Membuka Kotak Pandora: Renegosiasi Otonomi Khusus Papua4 min read

Tanah Papua yang saat ini menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat telah dikenal jauh sebelum penjajahan Belanda, bahkan sudah dikumandangkan menjadi bagian dari wilayah Nusantara, yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.

Namun, di sisi lain, Tanah Papua terbelenggu berbagai pergolakan dan serangkaian peristiwa kekerasan yang cenderung menghambat penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan kepada masyarakat di seluruh Tanah Papua. Hambatan dan tantangan yang dihadapi Pemerintah Indonesia tentu datang dari lingkungan internal Papua dan juga eksternal dari luar Papua.

Hambatan dalam pelayanan pemerintahan di hampir semua daerah di Papua dialami oleh para penyelenggara pemerintahan, yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pelayanan pemerintahan terhambat karena kondisi sosial politik yang tidak mendukung. Pelaksanaan program pembangunan juga terhambat lantaran adanya gangguan dan halangan di lapangan. Pembinaan kemasyarakatan juga tidak berjalan mulus karena pengaruh lingkungan yang sering kali menjadi alasannya.

Daerah Operasi Militer, Sentra Eksploitasi Sumber Daya Alam

Kondisi Papua yang demikian itu tidak terlepas dari berbagai kebijakan Negara pada masa lalu yang tidak tepat dilaksanakan di Papua. Kebijakan Negara pada masa Orde Baru yang sangat sentralistik dan cenderung otoriter menjadikan Papua sebagai daerah operasi militer, sentra eksploitasi sumber daya alam, serta pengabaian dan penguasaan hak kepemilikan tanah masyarakat adat Papua.

Implikasinya adalah rakyat Papua tidak mendapatkan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara Indonesia. Rakyatnya hidup di atas penderitaan dan kekerasan militer, kemiskinan, dan kebodohan. Penduduknya tidak mendapatkan manfaat dari kebijakan pembangunan pada masa itu. Daerahnya juga tertinggal dan terisolasi dari sentuhan pembangunan dan kemajuan zaman.

Semuanya hanyalah untuk kepentingan stabilitas negara dan kepentingan ekonomi yang tersentralisasi pada sekelompok orang di Jakarta. Syukurlah bahwa kebijakan negara pada masa Orde Baru ini berakhir pada tahun 1998 seiring pergantian kepemimpinan nasional dari Presiden Soeharto kepada wakilnya B.J. Habibie sebagai akibat dari tuntutan mahasiwa untuk melakukan Reformasi Nasional Indonesia.

Tuntutan Reformasi dari mahasiswa tahun 1998 tersebut merembet sampai ke mahasiswa Papua di Jayapura dan beberapa daerah di Papua. Tuntutan reformasi mahasiswa di Papua tidak hanya sebatas tuntutan mundur Presiden Soeharto, penuntasan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia dan sejumlah isu strategis lainnya. Namun, tuntutan itu bahkan meluas sampai kepada ancaman disintegrasi bangsa oleh mayoritas orang Papua, dengan mengungkit kembali peristiwa integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Akibatnya, kondisi sosial politik semakin meningkat intensitasnya karena adanya tuntutan tersebut. Kebijakan pertahanan dan keamanan di Papua semakin diperkuat. Kemudian, muncul pertanyaan, mengapa mayoritas orang Papua menyerukan ancaman disintegrasi bangsa? Tentu saja karena ada masalah kebijakan yang tidak tepat pada masa sebelumnya. Melihat kondisi demikian, negara menetapkan pemberian status Otonomi Khusus di Irian Jaya (Papua) dengan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999.

Namun, kebijakan negara tersebut mendapat penolakan dari mayoritas orang Papua dan para informal leader-nya. Mekipun demikian, negara melalui para elitenya memperjuangkan kebijakan Otonomi Khusus itu segera ditindaklanjuti. Karena menjadi aktor otonom yang memiliki kekuasaan untuk mengatur warga bangsanya maka dengan segala kekuatan, kewenangan, dan kekuasaan yang dimilikinya secara berjenjang dari pusat sampai ke daerah, negara melakukan proses penyusunan kebijakan Otonomi Khusus bagi Papua. Hasilnya adalah Pemerintah memberikan kebijakan Otonomi Khusus bagi Papua melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.

Dinamika Formulasi Kebijakan Otonomi Khusus Papua

Dinamika politik dan sosial dalam proses formulasi kebijakan Otonomi Khusus dapat dipastikan memengaruhi proses formulasi kebijakan Otonomi Khusus Papua. Memang diakui bahwa kebijakan Otonomi Khusus ini dirumuskan dalam dinamika lingkungan internal dan eksternal Papua yang tidak kondusif. Dinamika itu tentu saja memengaruhi semangat dan efektivitas jalannya proses formulasi kebijakan Otonomi Khusus ini.

Hal ini tergambar dari proses penyusunan yang didominasi oleh elite atau aktor formal Pemerintah, dibandingkan dengan elite atau aktor informal Papua yang tidak dilibatkan dan bahkan menolak untuk terlibat karena menolak Otonomi Khusus, meskipun Lindblom (1984) mengatakan bahwa kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat, baik aktor yang resmi maupun aktor yang tidak resmi, sekaligus sifat-sifat semua aktor yang memiliki kewenangan, serta bagaimana mereka saling berhubungan dan saling mengawasi untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan kebijakan.

Pandangan ini tepat dilakukan ketika kebijakan itu disusun dalam lingkungan yang kondusif, tetapi tidak memungkinkan melibatkan semua pihak ketika berada dalam situasi kontravensi dan konflik. Hal ini sejalan dengan pendapat Replay (1989) bahwa dalam situasi konfliktual dapat diketahui bahwa ternyata tidak semua aktor dan kelompok mempunyai tingkat aksesibilitas yang sama. Kebijakan publik lahir dari dominasi para aktor formal negara.

Dampak Otonomi Khusus Papua

Karena, kita ketahui bahwa kebijakan Otonomi Khusus sejak awal dipandang sebagai solusi jalan tengah atau win and win solution bagi penyelesaian berbagai konflik di Papua. Namun, implikasinya tidaklah signifikan dan tepat karena beberapa faktor, antara lain: pertama, memang sejak awal mayoritas orang Papua menolak Otonomi Khusus, sehingga berdampak sosiologis dan politis di Papua; kedua, proses formulasinya tidak berjalan mulus, sehingga hasilnya tidak memungkinkan menampung aspirasi orang Papua yang bertentangan dengan konstitusi negara; ketiga, muatan atau isi kebijakan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 disinyalir tidak bisa merumuskan tuntutan yang mengancam keutuhan negara Indonesia.

Tetapi, harus diakui pula bahwa tuntutan kesejahteraan, penuntasan pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi, dan marginalisasi, sudah mampu diakomodasi dalam undang-undang tersebut. Persoalannya adalah implementasi dari isi kebijakan Otonomi Khusus, karena ada rumusan kebijakan yang dapat diimplementasikan, ada rumusan kebijakan yang tidak berhasil diimplementasikan, dan bahkan ada rumusan kebijakan yang sama sekali tidak diimplementasikan sampai dengan saat ini. Dengan kondisi seperti ini, kebijakan Otonomi Khusus belum berimplikasi positif dan simetris sebagai win and win solution penyelesaian konflik di Papua.

Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like