Dekontruksi Dialog Antar Warna Organisasi Kemahasiswaan4 min read

“Barang siapa tidak melihat apa yang luhur dalam warna organisasinya sendiri, tidak melihat apa yang luhur dalam organisasinya orang lain.”

Bukan Hadits

Adalah fakta hari ini bahwa mahasiswa yang berkecimpung dalam organisasi kepemudaan (OKP), baik dari organisasi ternama; HMI, IMM, PMII, KAMMI, GMNI, PMKRI, LMND, FMN, dan lain sebagainya. Itulah beberapa organisasi-organisasi yang cukup berpengaruh di Indonesia, Nah kira-kira kita yang mana dalam organisasi tersebut?

Tulisan ini berangkat risih resah bin rusuh dari beberapa teman dan adik-adik yang dibilang orang organisatoris di beberapa kampus ternama di kota Makassar. Berangkat dari keluhan mereka-reka itulah, saya mencoba menuangkan curhatan mereka dalam tulisan ini, moga tidak menjadi tabuh dalam mendengarkan Bahasa batin yang meraka curhatkan. Sebab, bila tidak mereka curhatkan, tentu saja saya khawatir gangguan psikis membencanai pada kedirian mereka. Olehnya itu, izinkanlah saya memulung curhatan dari satu hati ke hati yang lain dalam bentuk tulisan ini, berkenanlah.

Memang benar, untuk mencintai kebenaran orang harus membenci ketidakbenaran. Akan tetapi tidak benar bahwa untuk memuji keyakinan sendiri, seseorang harus membenci dan merendahkan keyakinan orang lain. Pada dasarnya, dialog antar organisasi kemahasiswaan mungkin bila ada kesadaran akan relativitas organ-organ.

Dalam pandangan baru bagi organisasi-organisasi ini, dialog bahkan merupakan mekanisme yang harus dikembang-rawatkan, mengingat perguruan tinggi dan mahasiswa senantiasa berada dalam proses pencarian jati diri yang berlansung dan tiada henti. Organisasi bukan hanya sebagai ajang pencarian jati diri, aktualisasi diri, lebih dari itu organisasi juga sebagai wahana pencarian kebenaran yang independent.

Nah, dibutuhkan dialog alternatif yang merupakan agenda mendesak untuk dilakukan mengingat corak hubungan antar organ selama ini cenderung mengarah pada kontra produktif dan tingkat eskalasinya semakin hari kian melebar. Dialog alternatif adalah salah satu usaha menyelamatkan mahasiswa-mahasiswi dari pikiran gelap akibat stigma negatif yang karena meyakini kebenaran mutlak pada organisasi yang dimasukinya. Samanya kemanusiaan pada agama-agama adalah sumbangan sangat berarti bagi upaya dialog, namun kadang terhadang hambatan-hambatan metodologis, yaitu bagaimana dialog dapat digerakkan. Karena itu, wawasan dialog yang bersifat besar adalah hal yang tak kalah pentingnya.

Dialog dalam dekonstruksi ini adalah segala upaya yang dilakukan dalam rangka perubahan cara pandang (world view) dan sikap berlembaga kea rah yang ideal. Sebagai acuannya adalah nilai-nilai ideal dan fundamental yang terkandung dalam inti setiap kitab suci dalam organisasi-organisasi tersebut. Karena itu, dialog antar organ mengambil bentuk yang tidak terbatas pada format – format tertentu yang baku. Melainkan lebih luas sifatnya. Dialog bisa mengambil bentuk diskusi, membaca buku, berdebat dan juga duduk ngopi sambal bercandaria.

Menurut pandangan Ahmad Wahib, dialog yang efektif justru bukan dialog yang bersifat verbal. Sebab dialog semacam itu cenderung menjebak pelakunya ke dalam slogan-slogan, di samping sangat potensial upaya kooptasi satu sama lain. Dalam dialog yang bersifat verbal, siapa yang paling kuat bicaranya dialah pemenangnya.

Pengalaman hidup sebagaimana yang dialami Ahmad Wahid sendiri adalah salah satu bentuk dialog dengan model dan pendekatan yang telah diuraikan di atas. Pengalamannya saat ia tinggal di asrama mahasiswa Katolik. Serumah dan seranjang dengan anggota PNI, berkawan akrab dengan aktivis PKI, diasuh dan didikan selama tiga tahun oleh pastur, hidup bercengkerama dan bermain bersama mereka.

Dalam praksis dialog yang selama ini telah dipraktikkan, Nampak bahwa ruang lingkup dialog, seperti yang ditunjukkan Steenbrink, terutama baru menyentuh kepentingan-kepentingan pada pragmatis-politis. Sementara itu, dialog pada tataran intelektual mahasiswa masih dianggap belum urgen, bahkan tidak bisa diandalkan, setidak-tidaknya bagi kondisi mahasiswa di Sulawesi Selatan dan mahasiswa Makassar khususnya. Dalam dialog, prinsip kebebasan harus menjadi landasan, sebelum berkaitan dengan dialog yang dijalankan. Tanpa kebebasan berpikir, dialog hanya berlansung sebagai ajang ekspresi bentuk-bentuk emosional yang dikandung organisasi dan bukan tujuan menghadirkan kemungkinan-kemungkinan kebenaran.

Di dalam praktik dialog memerlukan sikap demokratis (democratic attitude). Di antara sikap-sikap demokratis itu ialah tidak melancarkan teror mental terhadap organisasi lain yang bersikap berbeda, membiarkan organisasi lain menentukan sikapnya dengan bebas, tanpa ketakutan, sesuai dengan apa yang menjadi konstitusi organisasinya. Tujuan diutamakan sikap demokratis itu bukanlah “supaya organisasi lain menentukan sikap seperti organisasi yang kita masuki”, melainkan “supaya organisasi yang mereka masuki menginsafi dengan sadar akan kelemahan sikap organisasinya”.

Dalam kondisi sekarang, kita melihat banyak oragnisasi-organisai yang mengalami dualisme kepemimpinan, baik dalam tingkat nasional maupun dalam selevel komisariat. Inilah fakta yang tidak dapat terbantahkan. Saya sangat awam dengan pola dan kondisi organisasi seperti itu, entah bagaimana muruah para pendiri organisasi menitipkan gerak pembaharuan pada generasinya.

Beberapa hari yang lalu, warga Net sempat dihebohkan dengan sebuah kejutan yang sangat disayangkan, hajatan keorganisasian yang diadakan oleh salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia di halau oleh sekelompok organisasi yang sesama dari organisasi Islam pula. Hal seperti inilah disebabkan sesama organisasi yang jarang sekali duduk ngopi bersama, terjadilah kesalahpahaman diantara organisasi satu dengan organ lainnya, dan beberapa konflik sesama organ kemahasiswaan yang pada hari ini masih terus terjadi.

Kopi dan rokok mungkin menjadi salah satu solusinya untuk meredamkan setiap dinamika permasalahan dalam lingkungan organisasi kemahasiswaan, tentu juga, senantiasa buka ruang dialog lintas organisasi diberbagai kampus dan diluar kampus, sehingga tidak terlalu bias dalam “elu-elukan” organisasi yang kita masuki, dan menghujat organisasi lain yang tidak kita masuki pula.

Pada akhirnya, jika sekiranya dekontruksi dialog antar organisasi kemahasiswaan mengalami pembaharuan dan transformasi nilai yang filosofis, para pendahulu kita memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak lain dan tidak bukan ialah keseringan duduk melingkar, ngopi dan ngelinting tembakau sambal menyusun ide-ide besar demi merebut kemerdekaan Indonesia yang kita hormati ini, mereka telah mencontohinya, saatnya kita yang melanjutkan! Kopi, linting tembakau menanggalkan segala kewarnaan kita, hingga yang tersisa hanyalah Merah – Putih.

Santri di Bagenda Ali Institute

One thought on “Dekontruksi Dialog Antar Warna Organisasi Kemahasiswaan

  • dari bincang2 didepan toko buku itu sambil ngopi dn rokok kini muncuk tulisan dri apa yg dibicarakan mlm itu hahahahaha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like