Kritik5 min read

Saya tidak dapat melupakan pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Bukan karena pelajaran itu sangat menarik hingga meninggalkan kesan bagi diri saya, melainkan karena metode penyampaiannya. Alih-alih seru, dua belas tahun pengalaman saya belajar bahasa Indonesia adalah riwayat kebosanan yang panjang dan monoton. Nyaris tidak berbeda. Sesekali menyaksikan video pembelajaran atau memutar PowerPoint, namun lebih banyak memakai metode ceramah dan mencatat.

Masih cukup banyak materinya yang saya ingat. Akan tetapi dari semua materi yang rata-rata merupakan pendalaman atas materi yang sama di jenjang sebelumnya itu, saya paling berkesan pada materi tajuk rencana dan kritik. Menyusun argumentasi laiknya seorang redaktur media massa, materi tersebut cukup banyak memasukkan porsi menulis kritik di dalamnya. Kritik, tentu saja, dengan sekian banyak syarat yang harus dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi, bukan kritik namanya. Bisa nyinyir, bisa olok-olok, bisa juga penistaan. Yang paling mengerikan, jelas yang terakhir.

Materi tajuk rencana dan kritik umumnya dibuka dengan sekian syarat wajib itu. Pembukaan semacam ini menarik selain memprihatinkan bagi saya. Mula-mula saya merasa keprihatinan itu hanya dalam anggapan saya, namun ketika saya semakin banyak bergaul dengan ragam bacaan dan kalangan intelektual, keprihatinan saya itu ternyata ada dasarnya dan merupakan sebuah keprihatinan kolektif.

Pasalnya, sesudah dijejali sekian banyak latihan menulis kritik pun, anak-anak sekolah, khususnya sekolah menengah atas, tetap saja tidak bisa menulis dan menilai permasalahan kontekstual masyarakatnya dengan berpedoman pada asas fakta dan objektivitas yang subjektif. Usut punya usut, latihan menulis kritik itu sama sekali tidak mengena bagi siswa, karena mereka lebih takut kritiknya tidak memenuhi syarat abstrak daripada substansi kritik itu sendiri.

Mengkritik jelas bukan hal yang gampang. Itu satu. Selain bobot isi kritik yang harus cermat menelaah setiap sudut pandang yang mungkin, sebuah kritik bukanlah benda mati. Ia dapat membangkitkan reaksi pembacanya. Dan karena reaksi itu, akan semakin tidak gampang jika saya berhadapan dengan kenyataan bahwa syarat-syarat abstrak sebuah kritik itu adalah warisan sebuah budaya sensor. Penciptanya tidak lain dari sebuah rezim militeristis yang tumbang, persis lima tahun sebelum saya menjenguk terang dunia pertama kali.

Bukan kenyataan budaya sensor itu yang menyedihkan, namun juga mentalitas bawaannya. Antara lain, mentalitas antikritik dan asumsi bahwa setiap kritik haruslah hortatoris, harus memberi solusi dan petunjuk, harus disertai saran yang membangun, harus disampaikan sopan dan santun, harus ini, harus itu. Akhirnya, kritik itu kehilangan segala-galanya karena berbagai keharusan yang mengebiri kritik menjadi pujian terselubung belaka.

Selain degradasi bobot kritik, keharusan ini-itu juga terkadang menghilangkan aspek penilaian dan kejujuran; hal mana yang terpenting dari sebuah kritik. Lebih-lebih bagi siswa sekolah menengah yang tidak jarang harus menghadapi kontradiksi diametral antara konsep-konsep masyarakat ideal yang dijejalkan padanya di ruang kelas nan steril itu, dengan kenyataan masyarakatnya yang jauh dari cita-cita negara, apalagi bila diukur dengan indikator Panca Sila.

Ketumpulan kemampuan mengkritik yang diderita siswa sekolah menengah maupun mahasiswa umumnya tidak kurang merupakan bukti nyata bahwa bukan Orde Baru yang gagal meninggalkan Indonesia, namun Indonesia yang gagal beranjak meninggalkan Orde Baru dan semua pembawaannya.

Setiap kebaruan yang menghegemoni, sedikit-sedikit dicocokkan dengan kepribadian bangsa dan Panca Sila untuk dinilai kesesuaiannya. Walau membawa citra puritanisme dan formalisme yang dungu, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kita hari ini sekurang-kurangnya masih mengedepankan cara pandang demikian dalam menyikapi suatu kebaruan.

Akibatnya macam-macam. Paling terasa adalah gegar budaya yang terus berulang setiap tahun di lingkungan kampus. Siswa-siswa SMA yang tidak dibekali sikap dan keberanian mengkritik umumnya mengalami disorientasi ketika bersinggungan dengan aktivisme mahasiswa. Ujung-ujungnya, “aktivis-aktivis” baru tidak membawa kebaruan apapun selain mengikuti rekam jejak kakak-kakaknya: berdemonstrasi, turun ke jalan, tanpa mengetahui dampak apa yang dihasilkan demonstrasi itu.

Fenomena semacam itu mengingatkan saya pada pisau kritik masyarakat kita yang berkarat dan memang disengaja oleh model pendidikan untuk dibiarkan tetap berkarat. Ia tajam di ujung, bisa digunakan menusuk (atau mencubit) kekuasaan, namun ia tetap hanya menusuk-nusuk, karena sisi tajamnya yang berkarat tetap tidak bisa digunakan mengiris atau memotong kebobrokan yang ada. Ujung yang tajam ini pun tidak jarang berkarat juga akhirnya; karat, yang menurut Dr. Ariel Heryanto, disebabkan oleh semprotan parfum Coco Chanel atau steak daging di restoran, bukan karat akibat gas air mata. Contoh kasusnya, bisa dilihat dari penggagas Bukit Algoritma.

Korban dari keadaan pisau kritik yang tumpul, selain masyarakat yang tidak melatih diri lewat adu gagasan, juga adalah media massa arus baru. Perlu menjadi contoh dalam kategori ini adalah Tirto.ID dan Narasi Newsroom. Eksistensi media massa arus baru macam itu, sejak awal memang menolak memosisikan diri hanya sebagai perantara penguasa dan rakyat, sebagai corong atas ke bawah maupun sebaliknya. Kehadirannya sejak awal sebagai bibit jurnalisme masa depan mengajak pemirsanya lebih dari sekadar mengetahui apa yang baru di bawah matahari ini.

Demikianlah, media massa arus baru harus menghadapi masyarakat yang tidak siap menerimanya. Sebab terutama, tentu, adalah media massa kawakan yang kerap dinisbatkan sebagai patron pemberitaan, tidak pernah menyatakan kritik secara terus-terang dan berani. Karena masyarakat yang tidak siap itulah, kritik yang dilancarkan media massa arus baru ini terkadang dinilai kurang ajar, berat sebelah, provokatif, tendensius, bahkan dicurigai melindungi kepentingan pihak tertentu yang menentukan orientasi redaksi.

Patut menjadi catatan penting, mengapa masyarakat tidak siap menerima media massa arus baru ini. Apakah karena kritik yang diajarkan di sekolah-sekolah masih berpedoman dengan sejumlah syarat? Ataukah karena warisan budaya sensor terus mereproduksi mantra “biar tidak benar asal enak didengar” daripada “tidak enak didengar meskipun benar”?

Pisau kritik yang tumpul lebih berbahaya daripada yang tajam. Tetapi lebih berbahaya lagi jika masyarakat terus dididik untuk mengasosiasikan kritik sebagai wujud kebencian dan hasrat menjatuhkan. Dengan koreksi yang terus-menerus ditunda, situasi memang akan menjadi tenang. Hanya saja, detak jarum bom waktu tidak akan berhenti dan meledak pada saat yang tidak diduga-duga.

Kontributor lepas dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap di Tangerang Selatan, Banten.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like