist and His Time’ dengan tegas Albert Camus memberikan jalan keluar. Jawaban realistis yang akan selalu berlaku bagi zamannya: membela atau melawan. Akan tetapi, bukan pengakuan itu yang menjadi sakral, tetapi sikap dari seorang senimanlah yang kelak akan di kenang; apakah sebagai pembela penguasa atau melawan penguasa? Sebagai seorang seniman, Albert Camus memilih menjadi yang kedua: ‘pengkhotbah sosial’. Itu panggilan etis. Seruan perikemanusiaan. Undangan kesadaran seorang seniman yang turun dari puncak menara gading. Panggilan seniman yang menempuh marabahaya. Ujian iman seorang seniman yang tak segan untuk melepaskan kemapanan dan kenyamanannya, ketimbang menjadi seorang seniman yang berdiri di pinggir jalan sambil membungkuk—yang kerdil dan hipokrit.
Hari ini tatanan dunia memang berubah ke arah yang lebih baik. Gerakan protes terhadap ketidakadilan terjadi di pelbagai bangsa. Sebuah ide perikemanusiaan yang tidak bisa dihalangi, bahkan ditakut-takuti oleh moncong senjata sekalipun. Gerakan feminisme, gerakan antirasis, gerakan sosial, adalah sikap perlawanan atas dasar satu semangat yang sama: humanisme. Kendati peperangan masih berlangsung sampai kini. Dan itulah tantangan seniman bagi zamannya.
Jika kita tengok ke belakang, melihat peta bangsa kita sendiri, dulu di zaman kolonial, seorang berkewarganegaraan Belanda menentang kebijakan bangsanya yang melakukan penindasan dan merampas hak warga pribumi. Multatuli (Eduard Douwis Dekker) mengambil risiko, mengundang tragedi untuk dirinya sendiri. Melalui karya monumentalnya ‘Max Havelaar’ ia menelanjangi Belanda di mata dunia.
Sikap patriotik terhadap ‘kemanusiaan’ juga diperjuangkan Pramoedya Ananta Toer. Pram–korban kemanusiaan perlakuan tirani ‘Orde Baru’–tak henti-hentinya membicarakan kemanusiaan (humanisme) sebagai sikap perayaan kesadaran untuk pembebasan. Puluhan tahun ia mendekam di Pulau Buru—kerja paksa. Di Amerika karyanya menjadi bacaan ‘wajib’ di sekolah lanjutan. Di negerinya sendiri buah pikirannya haram untuk dibaca, dilarang, bahkan dibakar. Pram dan Douwes Dekker sama: melawan tirani—melawan militerisme.
Tidak adil jika membicarakan Pram tanpa membicarakan Mochtar Lubis. Seperti halnya Pram, keduanya dipertemukan ingatan kolektif kita atas dasar ‘persamaan nasib’. Mochtar Lubis terlebih dahulu dikurung sembilan tahun lamanya. Seperti Pram: tanpa pengadilan. Mochtar Lubis dianggap kontra-revolusi. Melalui media, Mochtar Lubis tak segan mengkritik Sukarno. Begitu pun yang terjadi dengan HAMKA: di penjara.
Romantisme seniman dan zamannya tentu berbeda dengan keadaan sekarang. Zaman telah berubah sedemikian rupa. Watak seniman juga berubah mengikuti historisitas zamannya. Misalnya, menjadi kenikmatan tersendiri bagi penulis saat melahirkan karya sastra dari lamunan atau fantasi semu semata: imajinasi liar. Penulis dan penyair penyendiri yang gemar menghabiskan waktunya di kamar—yang sibuk memikirkan khayalan personal dan tak peduli pada kondisi sosial hari ini adalah manifesto sikap dekaden.
Mengingat di atas segala kemewahan yang kita peroleh hari ini masih menyisakan persoalan klasik: keadilan, kebebasan, dan penghinaan terhadap hak asasi manusia masih berlangsung hingga kini. Siapa yang harus bicara atau mewakili bahasa mereka? Tidak lain adalah seniman. Lalu pertanyaan penting yang kemudian muncul ialah seniman macam apa yang kita punyai di tengah gelombang masyarakat yang apatis, ahistoris, birokrat yang korup, politisi yang oportunis, partai politik yang pragmatis, politik dalam cengkeraman oligarki, krisis kebebasan, defisit demokrasi, serta teknokrat dan akademisi tidak lain hanya sekumpulan ‘yes man’ saat penguasa ‘jualan kecap’.
Hasil dari imajinasi kebudayaan yang langgeng dengan kebobrokan semacam itu, hanya akan menghasilkan ‘copy paste’ pada watak mereka yang dengan bangga mengaku diri sebagai seniman. Tanpa ada khotbah sosial dan perayaan kesadaran mereka akan bahu membahu menciptakan bayangannya sendiri. Inilah lelucon kebudayaan kita dewasa ini: dekadensi moral kolektif.
Hari ini saya membayangkan seorang pengajar akan berkhotbah pada mahasiswanya dalam upaya mengaktifkan kritisisme dan membangkitkan konsientitasi yang sepertinya tidur pulas di kelas-kelas sekolah. Seperti khotbahnya Mr. Keating—seorang guru Sastra Inggris di hadapan puluhan siswanya: ‘Carpe diem’ dalam film Dead Poet Society: Buatlah hidupmu menjadi berarti… Petiklah bunga mawar sebelum hari esok layu!.
Sementara di ‘panggung kebudayaan’ saya membayangkan seorang seniman berorasi lantang: “sejarah tidak menciptakan dirinya sendiri. Maka lihatlah lampu sudah dinyalakan, naiklah ke atas panggung bukan untuk menjadi badut yang mengundang gelak tawa, melainkan menjadi seorang seniman yang menyuarakan bahasa politik kemanusiaan. Dan orang akan mencatat sejarah yang kalian ciptakan.”
Sial. Kita tidak mendengar itu. Barangkali di pojok ‘panggung kebudayaan’ yang dingin dan gelap, ruh Rendra memunggungi pentas kesenian sambil mengisap sebatang lisong seorang diri: kesepian dan terasing.