Berhasilkah Kebijakan Pembebasan Narapidana di Masa Pandemi?4 min read

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kembali memperpanjang kebijakan untuk membebaskan narapidana di tengah pandemi melalui pemberian program asimilasi di rumah. Kebijakan tersebut dikeluarkan melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 24 Tahun 2021. Peraturan ini merupakan perubahan dari peraturan sebelumnya , yaitu Permenkumham No 32 Tahun 2021 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi Pembebasan Bersyarat Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.

“Perpanjangan tersebut bersifat mendesak karena ancaman potensi penularan Covid-19 yang masih berlangsung dan sangat tinggi ke dalam lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara dan Lembaga pembinaan khusus anak,” ujar Reynhard Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham dikutip dari Tempo.co. 

Salah satu perubahan mendasar terkait pada Pasal 11 ayat (3) huruf d terkait narapidana penerima Asimilasi dan Pasal 45 terkait perluasan jangkauan penerima Asimilasi, PB, CMB, dan CB bagi narapidana Anak. Pemberian asimilasi di rumah yang semula berlaku pada narapidana yang 2/3 masa pidananya dan Anak yang 1/2 masa pidananya sampai dengan 30 Juni 2021, kini diperpanjang sampai dengan 31 Desember 2021. Artinya semakin banyak narapidana yang mempunyai kesempatan untuk bebas lebih cepat sebelum memasuki 2/3 masa pidana.

Awalnya kebijakan ini menuai berbagai reaksi negatif dari masyarakat. Masyarakat mengkhawatirkan bahwa pembebasan napi di tengah pandemi akan menambah angka kriminalitas. Namun kehawatiran masyarakat tersebut tidak terbukti sampai saat ini.

Indikator Keberhasilan

Pada awal pandemi, Kemenkumham mengeluarkan Permenkumham nomor 10 tahun 2020 tentang pemberian asimilasi dan hak integrasi bagi narapidana dan anak dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebaran Covid-19. Aturan itu telah mengeluarkan 55.929 narapidana dan 1.415 anak penerima hak integrasi dan 69.006 narapidana dan Anak penerima hak asimilasi di rumah. Kebijakan tersebut kemudian diperbaiki menjadi Permenkumham nomor 32 tahun 2020. Melalui peraturan tersebut  Direktorat Jenderal Pemasyarakatan  telah memberikan asimilasi di rumah terhadap 21.096 warga binaan pemasyarakatan yang terdiri dari 20.747 narapidana dan 349 anak didik pemasyarakatan. Jumlah ini melebihi target awal yang berjumlah 20.000 warga binaan pemasyarakatan. Pada perpanjangan pemberian asimilasi di rumah di tengah pandemi kali ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menargetkan pemberian asimilasi di rumah kepada 23.334 warga binaaan pemasyarakatan. 

Jika ukuran keberhasilan dilihat dari capaian angka, maka benar bahwa program asimilasi di rumah dari Ditjen Pemasyarakatan sukses besar. Target terpenuhi, bahkan melebihi. Namun sebenarnya perlu dilihat juga, bagaimana kondisi para warga binaan setelah keluar dari lapas/rutan. Apakah mereka benar-benar menjalani asimilasi di rumah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan. Bisakah mereka tetap berada di rumah, tidak bepergian atau berkumpul bersama teman-teman yang sudah lama tidak dijumpainya? Saya sendiri meragukan hal tersebut.

Optimalisasi Pembimbingan dan Pengawasan

Narapidana yang mendapatkan program asimilasi di rumah mendapatkan pengawasan dan pembimbingan dari Balai Pemasyarakatan (bapas). Tugas pembimbingan dan pengawasan tersebut ditangani langsung oleh petugas pembimbing kemasyarakatan (PK).

Di masa pandemi ini kegiatan pembimbingan dan pengawasan dilakukan secara daring, baik melalui telepon ataupun video call. Itupun dilakukan seminggu satu kali. Untuk itu program yang pengawasan dan pembimbingan yang dilakukan bapas harus benar-benar terencana dan terstruktur. Sehingga apa yang diprogramkan akan berjalan efektif dan memberikan manfaat bagi klien.

Saat ini hal yang paling berharga adalah kesehatan. Begitu juga bagi narapidana yang mendapatkan program asimilasi di rumah. Untuk itu program pembimbingan dari bapas haruslah  memberikan pemahaman kepada klien betapa pentingnya menjaga kesehatan di masa pandemi. Terutama pemahaman terkait bahaya covid-19. Mungkin selama di dalam lapas/rutan informasi terkait virus ini minim mereka dapat. Terlebih perkembangan virus ini selalu berubah-ubah begitu juga dengan kebijakan yang diterapkan pemerintah. Para narapidana sangat membutuhkan update terkait perkembangan covid-19.

Kesadaran akan mentaati protokol kesehatan harus ditumbuhkan kepada klien dan dipastikan bahwa mereka mematuhinya. Bapas harus memastikan bahwa narapidana menjalani asimilasi di rumah sesuai dengan ketentuan peraturan. Dalam permenkumham 32 tahun 2020 dijelaskan bahwa mereka dilarang untuk menimbulkan keresahan di masyarakat, tidak mengikuti program pembimbingan dari bapas, tidak mentaati protokol Kesehatan, tidak melakukan wajib lapor dan pindah alamat tinggal tanpa sepengetahuan pihak bapas. Jika salah satu hal tersebut dilanggar maka program asimilasi di rumah dapat dicabut kemudian klien kembali dimasukan ke dalam lapas/rutan.

Untuk itu diperlukan pengawasan yang serius terhadap mereka. Dalam melakukan pengawasan tentu bapas tidak dapat bekerja sendiri. Perlu dukungan dari berbagai pihak, mulai dari keluarga klien, masyarakat sekitar dan pemerintah setempat. Bapas harus mampu membangun koordinasi yang baik dengan pemerintah level bawah seperti RT, RW atau kepala kampung. Untuk memastikan bahwa warganya benar-benar mematuhi peraturan.

Pernah suatu kali, klien saya memberikan informasi bahwa dirinya hanya bertahan di rumah selama dua minggu tepat setelah bebas dari lapas. Setelah itu ia harus keluar rumah untuk mencari pekerjaaan. Sebagai kepala keluarga, klien saya butuh penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kondisi ekonomi memaksa mereka untuk keluar rumah, risiko terpapar covid-19 pun semakin tinggi.

Bagi saya keberhasilan dari pemberian program ini di ukur dari kondisi para narapidana saat menjalani asimilasi di rumah, bukan dari seberapa banyak jumlah narapidana yang dibebaskan melalui asimilasi. Jika keberhasilan dilihat dari segi kuantitas maka kebijakan ini hanya seperti memindahkan permasalahan dari dalam lapas/rutan ke luar. Narapidana yang semula mendapat ancaman bahaya covid-19 di dalam lapas/rutan, saat keluarpun mereka mengalami ancaman yang sama. Bahkan ancaman tersebut jauh lebih  besar.

Share