Salah satu persoalan global yang melanda negara-negara di dunia adalah persoalan ekologi. Hampir dipastikan tidak ada satupun negara yang dapat lepas dari masalah ekologi. Padahal di sisi lain ekologi memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam dan manusia agar tetap bisa ada di alam semesta ini. Namun dalam perjalananya ekologi semakin krisis, terancam, bahkan bisa saja hancur akibat ulah manusia.
Harus diakui jika manusia memiliki kontribusi yang paling dominan dalam menciptakan kerusakan ekologi di muka bumi. Permana (2016) mendefinisikanya kerusakan ekologi sebagai kerusakan mekanisme pengorganisasian diri alam yang diakibatkan oleh kekacauan mekanisme feedback antar jejaring level sistem (mulai dari kuark, atom, molekul, jaringan, organ, tumbuhan, hewan, manusia, bumi, planet, bintang, galaksi, cluster, hingga keutuhan alam semesta) yang dipicu oleh hilangnya peran dan fungsi sebagian level sistem yang terberangus oleh nafsu keserakahan manusia yang menjadikan alam sebagai objek penjarahan. Lantas jika demikian manusia sebagai umat beragama, maka ada yang salahkah dengan cara kita semua beragama?
Satu indikator penting dalam memahami kerusakan ekologi yang sedang kita alami saat ini. Indikator itu yakni ekonomi sebagai orientasi manusia sehingga tanpa sadar mengorbankan ekologi. Semakin hari ekologi mengalami penurunan kualitas, bahkan dikhawatirkan ekologi ini akan musnah. Instrumen dengan dalih pembangunan ekonomi seolah-olah dibenarkan bahwa ekologi memang harus dihancurkan.
Manusia perlu terlibat dalam tindakan ekonomi, mulai dari memenuhi kebutuhan hidup, mendapatkan pekerjaan, akses kesehatan, dan lainya. Itu semua bersinggungan dengan teritori ekologi. Pembangunan ekonomi telah memarginalkan keadilan ekologi. Masifnya pembangunan industri, pembukaan lahan dengan dibakar, penambangan liar, dan aktivitas lainya yang membenturkan ekologi dengan ekonomi hanya menyisakan peradangan ekologi. Perlu proporsi ideal bagaimana ekonomi dan ekologi didudukkan secara seimbang agar kelestarian ekologi bisa terjaga.
Keprihatinan kita melihat kerusakan ekologi tidak cukup hanya sebatas rasa empati, namun perlu dengan tindakan nyata. Degradasi ekologi menjadi tanggung-jawab kita semua baik penguasa maupun warga semuanya memiliki kewajiban yang sama. Banyak komunitas dan elemen masyarakat yang telah mengkampanyekan terkait betapa pentingnya menyelamatkan ekologi. Mulai dari Wahana Lingkungan Hidup , Green Peace, Warga Berdaya, Jogja Garuk Sampah, dan bahkan masih ribuan lagi komunitas yang tersebar di dunia global. Berbagai program dan gerakan banyak digelorakan baik bergerak bersama masyarakat hingga media sosial.
Namun mengapa kita masih mencemaskan nasib ekologi di masa depan? Tidaklah cukup peran NGOs lingkungan tersebut? Naluri kita yang merasa cemas sebagai manusia yang sensitif terhadap krisis ekologi adalah realitas rasional yang harus muncul. Justru sebagai manusia yang memiliki akal pikir secara otomatis bisa merespon keadaan ekologi yang terjadi. Lebih jauh dai itu, perlu perefleksian diri mengapa ekologi menjadi hancur dan luluh lantah.
Satu hal yang harus ditegaskan jika degradasi ekologi disebabkan oleh keserakahan manusia. Hukum ekonomi mengatakan jika kebutuhan manusia tidak terbatas, dan akan selalu muncul. Di sisi lain tentu manusia sebagai mahkluk yang beragama perlu dipertanyakan. Apakah agama yang dianut mengajarkan untuk merusak ekologi? Jika tidak mengapa yang menjadi pelaku perusakan lingkungan adalah manusia yang umumnya beragama? Ini penting ditelisik kembali bagaimana korelasi agama dengan kerusakan lingkungan.
Pada konteks Indonesia misalnya, sebagai negara dengan mayoritas Muslim kerusakan ekologi juga tidak bisa dianggap remeh. Bahkan dalam kondisi tertentu kerusakan ekologi baik itu sisi perilaku maupun hasil menempatkan Indonesia dalam konteks global sebagai negara penyumbang kerusakan ekologi. Ini tentu memang ironis, karena agama belum digunakan untuk merespon masalah ekologi.
Padahal agama memiliki peranan besar dalam melihat bagaimana ekologi diperlakukan. Agama apapun yang kita yakini pasti memberikan perintah dan seruan kepada pemeluknya untuk berbuat adil pada ekologi. Jika itu diimplementasikan maka kerusakan ekologi semestinya tidak terjadi. Agama harus dijadikan nafas dan sumber inspirasi bagi umat manusia untuk bertindak. Agama membawa pertanggung-jawaban moral sehingga kurang tepat jika manusia itu beragama namun perilakunya tidak merefleksikan itu.
Diakhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan jika korelasi agama dengan ekologi sangatlah krusial. Apapun yang kita lakukan berarti itu mencerminkan seberapa jauh kualitas keimanan kita dilaksanakan. Memang saat ini masih minim gerakan berbasis agama yang muncul dalam menegakkan keadilan ekologi. Walaupun sedikit namun ini adalah rasa optimistik dan harapan bahwa satu gerakan dapat berpoliferasi ke lini-lini sosial hingga akhirnya melahirkan kesadaran dalam konteks global.
Harus kita apresiasi misalnya dalam konteks Indonesia hadirnya Muhammadiyah melalui Majelis Lingkungan Hidup, Aisyiyah melalui LLH PB dan NU melalui LPPNU. Ormas agama ini setidaknya telah menancapkan tonggak sejarah betapa pentingnya peran agama sebagai basis kekuatan menghadapi kerusakan ekologi yang semakin kritis.
Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta