Harinya Perempuan4 min read

Di dalam tulisannya Temma Kaplan “On the Socilist Orgins of Internationa Woman’s Day” yang dimuat dalam Feminis Studies (1985), mendalilkan bahwa; riwayat Hari Perayaan Perempuan Sedunia berawal pada tanggal 8 Maret tahun 1857. Terlepas dari tanggal 8 atau 19 Maret, yang terpenting adalah keduanya merupakan harinya perempuan.

Setiap tanggal 8 Maret biasanya kita memperingati “International Woman’S Day (IWD)” atau Hari Perempuan Sedunia yang diwakili tahun 1908 silam. Di era 1900an terdapat ekspansi besar – besaran dan turbulensi industry, pada tahun 1908 banyak terjadi tekanan dan pelanggaran terhadap hak – hak perempuan, dengan itulah membuat sejumlah perempuan bergerak untuk melakukan kampanye perlawanan. Saat itu juga ada sedikitnya limabelas ribu perempuan kampanye menyusuri jalan raya di New York City, Amerika Serikat untuk menuntut jam kerja yang manusiawi, upah yang pantas serta hak suara politi, adanya gerakan – gerakan seperti itulah yang memantik munculnya gerakan perlawanan perempuan atas ketidakadilan di berbagai penjuru dunia.

Sesuai deklarasi “Partai Sosialis Amerika”, Hari Perempuan Nasional Pertama diperingati pada tanggal 28 Februari 1909 di AS. Di tahun 1910, konferensi Buruh Wanita Internasional yang melakukan melakukan demontrasi di Kopenhagen, Denmark. Konferensi itu melahirkan kesepakatan adalah melawan kesetaraan yang bias dan streotip terhadap kaum perempuan, juga siap membenatu terwujudnya dunia yang sifatnya inklusif tanpa terkecuali. Di tahun 1977 IWD diresmikan sebagai hari perayaan tahunan oleh Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) untuk memperjuangkan hak – hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia.

Bilamana kita hendak sedikit menilik kembali perempuan – perempuan dari beberapa pradaban besar, tentu saja kita sangat tidak ingin melihat perempuan yang diperlakukan sangat – sangat tidak bermoral bin manusiawi. Di Yunani, perempuan hanya dijadikan hasrat kenikmatan tubuh bagi laki – laki. Di Eropa, perempuan dijadikan sebagai tontonan telanjang yang meningkatkan birahi semata. Di Romawi, perempuan dijadikan objek dagangan dari ayahnya. Di China, perempuan dibakar hidup – hidup apabila suaminya sudah tiada. Pra Islam, perempuan dinisbatkan sebagai pembawa petaka bagi kehidupan, dan lebih ganasnya lagi dibakar hidup – hidup.

Hari ini, kita perlu jujur melihat fakta sejarah masa lalu yang menimpa pada perempuan, jika kita berlaku secara jujur, secara tersirat kita telah mengamini kesan buruk yang berlalu itu, tidak bisa dimungkiri kejahatan dan kebejatan yang derbuat oleh laki – laki atau system yang menjarah tubuh perempuan dengan segala ketidakbecusannya, mestinya kita sudah memaafkan, tetapi tidak melupakan, meminjam dalil almarhum Gus Dur.

Dalam sebuah film India yang selalu asik dalam gagasan cerita dan gaya bahasanya, dikisahkan sejumlah perempuan yang memberontak pada keadaan demi kebebasannya meraih kepuasan alamiah (seks). Film itu berjudul “Lipstick Under may Burkha”. Sebuah judul yang nakal, menceritakan sejumlah kehidupan rahasia sejumlah perempuan yang bercadar menemukan gairah seksualnya “yang lain” setelah ditinggal mati oleh suami mereka. Barangkali kata “yang lain” itu merupakan perlawanan pada “yang lain” versi Beauvoir, yang eksistensi perempuan ditegakkan dari sudut pandang laki – laki terhadapanya dan hasrat tidak meniscayakan batas, kata Albert Camus.

Posisi derajat perempuan di kala itu teramat rendah, bahkan lebih rendah dari binatang yang tak berasio, tak bermartabat dan tak termuliakan, hina dengan sehinanya, di dalam buku “Republik Plato” bahwa; “Perempuan adalah Makhluk Imitasi”. eksistenya pun tak dianggap sebagai makhluk dihadapan – Nya. Bagi Beauvoir, perempuan adalah “the other”. Kesadaran terhadap kenyataan sebagai perempuan, tidak sama dengan kesadaran pada kenyataan sebagai laki – laki. Perempuan menjadi insiden semata – mata, tidak yang esensial. Laki – laki subyeknya, bukan perempuan bagi dirinya sendiri.

Kata “perempuan” diserap dari kata “empu” dalam Bahasa Jawa. Empu yang berarti “dimuliakan” atau “empunya mempunyai”, ia tak selalu bermkna kealmin dan tubuh. Sejatinya “rasa bahasa” orang Jawa tealah memosisikan perempuan “yang dimuliakan” atau yang “mempunyai” eksisitensinya sendiri. Empu yang dimuliakan oleh dirinya sendiri, sebab mumpuni dalam mencipta dan menjaga ciptaan, perempuan oleh dirinya sendiri, bukan oleh laki – laki. Jika kembali pada terminology “empu”, tentu perempuan bukanlah ditindas, ia setara dengan laki – laki, bahkan secara esensial ia jauh lebih penting, bukan yang berkuasa atau yang dikuasai, ada namanya relasi harmonis dan saling melengkapi, kata kekasihnya kawanku.

Di dalam Qur’an yang memuliakan dengan keberpihakan tegas. Kendati wahyu agung diturunkan di sebuah wilayah jahiliyah yang menginjak – injak perbudak perempuan. Ada surat an – Nisa’ (perempuan), yang bermakna sifat, bukan kelamin semata. Qur’an menyebut kelamin perempuan dengan kata “untsa” ini sangat menarik, “menindas perempuan, sama halnya melecehkan Tuhan”. Kesataraan jenis kelamin itu diabadikan dengan menarik dan tentu saja, cantic dalam Qur’an. Cantic tak harus tubuh, pun tak harus perempuan. Kecantikan itu universal, Qur’an menyebutnya dengan innal muslimina wal-muslimati wal-mu’minina wal-mu’minati dan seterusnya.

Jenis kelamin desebutkan “tak hanya tubuh”, keduanya tiada beda punya derajat sama di sisi – Nya, antara satu dengan yang lainnya tak diperkenankan saling menguasai, menindas atau mengandaikan secara subjektif dan intervensif (Q.S. al – Ahzab: 35). Kendatipun demikian. “Dengan memanusiakan diri dan laki – laki yang dicintai, perempuan menemukan jati diri dan keindahan tubuh yang dimilikinya secara manusiawi. Sebaliknya, hanya dengan memanusiakan perempuanlah, seorang laki – laki tidak tidur dengan seekor kerbau betina lain”. ~Bukan Hadits. Kepada perempuaan pemula perempuan, kepada ibu ku bagi anak – anaknya, kepada istri bagi suaminya, kepada kekasih atau pacar bagi lelakinya, kepada perempuan sesama perempuannya, dari rahimmu, kutemukan kasih saying –Nya. Sealamat Harimu Sebagai Rahim Semesta.

Baca Juga:

Santri di Bagenda Ali Institute

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like