Macetnya Syahwat Intelektual6 min read

Di sebuah tempat yang Makedonia, lahirlah seorang seorang bernama Aristoteles pada tahun 384 SM. Beliau tumbuh ditengah-tengah Kerajaan Yunani Kuno, Ayahnya sebagai putera seorang dokter (tabib) yang melayani Sang Raja (Raja Amyntas). Sekalipun ayahnya (Nikomachos) merupakaan seorang dokter kerajaan, tetapi saja mereka lebih memlih hidup yang sangat berkecukupan alis tidak tamak, rakus apalagi serakah.

Pada usia 17 tahun, Aristoteles dikirim oleh ayahnya untuk belajar di Plato (428-427 SM), di sebuah wilayah (Athnea) “Academy Plato” sejenis sekolah umum, didalamnya terdapat sekelompok orang yang senantiasa melakukan aktivitas belajar, bertukar pikiran, uji argumentasi, meneliti dan lain sebagainya.

Singkat riwayat, Aristoteles belajar dan berguru pada Plato kurang lebih 20 tahun lamanya. Plato merupakan murid kesayangan dari Aristoles, karena dengan kepintarannya menyebkan para senior (angkatan tua) di “Sekolah Plato” iri padanya, tidak hanya iri, tetapi ada niat buruk dari para senior untuk melakukan hal keji kepadanya.

Aristoteles amat sayang dan cinta pada gurunya, selama belajar di sekolah tersebut, ia juga senantiasa berkhidmat sepenuh ikhlas kepada gurunya; dari merapikan buku-buku gurunya, menyiram tanaman, membuat minuman sejenis kopi untuk guru demi mendapatkan ilmu dari Sang Guru yang dikaguminya.

Sekian berpuluh-puluh tahun lamanya beliau belajar, tentu saja ilmu yang ia peroleh tak terhitung banyaknya, baik dari filsafat, logika, fisika, metafisika, etika, biologi, geologi, kosmolgi, anatomi dan eknomi politik. Beliau berhenti setelah gurunya meninggal. Olehnya itu, dengan berbagai fakultas pengetahuan yang diperolehnya, ia dilabeli sebagai “The Philosopher dan The Master.”

Setelah Platu dipanggil ke alam keabdian, Plato mulai meninggalkan Athena dan kembali ke Makadonia. Tetiba di Makedomia, ia dimintai oleh seorang raja Philip sebagai guru les privat yang mengajari putera sangn raja (Alexander), selain mengajar anak dari seorang raja, ia juga mendirikan sebuah komunitas atau pusat study yang bernama “The Lyceum”, yang belakangan ini dikenal sebagai “Universitas Paripatetik.”, (Hutris.Ugm).

Pada kesempatan kali ini, kita mestinya lebih banyak belajar dari sosok seorang filsuf Sokrates, dari ketekunan dan kegigihannya dalam mengarungi bahtera samudera ilmu pengetahuan. Model belajarnya semenjak kecil hingga dewasa tidak pernah terlepas dari syarat nilai yang menghantar ia pada kemanusiaan-keIlahian.

Sebagai manusia yang diberi kedudukan akal oleh Sang Khalik, dan dengan akal yang dimiliki oleh manusia tersebut sebagai suatu tanda pembeda dengan makhluk ciptaan lainnya. Dengan demikian, akal yang dilabeli kepada manusia, tentu kiranya setiap aktivitas kehidupan keseharian kita tidak hanya berputar pada urusan perut dan di bawah perut. Ada hal yang lebih tinggi yang menjadi prioritas kita selaku manusia, yakni: mewakafkan diri dalam mencerdeskan kehidupan bangsa, control social, membangun kesadaran kolektif, menghidupkan budaya baca-tulis dan turut andil memperbaiki kondisi kebangsaan kita demi keadilan serta kebahagiaan bersama.

Pandemic Covid-19 yang kini belum mereda, masyarakat perkotaan dituntut untuk tidak melakukan aktivitas yang berlebihan. Dengan adanya pembatasan social berepisode layaknya drama Korea yang terus bersambung, entah sampai kapan berakhirnya wabah ini. Dengan kondisi seperti itu tidak membuat kita pesimis dalam melewati masa sulit ini, “bangsa kita adalah bangsa yang tangguh lagi optimis”. Tegas, Pak Joko Widodo di berbagai platform media.

Semakin kesini, polemic kerapkali kita temukan di depan mata kita, setiap masalah demi masalah terus saja menghampiri setiap harinya. Perkara sulit yang mengguncangkan batin adalah merindukan sekolah tatap muka, kuliah di ruang-ruang kelas, dan kajian offline di sebuah taman dan gubuk mini yang udaranya sejuk nan indah.

Itulah potret kebangsaan hari ini, dunia pendidikan terus saja disuplai bantuan kuota inertnet tiada habisnya, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (KEMENDIKBUD) meluncurkan bagi-bagi kuota gratis kepada Peserta Didik Jenjang PAUD (20 GB / bulan), Peserta Didik Jenjang Pendiidkan Dasar dan Menegah (35 GB / bulan), Pendidik Jenjang PAUD Pendidik Jenjang Dasar dan Menengah (42 GB / bulan), Dosen dan Mahasiswa (50 GB / bulan). Lihat, (Serambinews.Com, 2021).

Pendidikan hari ini tak ubahnya seperti katak dalam tempurung, dengan segala macam belajar-mengajar secara daring yang pada akhirnyamembuat siswa, mahasiswa, kurang serius dalam memperoleh pengetahuan, apalagi sebagai seorang tenaga pendidik dalam mentransfsormasi nilai pengetahuan kepada pendidik, sangat sulit mencari solusi kebuntuan dan kemacetan tersebuat.

Syahwat Intelektual Mengalami Kemacetan

Intelektual disebut dalam al-Quran sebanyak enam belas kali, menurut dalam Qur’an, intelektual adalah kelompok yang diberikan keistimewaan oleh Allah Swt. Di antara keistimewaannya ialah mereka diberi hikmah, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Dalam pengertian ini, intelektual bukanlah sarjana yang hanya menunjukkan kelompok orang yang sudah melewati pendidikan tinggi dan memperoleh dertan gelar yang sulit disebutkan, entah gelar sarjana asli atau tidaknya.

Mereka intelektual yang merasa terpanggil untuk memperbaiki masyarakatnya, menangkap aspirasi mereka, merumuskan bahasa yang dapat dipahami oleh setiap orang, menawarkan strategi dan solusin alternative dalam pemecahan masalah dalam social kemasyarakatan. (Islam Alternatif, hal. 232).

Mac Gregor Burns, suatu ketika bercerita tentang intellectual leadership (kepemimpinan intelektual) sebagai transforming leadership (mengubah kepemimpinan), beliau mengemukakan bahwa; “intelektualn adalah orang yang terlibat secara kritis dengan nilai, tujuan dan cita-cita, yang mengatasi kebutuhan praktis.” Selain itu, Edward A. Shils, dalam sebuah karyanya “International Encyclopedia of the Social Sciences,” beliau mengatakan, tugas intelektual ialah “menafsirkan pengalaman masa lalu masyarakat, mendidik pemuda dalam tradisi dan ktrampilan masyarakatnya, melancarkan dam membimbing pengalaman estetis dan keagamaan berbagai sector masyarakat.” Denganpendefenisian dari kedua tokoh tersebut, tentu saja butuh tenaga ekstra dan vitamin yang banyak untuk menjadi bagian dari intelektual. Berat bambang!

Melihat begitu kompleksnya fenomena hari ini, bil khusus kepada mahasiswa angkatan Covid-19, yang sangat disayangkan pabila dengan begitu mahalnya uang pendaftaran dan pembayaran UKT/BPP begitu mahal, namun tidak berbanding lurus dengan perkuliahan dalam kelas, menerima ilmu dari dosen secara tatap muka, kajian kemahiswaan secara offline, menikmati fasiltas kampus, dan lain sebagainya.

Problem memang seringkali terjadi dan itu alami, memang benar dalam sebuah Dalil “tidak beriman seseorang, sebelum kalian diuji dengan cobaan.” Iyah, memang kehidupan ini tidak terlepas dari ujian, tetapi kalau setiap hari terus saja cobaan menimpa diri, itu mah bukan ujian, melainkan pembunuhan secara berlahan-lahan alias menunggu giliran. Pasrah itu jalan menuju kesyahidan.

Selanjutnya, parameter masyarakat sekarang, khususnya para actor mahasiswa jarang kita temukan mereka dalam melakukan aktivitas sebagai mahasiswa yang konon (naha) yang disematkan kepada mereka. Transformasi nilai, mengisi ruang dalam majelis ilmu sulit sekali ditemukan, melibatkan diri sebagai pendengar dalam forum ilmiah lebih lagi. Jangan tanyakan ada mereka tentang: ada beberapa karya Aristoteles, Siapa tokoh sosialisme, siapa penemu teori relativisme, siapa peletak filsafat Islam, Siapa sosiolog terpengaruh, ada beberapa ideology besar dunia, dan semacamnya.

Jangan tanyakan itu semua, tanyakan saja kepada mereka tentang: game, FF, PUBG, ML, kekek merah plus ada chip. Bertanyalah demikian, sebab itulah yang menjadi siklus pemersatu habitat sefrekuensi. Dalam sebuah study kasus telah mengagetkan kita bahwa, kecenderungan masyarakat Indonesia main HP 5 jam dalam sehari, tertinggi kedua di Dunia, dan lebih banyak menggunakan HP adalah kelompok muda alias generasi Z. Sebuah efek dari segala aktivitas yang serba didaringkan, dipaksa menjadi manusia digital, dijadikan sel seluler dan ponsel seluler menjadi satu unitas yang tak terceraikan.

Itulah kondisi kekinian dan kedisinian, tak perlu menyalahkan siapa-siapa, perlu banyak belajar, berbenah, mengkritik diri sendiri. Seperti ungkapan Rumi, “lebih baik menyalakan lilin, daripada mengutuk kegelapan.” Dan, untuk para intelektual, “sudah menjadi tanggung jawab para intelektual untuk terus gelorakan, membicarakan tentang kebenaran dan mengungkap tirai kebohongan.” Pesan etis dari, Noam Chomsky.

Salam dalam kasih, cipta karya mengabadi.

Santri di Bagenda Ali Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like