Beberapa waktu ini kasus COVID-19 mengalami kenaikan kasus yang sangat signifikan, bahkan Indonesia menjadi salah satu negara episentrum penyebaran COVID-19 terbesar di dunia. Kasus kembali naik ketika varian baru dari virus COVID-19 mulai merambah masuk ke Indonesia. Fasilitas-fasilitas kesehatan penuh sesak bahkan di beberapa lokasi pasien harus dirawat di koridor rumah sakit. Hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen yang semakin meningkat dan terjadi kelangkaan hampir setiap wilayah. Berdasarkan data yang diperoleh dari katadata.co.id kebutuhan oksigen harian medis per tanggal 1 Juli 2020 mencapai 306,6 ribu ton, sedangkan alokasi oksigen untuk media dari total produksi tahunan Indonesia hanya 181,3 ribu ton. Fenomena-fenomena ini harun menjadi perhatian bersama, terutama pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi dalam penanganan pandemi COVID-19. Lantas langkah apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah?
Ya, benar. Sama seperti jawaban para pembaca, salah satunya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang selanjutnya bermetamorfosis menjadi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat (PPKM Darurat) Jawa dan Bali. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi mobilitas masyarakat dengan harapan perkembangan kasus COVID-19 mengalami penurunan yang signifikan. Kebijakan yang awalnya hanya berlaku di Pulau Jawa dan Bali saja, diadopsi oleh sebagian besar pemerintah daerah namun dengan skala yang berbeda-beda. Namun, tak sedikit juga pemerintah daerah yang menolaknya dengan berbagai alasan paling populer adalah pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Kebijakan PSBB maupun PPKM sejatinya merupakan modifikasi kebijakan dari Karantina Wilayah Kesehatan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Karantina Kesehatan). Dalam UU Karantina Kesehatan di sebutkan Karantina Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi.
Jika merujuk pada UU Karantina Kesehatan tersebut ada beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemerintah, salah satunya adalah penjaminan hak dasar masyarakat. Pada pasal 8 berbunyi “Setiap Orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama Karantina.” Pasal lainnya yang menjelaskan lebih detail terkait hal tersebut adalah pasal 55 poin 1 dan 2 yang berbunyi “(1) Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. (2) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah dan pihak yang terkait.”
Dua pasal tersebut sudah dapat menjelaskan bahwa sepatutnya penjaminan kebutuhan dasar masyarakat menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan masyarakat dipaksa untuk mematuhi kebijakan yang telah ditetapkan, sedangkan hak yang seharusnya diperoleh tidak diberikan oleh pemerintah. Hal ini sangat paradoks, ketika masyarakat melanggar terkait aturan PPKM dalil yang dikenakan pelanggaran UU Karantina Wilayah, namun hak masyarakat yang termuat pada regulasi yang sama tidak mampu dipenuhi.
Bagi sebagian masyarakat yang berkerja pada sektor formal, kebijakan PPKM bukan suatu hal serius yang dapat mempengaruhi kebutuhan dasar mereka. Namun, bagai sebagian besar masyarakat yang bekerja dari sektor informal yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan hari itu saja, kebijakan PPKM sangat mempengaruhi kebutuhan dasar keluarga mereka. Terutama masyarakat yang pekerjaannya sangat bergantung dari mobilitas masyarakat seperti, buruh angkut, pedagang kecil menengah, dan lainnya.
Jika berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik bahwa pekerja informal mencapai 78,14 juta orang pada Februari 2021 atau setara dengan 59,62% dari total penduduk yang bekerja di Indonesia (Katadata.co.id, 2021). Artinya lebih banyak masyarakat yang merasakan dampak ekonomi dari kebijakan PPKM itu sendiri. Hal ini harusnya menjadi salah satu fokus perhatian dari pemerintah. Jangan sampai masyarakat sengsara bukan karena virus yang bersebaran tetapi sengsara karena kebijakan pemerintah yang tidak mendukung untuk terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat.
Belum lagi penegakan hukum terkait kebijakan PPKM yang dinilai kurang humanis di beberapa daerah. Seperti contoh, penyitaan barang usaha masyarakat oleh petugas PPKM karena melanggar jam malam hingga konflik kontak fisik antara petugas dan pelaku usaha. Ibarat membunuh tikus dengan cara membakar sarangnya habis, idealnya petugas menertibkan apa yang menjadi sasaran bukan menyita barang usaha yang menjadi modal hidup masyaraka. Belum lagi komunikasi yang dibangun oleh para pemangku kebijakan yang terkesan arogan dan inkonsisten memberikan kesan kurang baik dalam pelaksanaan kebijakan PPKM dan penanganan COVID-19 di negeri ini. Seperti yang dikatakan salah satu pejabat pemangku kebijakan yang tidak terima dengan kritik bahwa kasus COVID-19 di Indonesia sudah mulai tidak terkendali “Jadi kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya, nanti saya tunjukkin ke mukanya bahwa kita terkendali, jadi semua kita laksanakan.” Namun, beberapa hari setelah itu pejabat yang sama mengatakan hal yang bertolak belakang dari pernyataan di awal. “Nah ini saya mohon supaya kita paham, bahwa varian Delta ini varian yang tidak bisa dikendalikan. Varian Delta ini, menurut yang saya baca, itu lebih hampir atau sekitar 6 kali lebih cepat dari varian alpha. Atau PSBB 1 dengan PSBB 2. Ini dari studi yang saya tahu apakah 5 kali atau 6 kali tergantung siapa yang meneliti, tapi yang jelas jauh lebih dahsyat dari varian Alpha yang sebelumnya,”
Tidak adanya pemenuhan hak masyarakat selama PPKM, penegakan hukum PPKM yang tidak humanis, komunikasi yang dibangun pemerintah yang cenderung arogan dan inkonsistensi nantinya akan memicu hilangnya political trust publik terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam penganan COVID-19. Political trust merupakan salah satu indikator penting legitimasi pemerintah. Margaret Levi dan Laura Stoker (2016) dalam tulisan mereka yang berjudul Political Trust And Trustworthiness menyatakan berpendapat bahwa political trust bukan hanya kepuasan ataupun ketidakpuasan, melainkan konsekuensi pelaku dan tingkatan ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Persepsi masyarakat terkait dengan permasalahan sosial yang timbul semakin memburuk atau tetap tidak terselesaikan akan melegitimasi para politisi parlemen dan pejabat pemerintah sebagai warga negara yang tidak bertanggung jawab. Pada dasarnya stabilitas negara sangat bergantung pada dukungan masyarakat serta kepercayaan terhadap lembaga-lembaga lembaga negara.
Bisa dibayangkan bagaimana akibatnya jika political trust masyarakat mulai hilang. Sosialisasi protokol kesehatan yang selama ini masif dilaksanakan akan berbuah sia-sia. Skenario terburuk adalah alih-alih kasus COVID-19 dapat terkendali malah justru akan lebih parah. Oleh karenanya evaluasi terkait kebijakan PPKM serta komunikasi yang dilakukan oleh para pejabat publik di tengah pandemi dirasa perlu. Hal ini menghindari hilangnya legitimasi pemerintah di mata masyarakat yang berujung gagalnya penangan pandemi di Indonesia.
Peneliti Mengeja Indonesia dan Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan UMY
Mantap