Urgensitas Modernisasi Alutsista dalam Perspektif Studi Politik Keamanan5 min read

Berbagai studi keamanan dalam setiap negara menekankan bahwa ancaman adalah sebuah keniscayaan yang dapat terjadi kapan dan di mana saja. Setiap ancaman bisa datang dari luar batas negara bahkan bisa pula muncul dari dalam negara itu sendiri. Oleh karenanya strategi pertahanan sebuah negara harus dibangun sedemikian rupa agar ancaman tersebut dapat ditangkal dan dihadapi secara cepat dan tepat. Menghadapi ancaman baik itu ancaman tradisional ataupun ancaman non tradisional tentu juga diperlukan penyesuaian strategi pertahanan dalam sebuah negara.

Hal ini didasarkan pada logika dalam perspektif security studies yang selalu menjadi rujukan aktor keamanan di setiap negara apabila ancaman dihadapi dengan pendekatan yang tidak tepat tentu justru akan menciptakan krisis pertahanan. Jika ancaman yang datang itu merupakan ancaman militer maka juga harus diselesaikan dengan pendekatan militer pula dan sebaliknya. Karena tidak akan tuntas jika ancaman militer diselesaikan dengan pendekatan non militer atau sebaliknya.

Hal menarik yang tidak kalah penting dalam menghadapi ancaman sebagai strategi pertahanan adalah dibutuhkanya sarana dan prasarana pertahanan. Jika itu ancaman militer tentu alat sistem utama persenjataan penting disiapkan guna memelihara perdamaian di dalam negeri. Namun jika ancaman itu berupa non militer tentu sarana dan prasarana sebagai upaya pertahanan juga mengikuti sifat dan karakter ancamanan yang terjadi.

Pertahanan Keamanan Indonesia

Pertahanan adalah strategi yang wajib dilakukan setiap negara dalam menjaga dan melindungi kedaulatan negara. Tidak hanya itu pertahanan dilakukan juga untuk melindungi dan menjamin keselamatan warga negara yang tinggal di dalamnya. Apalagi dalam konteks Indonesia tentu diperlukan pertahanan yang sangat kompleks dari berbagai sisi baik secara militer maupun non militer. Indonesia sebagai sebuah negara yang sangat besar dan berkarakter kepulauan tentu menambah rumit bagaimana strategi pertahanan keamanan dibangun.

Bagaimana Indonesia membangun sistem pertahanan keamanan diberbagai lini mulai dari lini kelautan, daratan, bahkan udara. Setiap ancaman memang bisa datang dari darat, laut, udara atau bahkan ancaman itu muncul dalam dua atau tiga lini secara bersamaan. Tentu kesiapan dalam merespon ancaman ini menjadi sangat urgen sekali. Kerumitan sistem pertahanan di Indonesia harus juga disesuaikan dengan karakter Indonesia sebagai negara kepulauan. Wajar jika alutsista dalam lini kelautan perlu disebar secara merata. Ini sebagai konskuensi Indonesia sebagai negara maritim yang luas lautanya lebih luas dibanding daratan. Jika ditelaah secara seksama berapa jumlah alutsista di Indonesia dalam lini kelautan? Sudah cukup cakapkan alutsista kita bekerja melindungi kadaulatan negara di sektor matitim?

Data yang dirilis oleh Global Fire Power tahun 2020 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan militer terkuat kawasan Asia Tenggara. Di Asia Indonesia masih di bawah India, China. Pada tingkat global Indonesia memiliki peringkat enam belas dunia. Prestasi yang dicapai Indonesia dalam bidang sektor pertahanan keamanan tidak serta merta menjadi kepuasaan yang telah usai begitu saja. Karena capaian itu masih jauh dari standar keamanan negara jika dikomparasikan dalam aspek geografis Indonesia.

Sebagai negara yang sangat luas dan dikelilingi perairan tentu sebaran alutsista yang cakap baik secara kualitas dan kuantitas harus bisa direalisasikan. Mungkin kita unggul di kawasan Asia Tenggara tetapi bukan berarti kita bisa menjamin kendali atas ancaman yang akan masuk dalam negara kita. Hal itu berangkat dari pemikiran betapa luasnya negara kita dan berapa banyak orang yang harus negara ini lindungi. Padahal mereka tinggal menyebar dari Sabang sampai Merauke yang semuanya harus terjangkau oleh sistem pertahanan keamanan negara.

Kecakapan Alutsista Maritim

Alat utama sistem persenjataan yang digunakan harus terukur dan cakap baik secara mutu maupun kuantitas. Secara kualitas tentu dapat digunakan tanpa membahayakan dan secara jumlah harus mencukupi akumulasinya. Kita refleksikan saja dalam satu lini, misalnya lini kelautan Indonesia. Dalam arena laut atau pertahanan di perairan yang tersebar di Indonesia kita memiliki kapal selam dengan jumlah lima buah. Dari lima buah itu susut menjadi empat buah pasca KRI Nanggala 402 dinyatakan tenggelam oleh Panglima TNI. Itu artinya saat ini kita masih memiliki kapal selam.

Jika ditanya secara kuantitas kapal selam yang negara kita miliki yakni empat, sudah cukup mampukan negara dengan sebaran lautan yang terdiri setidaknya 17000 ribu pulau lebih dipertahankan denga empat kapal selam? Ini adalah pertanyaan menarik sebagai refleksi kita dalam membicarakan studi keamanan. Ini baru mengupas masalah jumlah dan masih terbatas pada sektor laut.   Jawabanya jelas, tidak cukup dengan empat kapal selam untuk melindungi kedaulatan maritim kita.

Setidaknya Indonesia butuh kurang lebih 15 kapal selam untuk menjaga pertahanan maritim kita. Hal ini atas dasar pertimbangan betapa luasnya teritori lautan yang dimiliki Indonesia. Memang untuk membeli kapal selam anggaran kita tidak terlalu cukup karena harga satu kapal selam saja butuh budget trilyunan rupiah. Namun jika kita memiliki kemauan mewujudkan hal itu bukan sesuatu yang sulit. Kuncinya ada di aktor Policy Maker negara kita.

Selanjutnya kita bicara masalah kualitas alutsista yang kita miliki. Sebagai negara yang besar memang sangat disayangkan kita tidak memiliki indutri pertahanan sendiri. Kita selalu bergantung pada negara-negara maju dalam memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri yang kita miliki. Sering kali Indonesia terjebak pada kondisi di mana kita tidak rela membeli alutsista dengan biaya yang sangat mahal.

Akibatnya alutsista yang bisa dibeli Indonesia adalah alutsista bekas dan secara umur dapat dikatakan cukup tua. Kita bisa refleksikan terhadap fenomena kapal selam KRI Nanggala 402 yang beberapa waktu lalu tenggelam. KRI Nanggala adalah kapal selam buatan Jerman yang dibuat tahun 1978 dan diserahkan Indonesia pada tahun 1981. Artinya saat ini sudah kurang lebih 40 tahun usia KRI Nanggala 402. Belajar dari kasus itu tulisan ini menekankan bahwa modernitas alutsista jangan hanya dijadikan perhatian jika ketika ada kasus seperti KRI Nanggala 402.

Namun negara harus memiliki keseriusan dalam menggarap dan memastikan alutsista yang kita miliki dilakukan modernitas. Hal ini tentu akan berpengaruh baik secara kualitas maupun tujuan pertahanan. Melalui modernitas alutsista tentu ini disamping menunjukkan konsistensi negara atas pertahanan juga sekaligus menandakan perhatian atas keselamatan aktor pertahanan negara kita. Tanpa modernitas dalam perspektif keamanan selain memperbesar resiko keselamatan bagi aktor keamanan juga akan berdampak pada lemahnya sistem pertahanan keamanan suatu negara.

Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like