Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah karya sastra yang berjudul “Selangkangan dan Dua Bungkus Kopi” Dalam cerita tersebut, Mina ditanya oleh kekasihnya soal keperawanan. Pertanyaan itu cukup menyakitkan bagi Mina, karena dia sendiri tidak mempertanyakan keperjakaan kekasihnya. Karena itu, dengan tegas Mina melayangkan argumen yang membuat Sani kekasihnya tidak berkutik: “Saya merasa bahagia. Karena keperawanan yang kalian idam-idamkan itu telah saya jual demi kebahagiaan bapak saya, yang menikahi ibu tanpa menanyakan selangkangannya. Saya merasa bangga, ketika keperawanan yang kalian agung-agungkan itu, saya jual demi segelas kopi Kapal Lela untuk bapak setiap pagi, dan juga untuk menghapus bon ibu yang menumpuk.”
Dari cerita tentang Mina, ada stigma buruk dan tidak tepat yang sering dilabelkan pada perempuan. Misalnya, perempuan yang tidak perawan adalah perempuan yang tidak baik. Lebel ini bukan sesuatu yang asing di telinga masyarakat. Tidak dapat dielakkan bahwa pada dasarnya konsep keperawanan perempuan dalam banyak budaya Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah stigmatisasi yang sangat diskriminatif di dalam masyarakat terhadap perempuan. Meskipun keperawanan perempuan dan perempuan selalu disudutkan, konsep keperjakaan laki-laki sampai pada hari ini masih tidak dipermasalahkan, itu berarti bahwa standar moralitas yang dibangun selama ini sangat berat sebelah. Menyengsarakan perempuan dengan tahu dan mau.
Perempuan yang tidak perawan adalah perempuan yang tidak baik dan tidak suci !
Bernarkah demikian?
Ketika hanya keperawanan perempuan yang menjadi standar moralitas atau standar penilaian etis, maka disitulah letak kelemahan masyarakat kita yang mengangungkan moralitas kerdil. Pandangan semacam ini adalah pandangan etika yang sangat tidak memadai. Anggapan bahwa “perempuan yang tidak perawan adalah perempuan yang tidak baik” termasuk dalam pandangan sosiologisme ethis. Di mana menurut pandangan ini, norma-norma yang baik ialah yang diterima dan berlaku dalam masyarakat tertentu. Maka norma ethis yang berlaku berbunyi: “Sesuaikanlah dirimu dengan tatanan moral yang berlaku dalam masyarakatmu.” Hal itu berarti bahwa perempuan dipaksa untuk tunduk dan takhluk begitu saja pada anggapan bahwa “tidak perawan berarti tidak baik.” Sejatinya standar penilain terhadap perempuan yang seperti ini adalah sangat diskriminatif dan keliru. Karena hanya untuk perempuan dan tidak tepat dalam menggunakan konsep “yang baik” sebagaimana seharusnya.
Perempuan yang baik itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang namanya perawan. Perempuan yang baik adalah perempuan yang hidup sebagaimana seharusnya. Hidup yang pantas bagi manusia sebagai manusia. Seorang perempuan masuk dalam kategori yang baik kalau dia sungguh manusiawi. Ketika perempuan hidup sebagaimana seharusnya, maka perempuan berhak dan harus sekolah, berilmu, mengambil keputusan, berpendapat, memimpin, berorganisasi, dan banyak hal baik lainnya. Itulah perempuan yang baik. Jangan hubungkan dengan keperawanan yang hanya tentang badan! Dengan cara demikian perempuan patut mendapatkan perhargaan dan rasa hormat di hadapan tiap manusia.
Perempuan makhluk yang artistik, begitulah kata Friedrid Nietzche. Itu berarti bahwa perempuan sudah sangat istimewa dari kodratnya. Perempuan menjadi istimewa bukan karena perawan, tetapi karena dia ada utuh sebagai perempuan. Karena artistik maka perempuan selalu menarik. Menarik sebagai manusia yang utuh dari segi kodrat, biologis, dan psikologis. Bagaimanapun, hilangnya keperawanan perempuan tidak dapat menghilangkan keutuhan perempuan sebagai pribadi yang memiliki martabat luhur sebagai manusia.
Perawan itu soal selaput dara. Perempuan dibilang tidak baik dan tidak suci kalau tidak perawan itu karena hasil konstruksi norma setempat yang tidak memadai dipaksakan tanpa malu. Kalaupun perawan yang dimaksud itu metafisik, berarti perawan itu tentang hati tulus dan jiwa yang murni. Ketika seorang perempuan tidak lagi perawan secara fisik, dia selalu memiliki potensi terbesar untuk memiliki hati yang tulus dan jiwa yang murni. Perempuan tidak terbatas pada selaput dara!!!
Antonius tertarik pada filsafat feminisme usai mengenal Edith Stein, filsuf feminisme yang hidup masa Nazi.