Musik, Pendidikan dan Demokrasi7 min read

Musik, Pendidikan dan Demokrasi

Telah sejak lama, banyak para pemerhati dunia pendidikan maupun para ilmuwan modern menyatakan pentingnya musik bagi kesehatan mental dan psikologis manusia tidak terkecuali bagi anak-anak. Berdasarkan penelitian, musik mampu memberikan pengaruh positif bagi perkembangan kecerdasan terutama pada periode golden age bahkan ketika anak semasih dalam kandungan. Bahkan lebih jauh lagi, musik juga dinilai berpengaruh positif bagi tumbuhan dan hewan.

Musik sendiri berasal dari kata mousike, merupakan hasil karya seni yang awalnya merujuk kepada para Mousa yakni 9 anak-anak Zeus dengan Mnemosyne (dewi ingatan) dan kemudian dikenal sebagai dewi-dewi pelindung seni, sedangkan kata mousa sendiri berarti “kata-kata yang dinyanyikan”. Berdasarkan pengertian tersebut, musik sejatinya memiliki arti luas yang meliputi banyak karya seni dan sastra seperti puisi, drama, dongeng dan juga teatral (tragedi dan komedi) karena didalamnya mengandung 3 komposisi dasar yakni lirik (logou), intonasi (harmonia) dan ritme (ruthmos).

Dikarenakan luasnya ruang lingkup tersebut, musik dalam pandangan Platon masih harus dipilah dan ditelusuri hingga ke dasarnya untuk menemukan musik ideal bagi manusia. Tidak semua jenis musik dan harmonia termasuk pula alat musiknya yang dapat digunakan karena kesemuanya dapat mempengaruhi jiwa seseorang. “and is it not for this reason, Glaucon, said I, that education in music (mousike) is most sovereign, because more than anything else rhythm and harmony find their way to the inmost soul and take strongest hold upon it, bringing with them and imparting grace” (The Republic, 410d).

Syair atau lirik yang mengimitasi perilaku loyo, penuh keluh kesah dan meratapi kesedihan tentu saja tidak cocok bagi manusia apalagi bagi calon pemimpin sebuah polis. Demikian pula halnya dengan harmoni musik yang terlalu santai dengan lirik yang berisikan hasrat keduniawian haruslah ditolak, termasuk pula komposisi musik yang kompleks atau cadas pun tidak serta merta dapat diterima. Semua komponen musik haruslah diseleksi bagi proses pembentukan karakter pemimpin yang terampil dikala damai ataupun ditengah medan laga.

Sayangnya saat ini kita dihadapkan dengan kenyataan yang miris. Dunia pendidikan Indonesia tampak kehilangan fokus dan menjauh dari upaya pembentukan karakter peserta didik yang sesuai dengan budaya Indonesia sendiri. Kesadaran bahwa kita sedang tertinggal jauh dari perlombaan antar negara di zaman modern melahirkan upaya mengglobalkan dan menginternasionalkan pendidikan dalam negeri dengan merintis Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) melalui UU no 20 tahun 2003, tepat tahun ke-5 perjalanan era reformasi.

Sekolah-sekolah modern yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa pengantar, tumbuh subur dengan biaya yang mahal dan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat kaya. Begitu pula, yang tak kalah penting adalah kehadiran sekolah-sekolah berbasis agama yang menawarkan pendidikan yang rigid dan hitam-putih, yang akhirnya melahirkan sikap ekslusif dan monoton termasuk mengharamkan musik didalamnya.

Sejak itu, pendidikan menjadi semacam bisnis yang menguntungkan banyak pihak baik secara materiil maupun non materiil. Semangat ekslusivitas dalam beragama tumbuh subur menjamur berhimpitan dengan semangat liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan. Akibatnya segregasi masyarakat terjadi karena jomplangnya kualitas pendidikan. Model pendidikan (apalagi sejak tingkat sekolah dasar) tersebut sangatlah mengkhawatirkan bagi masa depan bangsa ini sendiri.

Dapat kita bayangkan bahwa nilai-nilai yang dicangkokkan sejak dini tersebut pada akhirnya akan menjadi perilaku sosial saat mereka dewasa, diantaranya pasti akan ada yang menjadi pemimpin masyarakat. Dimasa depan, akan sangat sulit bagi kita mengelola kebhinekaan, asas-asas Pancasila pun bisa saja menguap, jika kita acuh dengan model pendidikan yang sedang berjalan.

Platon sejak 2500 tahun lalu telah memperbincangkan pentingnya musik dalam kehidupan manusia bahkan menurutnya musik haruslah menjadi salah satu kurikulum pendidikan bagi mereka yang disiapkan atau ingin terjun di dunia politik, untuk menjadi pemimpin masyarakat. Dalam penafsiran Wibowo, pengajar STF Driyarkara Jakarta yang secara pribadi meneliti teks-teks karya Platon dan Nietzsche disepanjang studi filsafatnya di Université Paris-1, Pantheon-Sorbone dari tahun 2000-2007, terhadap Politea (The Republic) karya Platon menegaskan bahwa pendidikan musik adalah pendidikan dasar bagi setiap manusia sehingga perlu disiapkan sejak usia dini. Pendidikan musik sendiri bagi Platon bukan bertujuan mencetak generasi musikus handal dan terkenal namun baginya pendidikan musik bertujuan mencetak manusia berjiwa harmonis sedari dini sebagai bekal menjadi pemimpin polis.

Pendidikan musik bersama dengan pendidikan gymnastic merupakan upaya mendidik sensibiltas pra rasional sebelum seseorang menjajaki pendidikan rasional seperti matematika ataupun pendidikan tinggi seperti dialektika dan berakhir pada pengabdian pada masyarakat. Kegagalan dalam pendidikan sensibilitas pra rasional dapat menjadi faktor mendasar runtuhnya sebuah polis dimasa mendatang. Dengan pendidikan musik, seseorang diajarkan untuk mengasah akal budi, motorik halus dan kasar, fokus, imajinasi serta persepsi.

Pendidikan musik adalah pendidikan karakter sehingga ia harusnya diajarkan kepada anak bukan sekedar untuk menumbuhkan minat dan bakat namun juga merupakan sarana pendidikan moralitas. Dengan musik, seseorang memiliki kepekaan pada nilai-nilai estetis, kesederhanaan dan harmonis. Kegiatan bermusik menyediakan ruang bagi seseorang untuk “bereksperimen” dengan simbol-simbol, ide, tempo dan suara.

Dari eksperimentasi tersebutlah, musik senantiasa berkembang melahirkan genre-genre disepanjang kehidupan manusia. Jika kita melirik sedikit sejarah, genre-genre musik itu sendiri merupakan protes atas genre sebelumnya, ini berarti musik sejatinya adalah simbol perlawanan, anti kemapanan. Musik juga menjadi salah satu sarana kritik sosial yang efektif apapun genrenya. Sepanjang sejarah negeri ini saja, kita temui banyak lagu yang dibredel dan dilarang beredar bahkan musisinya pun dipenjarakan karena dianggap mengganggu stabilitas negara.

Musik juga dapat dijadikan sarana pendidikan demokrasi yang efektif, dalam musik kita akan menemukan harmonisasi atas sesuatu yang berbeda satu sama lainnya namun mampu hadir setara, selaras dan tertib mengerjakan urusannya masing-masing, doing one’s own job, dalam pengertian masing-masing komposisi penyusun musik tidak memainkan egonya untuk mencampuri urusan yang bukan posisinya.

Pendidikan musik tampaknya sangat diperlukan untuk mendidik para pemimpin di era demokrasi, dimana setiap orang merasa berhak untuk menyampaikan opininya. Kebebasan dan dukungan terhadap pemenuhan hasrat individu, membuat rezim demokrasi dapat tumbuh menjadi rezim yang penuh konflik kepentingan antar sesama warga negara.

Banyaknya konflik kepentingan tersebut akan melahirkan banyak aturan hukum dan cenderung fleksibel agar mampu mengakomodir setiap selera pemangku kepentingan. Kondisi perangkat dan produk hukum menjadi kacau dan tumpang tindih, mendorong masyarakat untuk apatis dan suka-suka hingga berujung pada anarkisme kelas. Demikian pula atas nama demokrasi, caci maki, celoteh kebebasan, kesetaraan menjalar tak terkendali sehingga sulit sekali melacak rasionalitasnya.

Produk hukum dan asas kebebasan yang kebablasan turut mengaburkan prinsip-prinsip kepemimpinan negara dan tata kelola masyarakat. Cita-cita bersama sebagaimana yang telah dirumuskan para founding father, tidak lagi menjadi spirit yang mengikat kehidupan bersama dan dijunjung tinggi. Tata kelola kehidupan bermasyarakat yang ditopang oleh kerumunan massa terlebih lagi jika memaksakan kehendaknya tentu bukanlah demokrasi yang esensial, akan tetapi mobokrasi.

Pada akhirnya demokrasi tanpa rule of law akan menciptakan konsekuensi dramatis berupa kekacauan moral, membuat individu mengalami kekacauan nilai. Tentu kita semua tidak menginginkan masa depan negara kita mengikuti sisi kelam rezim demokrasi, untuk itu perlu kiranya kita menelisik lebih dalam akar permasalahannya, salah satunya adalah model pendidikan yang tidak menyertakan kurikulum sensibilitas pra rasional seperti pendidikan musik sejak usia dini.

Pendidikan musik dalam hal ini bukan sebagai upaya melahirkan pemimpin yang bisa bermain musik, menciptakan lagu ataupun menyukai musik-musik cadas. Dengan pendidikan musik, diharapkan pemimpin memiliki kemampuan untuk menyaring  opini masyarakat. Pendidikan musik memungkinkan seorang pemimpin untuk dapat membaca irama, laju tempo dan makna lirik yang disampaikan masyarakat dalam opininya sehingga tidak langsung menilainya sebagai suara-suara sumbang yang menggangu tatanan bernegara bukan malah ikut memperkeruh keadaan melalui para buzzer.

Pemimpin di era demokrasi dapat diidentikan dengan konduktor dalam sebuah orkestra simfoni yang memandu jalan suatu pertunjukan musik. Seorang konduktor bertugas memastikan para musisi memainkan perannya sesuai dengan maksud komposer, oleh karena itulah ia diberikan kuasa untuk mengatur ritmik, memainkan dinamika dan mendeteksi irama atau nada yang keluar dari partitur.

Meskipun konduktor memegang tongkat kecil sebagai simbol kekuasaannya namun sejatinya gaya komunikasinya antar seluruh elemen orkestra lah yang menjadi kunci keberhasilan kepemimpinannya. Begitu pula seorang pemimpin demokratis, ia bertugas untuk memastikan bahwa seluruh perangkat kenegaraan melaksanakan perannya masing-masing sesuai dengan amanat UU dan cita-cita bangsa tanpa ada yang berperan melebihi wewenangnya. Kepemimpinan demokratis tidak menggunakan “tongkat”nya untuk menyelesaikan permasalahan dengan semena-mena namun membangun pola komunikasi siap dikritik.

Sebagaimana seorang konduktor yang berdiri di depan komponen orkestra, seorang pemimpin demokratis harus berdiri di depan rakyat untuk menjelaskan kebijakan yang diambilnya, mengemukakan arah yang ditujunya. Ia tidak membelakangi atau bahkan kabur dari rakyatnya sendiri. Kita pernah dipimpin oleh seorang yang mampu menciptakan lagu-lagu melankolia, saat ini kita juga sedang dipimpin oleh seorang yang menggandrungi musik cadas. Kedepan, Kita tampaknya perlu seorang konduktor orkestra yang mampu mengharmonisasikan seluruh elemen bangsa.

Pemuda kelahiran Samarinda 36 tahun silam. Disela-sela kesibukannya sebagai karyawan sebuah perusahaan milik pemerintah daerah Kalimantan Timur masih menyempatkan diri untuk menuliskan pandangan terutama menyangkut budaya, seni, sosiologi, politik, filsafat dan agama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like