Kafan Sedang Ditenun dan Peti Sedang Dibuat3 min read

“Dari mana kita? Siapa diri kita? Hendak ke mana kita?” merupakan yang awal sekaligus akhir dari setiap nada tanya yang senantiasa menghantui di batok kepala kita. Dengan mengetahui “pertanyaan” itu, tentu akan terkuak pula “jawaban” yang diajukan. Sekalipun “tanya” itu bagi sebagian orang menganggap tidaklah begitu “penting”. Dan, sebagian yang lain menganggap itu sangatlah “penting” untuk terus ditanya dan berharap ada jawabannya.

Akhir-akhir ini dunia sedang dihantam babak belur oleh COVID-19 yang cukup sulit dinamengi manusia kekinian. Seperti yang sudah kita ketahui bsecara berjamaah bahwa coronavirius tersebut mulanya terkonfirmasi dari Tiongkok pada awal Januari 2020 lalu. Alih-alih “Ibu Pertiwi” juga merasakan dampak kesakitan yang teramat perih.

Isak-tangis seorang ibu sulit diterjemahkan oleh anak cucuknya sendiri. Wong, semakin kekinian dan kedisinian aku, kita dan juga mereka tidak lagi marak membincangkan perlindungan terhadap ibu kandaungnya. Sebab, kita hanya lebih “candu” dengan urusan kekuasaan, harta, dan juga jabatan yang terus berepisode diburu sampai pada titik “finish”.

Bila kita ingin berkata jujur, tentu kita akan mengatakan bahwa “dunia ini diciptakan karena Cinta”, lebih dari sekedar saling mengenal antar sesame manusia dan persaudaraan yang wajar. Dalam pandangan Islam, relasi antara manusia dibangun diatas prinsip-prinsip kemanusiaaan yang melampaui batas-batas geografis dan segala sekat primordialisme. Sebab, puncak dari kemanusiaan itu ialah Cinta.

Tak ada alasan lain untuk hal ini kecuali bahwa eksistensi kehidupan alam semesta, gterutama manusia, diciptakan oleh, karena dan untuk Cinta. Seperti yang pernah diutarakan sufi besar dari Andalusia, Muhyidin Ibn Arabi, sebagaimana dikutip Mahmud Mahmud Gharib dalam sebuah bukunya: “al-Hubb wa al-Mahabbah al-Ilahiyyah” menyenandngkan puisi yang sangat memukau.

Dari Cinta kita berasal
Dari Cinta kita terlahir
Di bawah payung Cinta kita menyusuri jalan
Dan karena Cinta kita akan pulang ke asal

Atas dasar Cinta itulah, tiap-tiap kita dengan segala aktivitas masing-masing tentu dilandasi dengan prinsip mendasar yaitu “Cinta”. Kembali kita melihat Ibu Pertiwi rasanya mengonfirmasikan saya pada pristiwa sejarah yang cukup heroic dan megerihkan. Beta pun itu, para pejuang kemerdekaan dengan segala upaya yang dilakukannya, meraka tetap gagap gempita melawan badai tank, senapan, bom dan semacamnya hanya tidak ingin Bumi Pertiwi dikoyak habis sampai ke dasar rahim nya.

Para pejuang dan korban kala itu tidak terhitung jumlahnya, ada yang dimandikan, dikafankan, disholatkan dan juga dikuburkan secara baik, dan ada juga yang tidak sama sekali kebumikan sama sekali. Itulah memoriam sejarah panjang para pejuang yang merelakan seluruh kehidupannya melawan imperium klonilisme penjajahan di Pertiwi. Mereka-reka itu merupakan syuhada’ yang syahid di medan laga pertempuran yang cukup panjang demi sebuah kemerdekaan Pertiwi dan juga masa depan yang baik untuk anak cucuknya.

Kali ini, idul qurban kita secara virtual, COVID-19 memisahkan kita dalam ruang yang berbeda,mendirikan tembok-tembok geografis, sekalipun begitu idul qurban memprsatukan kita dalam hati yang sama, membangun jembatan-jembatan empatis. Lihat di ufuk timur, bersamaan dengan lantunan adzan subuh, tetes-tetes embun kasih menyirami Bumi Pertiwi. Di mana-mana kita saksikan orang berbagi sebagian rezekinya dan menebarkan senyum kebahagiaan mereka kepada yang lain.

Tetapi idul qurban kali ini juga, betapa banyak manusia yang memasuki pagi dan petang berada di ambang kematian dengan dada yang berguncang kecemasan. Betapa banyak manusia yang dihempaskan gelombang, diseret air bah, ditenggelamkan di lautan, dikuburkan dalam reruntuhan, dicabik-cabik bebatuan, tanpa daya tanpa kekuatan, lemah dan tak berdaya. Mereka teriakkan jeritan dan tidak seorang pun mendengarnya, mereka ulurkan tangan dan tidak seorang pun menolongnya.

Betapa pula banyaknya anak-anak memasuki pagi dan petang yang kehilangn orang tua mereka, saudara-saudari mereka, para pengasuh mereka, para pelindung mereka. Mereka menangis seharian, didera kelaparan dan kehausan, disiksa habis kesepian dan kerinduan. Malam hari mereka kedinginan dan siang hari merkea kepanasan. Siapakah diantara yang membantu dan menolong dan membantu mereka? Mereka itulah Si Penenun pakaian putih (kain kafan) dan Si Perkakas Tukang Kayu (peti jenazah).

Santri di Bagenda Ali Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like