Berlalu 10 hari sejak Muhammad Lukman Alfarizi meledakkan diri di depan Gereja Katedral Makassar dan 8 hari sejak Zakiah Aini tertembak mati di depan Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia, masih tersisa banyak pertanyaan di benak khalayak mengenai korelasi keduanya. Betapapun usaha menepiskan isu agama dilakukan mati-matian, konsekuensi pembahasan akhirnya tentu mengait ke agama juga, karena fakta menunjukkan Lukman dan Zakiah rela mati konyol (konon) demi agama yang mereka anut.
Bukan salah jika publik mulai berspekulasi tentang kebangkitan Jaringan Ansharut Daulah, suksesor Jamaah Islamiyah, sesudah berkaca pada dua kasus di atas. Pun, orang-orang Islam tidak usah tersinggung jika umat Katolik dan Protestan merasa was-was jika gerejanya menjadi sasaran teror berikut. Selain waktunya yang berdekatan satu sama lain, gaya serangan hingga surat wasiat yang ditinggalkan masing-masing, kabarnya memiliki aksen yang serupa: mati syahid untuk membela sesuatu yang ambivalen antara agama dan ideologi.
Keheranan publik tidak semata berhenti pada pola kasus yang nyaris serupa, akan tetapi juga pada pada respons pemerintah yang, selain klise, juga menghadirkan kesan “memberi payung sesudah basah kuyup”. Klaim cuci tangan yang biasa dikeluarkan, yaitu agar jangan mengaitkan tindak bom bunuh diri dengan “agama tertentu” kemudian disiarkan berkali-kali oleh aparat dan Majelis Ulama Indonesia.
Herannya, aksi-aksi penertiban dan penjaringan terduga “teroris” selalu dilakukan ketika ledakan bom terjadi. Sesudah publik teralihkan oleh isu lain, pekerjaan menanggulangi teror dianggap sudah selesai, sampai terjadi teror lagi. Polah “sok aksi” ini, bagi saya, lama-lama menjadi semakin memuakkan selain membuat jenuh dan menggugat, “Apakah intelijen kita begitu rendah mutunya, sampai jaringan terorisme begitu kondang tidak terlacak baik dan harus menunggu insiden sebelum bertindak?”
Di luar keheranan-keheranan itu, saya tergelitik untuk membedah “oknumisasi” yang acap digunakan pemerintah dalam menangani (nyaris) setiap masalah yang menyangkut wibawa dan citra. Ilustrasi yang tergambar dengan jitu, antara lain dilukiskan Aji Prasetyo dalam komiknya yang ia bagikan di laman Facebook-nya pagi ini.
Secara satire, Aji memberikan gambaran bahwa atas nama citra dan kewibawaan, semua lembaga yang prominen (dalam komik, TNI dan Agama Islam) harus dijauhkan dari cerminan buruk. Persoalan ini juga sempat mengemuka ketika Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Listyo Sigit Prabowo, menerbitkan aturan baru (yang dicabutnya dalam waktu kurang dari 24 jam sesudah terbit) agar media tidak meliput arogansi dan kekerasan oleh anggota Polri.
Ketika orang beragama Islam meledakkan diri, dia adalah oknum. Kalau warga TNI berbuat serampangan dan tidak sesuai Sapta Marga, itu adalah oknum. Bila ada anggota Polri yang bertindak arogan, juga ia adalah oknum. Islam harus bersih, citra TNI harus terjaga, dan nama baik Polri hendaknya jangan dijatuhkan.
Sayangnya, oknumisasi ini hanya fenomena hangat-hangat tahi ayam. Kita menggunakan oknumisasi jika merasa merugikan diri sendiri. Sedangkan jika kerugian jatuh atas orang lain, kita cenderung senang menggunakan logika yang mengolektifkan kesalahan. Tidak perlu jauh-jauh mengambil contoh: Indonesia pernah melakukannya pada 1965.
Siapa nyana jika Sabtu pagi, 2 Oktober 1965, merupakan hari terakhir edar untuk eksemplar Harian Rakjat, koran resmi Partai Komunis Indonesia yang ketika itu sudah merajai pangsa surat kabar pagi ibukota? Pun tak ada keterangan resmi dari redaksi ataupun tata usaha ihwal penutupan surat kabar. Hanya perintah tegas yang mengudara di Radio Republik Indonesia dua belas jam sebelumnya: seluruh surat kabar kecuali Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha serta Kantor Berita ANTARA dilarang terbit.
Pembredelan yang ganjil itu ternyata berdampak sangat besar. Dalam 4 hari kekosongan informasi, Angkatan Darat berhasil mereproduksi cerita fiktif mengenai enam perwiranya yang disiksa dan diketemukan sebagai bangkai di sebuah lubang sumur tak berair di batas Kota Jakarta. Fiktif, tentu saja, karena dapat dipastikan tidak satu wartawan pun yang meliput peristiwa yang terjadi di Lubang Buaya, pada 1 Oktober 1965 dini hari itu. Dalam empat hari itu pula, bara panas berhasil dikipas Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha menjadi kobar api kebencian yang menyala-nyala.
Berbekal cerita fiktif dan monopoli informasi yang dimilikinya, Angkatan Darat membimbing Indonesia yang saat itu baru berusia 20 tahun memasuki babak perang saudara dan mandi darah terbesar sepanjang sejarah. Lebih dari 1.000.000 nyawa saudara sebangsa putus di ujung bedil dan mata kelewang. Klaim Sarwo Edhie Wibowo, komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat, selama dua tahun, ia sudah membabat 3 juta “komunis”. Beberapa kesaksian yang hingga kini masih dapat ditemukan, Bengawan Solo dan Sungai Brantas sama memerah darah. Ikan tak bisa dipancing. Airnya tak bisa dipakai masak dan mencuci, hingga dua tahun lamanya.
Siapa yang salah dalam lakon politik berdarah yang mengguncang dan membanting setir jalannya sejarah ini? Menurut Angkatan Darat, yang hingga hari ini terus memfabrikasi kekejaman di Lubang Buaya untuk mendapatkan legitimasi sebagai pahlawan rakyat, tidak bisa tidak adalah Partai Komunis Indonesia yang mengotaki malam berdarah itu. Persetan, apakah dia Dipa Nusantara Aidit, ataukah hanya Pak Wagiman yang buta huruf, ataukah hanya Djuwariah yang menari di perhelatan partai, mereka semua sama-sama merah. Semua sama-sama iblis.
Tahun itu, 1965, apakah elite politik atau petani tak bertanah yang mendapatkan lahan untuk digarap dari aksi-aksi sepihak Barisan Tani Indonesia, semuanya sama di ujung laras senapan Angkatan Darat. Merekalah musuh bersama bangsa. Mereka harus tumpas; tak peduli adakah salah yang mereka tanggung. Barangkali, satu-satunya kesalahan korban, adaah menjadi dirinya sendiri.
Tetapi apakah yang sesungguhnya terjadi? Siapa yang sesungguhnya korban? Satu juta nyawa saudara sebangsa yang tumpas tanpa peradilan dan tidak diakui hingga tulisan ini dibuat; ataukah tujuh jenderal yang kemudian dikuburkan terhormat dan keluarganya terus mendapat santunan dan penghormatan hingga tulisan ini dibuat? Pertanyaan-pertanyaan itu akan terus membawa langkah ke mana bangsa kita bertolak, selama kita enggan dan terus menampik diri untuk menjawabnya.
Akan tetapi, kita dapat mengambil sedikit remah-remah cerita dan merekayasa sebuah pengandaian. Apakah jadinya jika dahulu kita melakukan “oknumisasi” terhadap pelaku Pembantaian 1965 yang sesungguhnya, yaitu mereka yang hadir dan menyaksikan apa-apa yang terjadi di Lubang Buaya 1 Oktober dini hari? Berapa juta liter darah yang selamat kalau Angkatan Darat, lewat surat kabarnya, tidak mengadu domba dan menebar kebencian tanpa mendengar pembelaan yang tertuduh? Berapa puluh juta anak dan cucu yang akan hidup damai dan tenang, jika darah tidak dijadikan tinta menorehkan catatan sejarah?
Semuanya bisa menjadi pertanyaan. Sayang, tidak ada buku sejarah yang mengenal kata “seandainya”. Apa yang sudah terjadi, bukan saja patut mendapatkan bagian di catatan kaki perjalanan bangsa untuk lantas ditinggalkan. Ia harus terus digenderangkan, diberi garis bawah besar-besar, semata agar bangsa pikun ini tidak cepat melupakannya.
Beberapa gelintir lidah mengklaim agar peristiwa itu dilupakan. “Sudahlah,” katanya, “itu sudah berlalu setengah abad. Kita taruh ia di belakang agar kita bisa melangkah ke depan.” Klaim prosais ini terang melecehkan, tidak saja terhadap kenyataan, melainkan keluarga korban yang masih hidup dalam teka-teki.
Lagipula, untuk sebuah bangsa yang acap didera kepikunan, bijaksanakah untuk meletakkan tragedi mandi darah terbesar “di belakang”, semata agar bisa menatap “ke depan”? Bukankah sebuah adagium berkata in het heden, ligt het verleden; in het nu wat komen zal—dalam masa kini, terletak masa lalu; di masa sekarang juga terkandung masa depan?
Tetapi kenyataan tetap harus dihadapi. Teror yang terjadi kesekian kali mungkin menjadi pelajaran penting bagi bangsa kita untuk bersikap konsisten dan mulai memilah-milah. Apakah semua yang “buruk” harus ditimpakan pada oknum ataukah dikolektifkan? Lima puluh lima tahun lalu, “keburukan” itu kita timpakan secara kolektif tanpa pandang bulu, sekalipun harus mengenai diri orang tak bersalah. Hasilnya adalah cerita penjagalan yang menggermangkan bulu roma. Kini, “keburukan” itu ganti ditimpakan pada satu-dua oknum selagi yang lain mencuci tangan. Kita masih akan bertanya dan menantikan, apakah hasil dari tindakan kita kali ini? Akankah sama dengan 55 tahun lalu?
Peristiwa 1965 adalah sejarah. Bom bunuh diri Lukman dan Zakiah juga kelak menjadi sejarah. Bukan perkara siapa yang salah, tetapi maukah kita berkaca dan mulai memilah agar tidak terjerumus menjadi gegabah? Oknumisasi memang gampang, seperti melempar batu sembunyi tangan, maka tangan bukan lagi anggota tubuh, melainkan “oknum pelempar batu” dan hendaknya kepala jangan ikut disalahkan, meski otaklah yang sesungguhnya memberi perintah melempar.
Kontributor lepas dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap di Tangerang Selatan, Banten.
One thought on “Oknumisasi dan 1965”