Zionisme, Israel, dan Palestina6 min read

Berdirinya negara Israel tidak lepas dari pengaruh gerakan zionisme di dunia. Secara historis, Gerakan Zionisme merupakan gerakan nasionalisme Yahudi. Gerakan Zionis menginginkan berdirinya negara Yahudi di daerah asalnya, yakni Palestina. Setelah runtuhnya Kerajaan Yahudi oleh serangan Nebukadnezar, membuat etnis Yahudi tidak memiliki negara dan tersebar ke berbagai daerah seperti di Eropa.

Gerakan ini diprakarasi oleh Theodore Herzl. Pada tahun 1887, Herzl mulai menyusun pemikirannya ke dalam sebuah buku yang dinamakan “Der Judenstaat”. Pemikiran Theodore Herzl mulai mendapatkan antusias dari kalangan Yahudi Eropa sehingga pada tahun 1897 diadakan Kongres Zionis Sedunia. Gerakan ini juga didanai oleh kalangan Yahudi yang kaya raya. Dana ini kemudian akan digunakan dalam pendirian negara Yahudi.

Pada tahun awal berdirinya gerakan Zionis, golongan mayoritas yakni masyarakat Kristen dan kelompok anti-semit mengkritik pemikiran Zionis dan menganggapnya sebagai sebuah “ide gila”. Masyarakat Kristen juga menganggap impian gerakan Zionis merupakan sesuatu yang sulit untuk dicapai. Dengan kritikan dan sindirian dari masyarakt Kristen, tokoh dan anggota gerakan zionis mulai menyusun strategi baru. Untuk mendapatkan dukungan dari semua kalangan terutama dari kalangan kristen, maka diperlukan sebuah legitimasi. Legitimasi ini berasal dari alkitab dimana sifat legitimasi ini mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Dengan adanya legitimasi dari alkitab maka masyarakat Kristen mulai bersimpati terhadap gerakan Zionis ini.

Simpati Masyarakat Dunia Terhadap Nasib Bangsa Yahudi

Ketika Perang Dunia Kedua meletus, Adolf Hitler bersama perwira militer Jerman mulai menyusun konsep bagi kaum Yahudi di Eropa. Konsep ini dinamakan “Endlösung der Judenfrage” atau “Final Solution”. Solusi final ini merupakan landasan bagi Jerman untuk melakukan genosida kaum Yahudi di Eropa. Genosida ini dinamakan “Holocaust”. Peristiwa Holokaus yang terjadi sangat mengerikan dan tidak manusiawi. Awalnya, penduduk Yahudi di seluruh wilayah pendudukan (occupied zone) dipaksa pindah ke penampungan yang dibuat oleh pasukan Jerman yang dinamakan ghetto.

Karena membeludaknya masyarakat Yahudi di ghetto maka Jerman kemudian mengirim mereka ke dalam kamp kerja paksa yang tersebar di berbagai wilayah pendudukan. Ketika hidup dalam penampungan hingga dalam kamp kerja paksa, penduduk Yahudi diperlakukan secara tidak manusiawi. Di kamp kerja paksa, nyawa masyarakat Yahudi tidak ada harganya. Banyak dari mereka kemudian dibunuh dengan cara dieksekusi maupun diracuni gas klorin. Total korban Holokaus ini diperkirakan mencapai 6 Juta jiwa.

Ketika kekalahan Jerman pada tahun 1945, kamp kerja paksa berhasil dibebaskan. Pada saat itulah, dunia mengetahui bagaimana tindakan Jerman terhadap etnis Yahudi. Apa yang terjadi terhadap bangsa Yahudi ketika Holokaus menimbulkan simpati dan keprihatinan dari masyarakat dunia. Akibatnya, masyarakat dunia mulai mendukung pendirian negara otonom khusus bagi kaum Yahudi.

Deklarasi Balfour dan Konsep Negara Yahudi

Kekalahan Ottoman dalam Perang Dunia Pertama mengakibatkan Ottoman mulai kehilangan kontrol atas wilayah di daerah Timur Tengah. Pihak Sekutu kemudian membuat sebuah perjanjian yang bernama Perjanjian Sylkes-Picot. Perjanjian ini dihadiri oleh empat negara pemenang perang dunia pertama, yakni, Inggris, Perancis, Italia, dan Tsar Rusia. Namun, karena Revolusi Bolshevik, Tsar Rusia terpaksa mundur dari perjanjian ini. Perjanjian Sykes-Picot bertujuan membagi wilayah bekas jajahan Ottoman di daerah Timur Tengah dan Afrika ke negara aliansi sekutu.

Dalam perjanjian ini, Palestina ditetapkan sebagai wilayah administrasi nasional yang dikuasai Inggris. Akibat hal ini, gerakan Zionis mulai melobi pemerintah Inggris untuk mendapatkan wilayah tersebut. Sehingga, pada tanggal 2 November 1917, disepakatilah deklarasi Balfour. Deklarasi Balfour membuat bangsa Yahudi boleh tinggal di wilayah Palestina. Awalnya konsep dari Deklarasi Balfour adalah memberikan Yahudi “national home” di Palestina. Namun, dalam perkembangannya, banyak masyarakat dunia maupun etnis Yahudi mengira bahwa deklarasi balfour merupakan konsep pembentukan negara Yahudi. Kedudukan daerah Palestina yang awalnya daerah administrasi kemudian berubah menjadi daerah koloni Yahudi.

Banyak penduduk Arab yang diusir oleh pemerintah kolonial Inggris agar penduduk Yahudi dapat tinggal dan membentuk pemukiman di Palestina. Populasi etnis Yahudi semakin bertambah meningkat setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua sehingga pada tanggal 14 Mei 1948 terbentuklah negara Yahudi otononom, yang dinamakan Israel. Dengan berdirinya negara ini, dimulainya eksodus besar-besaran dari masyarakat Yahudi di seluruh dunia untuk tinggal dan menetap di Israel sehingga populasi etnis Yahudi di Israel mulai meningkat.

Aneksasi Wilayah Tepi Barat Palestina

Setelah berdirinya negara Israel, banyak masyarakat Yahudi di berbagai belahan dunia berbondong-bondong tinggal dan membentuk pemukiman. Membeludaknya jumlah penduduk membuat pemerintah Israel memulai aneksasi wilayah tepi barat Palestina. Aneksasi merupakan pencaplokan wilayah dari wilayah lain ke dalam wilayah negara sendiri. Aktivitas pencaplokan ditentang oleh penduduk dan masyarakat muslim di Dunia. Menurutnya, aneksasi merupakan kegiatan yang mencederai hak masyarakat Arab di Israel. Wilayah Israel sendiri semakin bertambah sejak berakhirnya Perang Enam Hari pada tahun 1967.

Namun, akibat membeludaknya penduduk maka mau tak mau pemerintah Israel berusaha mencaplok wilayah tepi barat atau mengusir penduduk Arab dari tempat tinggalnya. Usaha aneksasi Israel mendapatkan respons tegas dari berbagai negara di Dunia, termasuk Indonesia. Di dalam forum PBB, sering membahas mengenai masa depan tepi barat dan Palestina. Tidak sedikir negara yang menginginkan Israel dijatuhi sanksi aras tindakan aneksasi yang dilancarkan atas wilayah Palestina. Namun, Israel sendiri dilindungi dan dibeking Amerika Serikat. Hal ini seolah-olah tindakan aneksasi yang dilancarkan Israel mendapatkan persetujuan dari Amerika Serikat sehingga Israel tidak merasa jera dan berusaha mencaplok lebih banyak wilayah lagi. Dengan demikian, apa yang dilakukan Israel akan menyebabkan seluruh wilayah Palestina akan sepenuhnya dikuasai dan diduduki oleh Israel.

Solusi Perdamaian

Ketika berbicara mengenai solusi perdamaian Israel-Palestina, maka terdapat konsep pembagian negara. Konsep ini dapat terbagi menjadi dua konsep satu negara dan dua negara. Konsep satu negara akan melahirkan bentuk negara kesatuan berupa negara serikat atau konfederasi. Dalam bentuk negara ini, wilayah tepi barat akan dikuasai oleh Israel kemudian dibentuk negara-negara bagian (negara di dalam negara). Menurut Ichlasul Amal, terdapat kesenjangan ekonomi antara wilayah Israel dengan wilayah Tepi Barat dan Gaza sehingga apabila kemudian menganut konsep satu negara maka akan terjadi ketimpangan pembangunan.

Sedangkan, Konsep dua negara merujuk kepada rencana PBB dalam Resolusi 181 yang membagi menjadi negara Arab dan negara Israel. Di dalam forum PBB maupun forum perjanjian damai, konsep dua negara selalu ditawarkan untuk menengahi konflik teritorial ini. Dalam Perjanjian Oslo 1993, dibentuklah Otoritas Palestina (PA) yang berdiri sebagai pemerintahan bagi masyarakat Palestina. Selain itu, dengan adanya pemisahan dua negara, tujuan zionisme dan  nasionalisme Arab akan tetap terwujud. Sebab, Zionisme menginginkan negara yang hanya dipimpin oleh bangsa Yahudi sehingga apabila konsep satu negara terwujud maka kedudukan bangsa Yahudi akan menjadi minoritas.

Selain itu, etnis Yahudi tidak memungkinkan untuk bersaing secara sehat dalam proses demokrasi dengan masyarakat Arab sebab budaya politik identitas masih sangat kental apalagi mengenai agama dan etnis. Dengan demikian, solusi dua negara merupakan solusi yang sangat tepat bagi perdamaian Palestina-Israel. Masyarakat Dunia bahkan warga Palestina maupun Israel sendiri mendukung penuh konsep dua negara sebagai solusi perdamaian. Namun, konsep dua negara juga memiliki kelemahan, yakni negara Israel akan kesulitan dalam membuka pemukiman baru sementara masyarakatnya mulai berlipat ganda.

Adanya konsep solusi perdamaian ini diharapkan perdamaian akan tercipta antara negara Israel dan Palestina. Terlepas dari kelemahan yang ada dari kedua solusi ini, diharapkan dalam forum perjanjian damai berikutnya akan ada jalan keluar untuk mengatasi kelemahan tersebut.


Referensi

Amal, Ichlasul, “Masa Depan Konflik Israel dan Palestina: Diantara Satu Negara atau Dua Negara”, Global Strategis, Vol. 14, No. 1

Kusdiana, Ading, 2012,  “Gerakan Zionisme dan Kontroversi Negara Israel”, Jurnal Al-Tsaqafa, Vol. 9, No. 1

Nurdyawati, Tika Tazkya, 2020, “Western Interest dalam Proses Perkembangan Negara Israel (1917-1948) Sebagai Akar Utama Konflik Palestina Israel”, Ampera:  A Research Journal on Politics and Islamic Civilization, Vol.1, No.1

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like