Kita Bukan Erdogan?3 min read

Erdogan berkata:
“…Mereka yang memilih diam atas perbuatan Israel, atau malah mendukungnya karena alasan politis atau ideologis, mestinya menyadari bahwa suatu hari nanti akan menjadi giliran mereka.

Jika kita tidak segera menghentikan agresi Israel di Palestina, terutama di Yerussalem, maka besok, setiap orang akan menjadi sasaran dari mentalitas brutal ini.

Negara teroris Israel ini, yang menjarah kota seperti Yerussalem yang merupakan kota ibadah umat Islam, Kristen dan Yahudi, telah melakukan tindakan yang melampaui seluruh batas…”

Wow, tak diragukan lagi, Erdogan juga belajar Logika. Ia khatam bab shina’atil khomsah (lima kemahiran), bagian qiyas khitabi (argumentasi retoris). Terbukti, pidatonya sungguh memukau penduduk sejagad maya. Warga maya, serentak bertepuk tangan. Tepuk tangannya, juga di dunia maya. Agar suaranya tak didengar oleh Abdullah Hehamahua.

Tentu, kita semua menunggu aksi nyata Erdogan. Kita menunggu kata yang merealita. Jika tidak, maka ia tak lebih dari seorang retorik, tanpa aksi heroik. Sebagai kepala Negara, Erdogan punya kuasa yang tidak sedikit, untuk mewujudkan kata-katanya yang teramat banyak.

Setidak-tidaknya, Erdogan mulai mengusir kedubes Israel dari Negaranya. Lalu, memutuskan semua bentuk kerjasama dengan Israel. Dan jika ingin lebih gagah lagi, Erdogan bisa mengirimkan bantuan finansial dan persenjataan ke pada para pejuang pembebasan Palestina. Bersama-sama, mengusir turis-turis bermental rampok.

Mungkinkah Erdogan seheroik ini? Mungkinkah Erdogan tahu bahwa, bekerjasama dengan Israel berarti mengafirmasi legalitas negara Israel. Mengafirmasi legalitas Israel, berarti mengiyakan penjajahan. Mengiyakan penjajahan, berarti anti kemanusiaan. Dan semua itu, bertentangan dengan pidato retorisnya yang sarat akan nilai kemanusiaan.

Kita teringat dengan aksi Imam Khumaini. Imam sangat sedikit berkata, lebih banyak bertindak. Segera setelah revolusi, Yasser Arafat datang ke Iran, meminta dukungan. Imam hanya berkata, Insyaallah. Dan hari itu juga, diantarlah Yasser Arafat ke sebuah gedung bekas kedubes Israel. Di gedung itu, kedubes Palestina diresmikan. Secara resmi, Israel di usir dari Iran, dan Palestina masuk.

Hingga saat ini, di negeri Salman Al-farisi tersebut, kita tak menemukan kedubes Israel, beserta dua saudaranya; Inggris dan Amerika. Tak cukup dengan menendang Israel dari Iran, Imam menjadikan Jumat terakhir Ramadan sebagai hari pembebasan Al-quds. Kita lihat, di setiap Jumat terakhir Ramadan, akan digelar aksi-aksi pembebasan Al-quds.

Lebih jauh dari itu, Iran terus memberikan bantuannya ke para pejuang Palestina, dalam suka dan duka. Hingga suatu hari, dalam kondisi yang begitu lemah, Yasser Arrafat kembali menemui Imam. Ia mengeluh, persenjataan menipis, dengan apa kita melawan? Segera dijawab Imam dengan mantap, “lanjutkan perjuangan, kita akan terus melawan, walau dengan lemparan batu”. YAKUSA. Dahsyatt kali.

Sangat disayangkan, dan sungguh menyedihkan. Pada perang Iran-Iraq, Yasser Arafat memihak Saddam Husain, Iraq. Namun, itu tak menghentikan langkah Iran untuk terus mendukung pembebasan Palestina, mengusir zionis Israel. Bagi Imam Khumaini, yang kini dilanjutkan oleh Sayyid Ali Khamenei, revolusi Iran belum selesai, bila Palestina masih terjajah.

Kemudian di sini, kita-kita ini, apa yang harus dilakukan? Kita yang bukan siapa-siapa, dan tanpa kuasa ini, apa yang mesti dilakukan? Menulis status-status retoris di sosmed? Apa bedanya dengan Erdogan?

Menyuarakan pembelaan pada Palestina, meluruskan kesalahan berpikir serta opini yang menyesatkan atas masalah ini. Atau seperti kata Syariati, mengabarkan pada dunia akan kebiadaban Zionis. Semua itu baik, dan perlu. Namun maaf, itu belum cukup mengeluarkan kita dari level kata-kata, kita masih Erdogan. Lantas apa yang harus dilakukan? Silahkan ngopi dulu, tulisan ini belum berakhir, hanya bersambung.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like