Bangkitkan Kembali Gerakan Mahasiswa6 min read

Bulan April 1998, gerakan mahasiswa berulang-ulang menjadi berita emas media di tanah air, ribuan mahasiswa dari berbagai universitas, dengan jaket almamaternya masing-masing, bergabung menjadi satu. Berbagai aksi keprihatinan berulang-ulang digelar, mulai dari Lampung, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, sampai ke Ujungpandang. Berbagai universitas negeri terkemuka terlibat, seperti UI, ITB, UGM ditambah beberapa universitas swasta lainnya, slogan yang dikumandangkan pun beragam, namun seputar reformasi ekonomi dan politik.

Serta merta gerakan mahasiswa ini mengingatkan kita pada gerakan serupa di tanah air tahun 1966, 1974 dan 1978. Sejak tahun 1966 gerakan mahasiswa saat inilah yang terbesar, jika diukur dari krisis politik ekonomi yang melatarinya, luasnya berita pers baik domestik ataupun internasional, frekuensi gerakan, serta jumlah mahasiswa dan universitas yang terlibat. Gerakan ini pun mengingatkan kita pada gerakan sosial di bagian dunia lain, terutama di Eropa Timur dekade awal 1990-an, Saat itu gerakan mahasiswa bercampur dengan aneka kekuatan civil society yang lain.

Mereka menuntut perubahan sistem yang kemudian berubah menjadi gelombang sejarah berupa runtuhnya sistem ekonomi politik yang tidak demokratis dan tidak pro ekonomi pasar. Merenungi gerakan mahasiswa di tanah air saat ini, muncul dua pertanyaan besar, pertama, mengapa gerakan mahasiswa yang melibatkan ribuan massa lahir kembali di panggung politik Orde Baru? Mengapa gerakan sebesar ini timbul saat ini dan tidak lahir dimasa sebelumnya, misalnya di tahun 80-an?

Apa persamaan dan perbedaan dari penyebab gerakan itu dengan penyebab gerakan mahasiswa serupa di tahun 1966? Pertanyaan kedua, bagaimana prospek politik gerakan mahasiswa saat ini? akankah mereka mengulangi sukses gerakan serupa di tanah air di tahun 1966, ataupun gerakan sosisal di Eropa Timur dekade 90-an? ataukah mereka akan kembali tenggelam seperti aksi protes sebelumnya sejak tahun 70-an? akakah gerakan mahasiswa itu membuat sejarah Indonesia baru?

Secara teoritis dapat dipertanyakan apa gerangan yang menjadi penyebab lahirnya sebuah gerakan sosial? Literatur ilmu politik menyediakan tiga pandangan teoritis, pandangan pertama menjelaskan bahwa gerakan sosial itu dilahirkan oleh kondisi yang memberikan kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintahan yang moderat misalnya, memberikan kesempatan yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat otoriter, kendala untuk membuat gerakan di negara yang represif lebih besar ketimbang di negara yang demokrat. Sebuah negara yang berubah dari represif menjadi lebih moderat terhadap oposisi, menurut pandangan ini akan diwarnai oleh lahirnya berbagai gerakan sosisal yang selama ini terpendam di bawah permukaan, ulasan yang luas tentang teori political opportunity structure, dan teori gerakan social lainnya.

Pandangan kedua berpendapat bahwa gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, misalnya, dapat mengakibatkan kesenjangan ekonomi yang makin lebar untuk sementara antara yang kaya dan yang miskin. Perubahan ini dapat pula menyebabkan krisis identitas dan lunturnya nilai-nilai sosial yang selama ini diagungkan. Perubahan ini akan menimbulkan gejolak dikalangan yang dirugikan dan kemudian meluas menjadi gerakan sosial.

Pandangan ketiga beranggapan bahwa gerakan sosial adalah semata-mata masalah kemampuan (leadership capability) dari tokoh penggerak adalah sang tokoh penggerak yang mampu memberikan inspirasi, membuat jaringan, membangun organisasi, yang menyebabkan sekelompok orang termotivasi terlibat dalam gerakan. Ketiga pandangan ini dapat kita gabungkan dengan sedikit modifikasi untuk menjelaskan lahirnya gerakan mahasiswa di tanah air saat itu. Jelaslah gerakan di Indonesia ini dilahirkan oleh meluasnya ketidakpuasan di kalangan masyarakat luas, krisis ekonomi dan ketidakpuasan atas situasi politik melahirkan baik gerakan mahasiswa di tahun 1966 ataupun di tahun 1998.

Bedanya, krisis ekonomi ditahun 1966 itu bertumpang tindih dengan polarisasi ideologis masyarakat (antara komunis dan anti komunis) di era perang dingin. Saat ini, krisis ekonomi 1998 bertumpang tindih dengan sesuatu yang kurang ideologis, seperti keraguan atas kompetensi birokratis pemerintahan (korupsi, kolusi, nepotisme). Krisis di tahun 1966 secara keseluruhan memang lebih sensitif, namun setelah tahun 1966, krisis 1998 lah yang terbesar. Gerakan ini juga disebabkan oleh pemerintah yang lebih moderat terhadap oposisi. Sifat moderat ini tidak harus berupa sikap sebenarnya dari pemerintahan tapi moderat karena dipaksa oleh lingkungan. Di tahun 1966, pemerintah lebih moderat karena terjadinya pelemahan dikalangan peme rintah sendiri.

Elite di pemerintahan semakin terbelah dan terpolarisasi antara pendukung dan anti Soekarno, perpecahan elit ini memberikan kesempatan politik yang lebih besar bagi timbulnya gerakan sosial menentang kekuasaan. Di tahun 1998, pemerintah menjadi lebih moderat lagi bukan karena perpecahan elit, Kekuasaan pemerintah di bawah Soeharto tetap solid walau mulai terasa adanya persaingan yang semakin tajam dilapisan kedua kekuasaan, Saat itu pemerintah dipaksa lebih moderat akibat tekanan organisasi dan komunikasi internasional, Begitu besar pengaruh IMF terhadap formulasi kebijakan ekonomi kita.

Kebijakan politik kita pun kini tengah menjadi tontonan intenasional akibat semakin canggihnya media komunikasi, berita aktivis yang hilang secara cepat beredar di internet di Amerika Serikat dan dengan cepat membuat lembaga internasional di bidang hak asasi bereaksi. Jika pemerintah Republik Indonesia tidak semakin moderat, tekanan internasional akan semakin bertubi-tubi. Namun gerakan ini juga disebabkan oleh para pelaku dan pemipin mahasiswa itu sendiri, lingkungan hanya menyediakan lapangan yang memberikan kemungkinan bagi timbulnya gerakan.

Pada akhirnya adalah seorang pemimpin yang harus memanfaatkan lingkungan dan merubah potensi menjadi aksi. Institusi penting gerakan mahasiswa sekarang dan tahun 1966 adalah adanya senat mahasiswa (SM/DM) yang menaungi satu universitas. Insititusi itu secara formal dan organisatoris memudahkan pemimpin mahasiswa menyatukan aksi selingkungan universitas, sang tokoh mahasiswa pun dapat bertindak atas nama satu universitas, Di tahun 80-an, SM/DM itu dibubarkan dan aktivitas mahasiswa terpencar perfakultas.

Institusi lain yang penting adalah jaringan informal antar universitas yang sudah dibangun oleh aktivis mahasiswa periode sebelumnya. Jaringan infromal ini pula memungkinkan aktivis mahasiswa berhubungan dengan aktivis lainnya, seperti pekerja LSM dan intelektual Kritis.  Krisis ekonomi, moderasi pemerintah akibat tekanan internasional, serta tersedianya organisasi mahasiswa seuniversitas menjadi penyebab utama lahirnya gerakan ini, di tahun sebelumnya sejak 1966, ketiga unsur di atas tidak hadir bersama-sama. Akankah gerakan mahasiswa sekarang berhasil sebagaimana gerkan senior mereka di tahun 1966, dan gerakan civil society di Eropa Timur dekade 1990-an? Jawaban ini terbuka karena tergantung dari satu hal penting, koalisi politik yang bagaimana yang akan melibatkan mereka.

Politik riel adalah masalah kekuasaan, dalam konstelasi politik mahasiswa bukanlah kekuatan dan pemain utama, gerakan tahun 1966 berhasil bukan karena mahasiswa sebagai pelaku uatamanya, tetapi koalisi perubahan yang terdiri dari banyak elemen, yaitu kaum reformasi baik dari kalangan militer, teknokrat, intelektual dan dukungan internasional. Tanpa terbentuknnya koalisi yang strategis, gerakan mahasiswa itu akan berhenti sebagai gerakan mahasiswa bukan gerakan perubahan yang mampu menciptakan sejarah baru, Di tahun 1966, mahasiswa berkoalisi dengan pihak yang kuat dan memenangkan perjuangan, sedangkan di tahun 1974, mahasiswa berkoalisi dengan pihak yang lemah dan dikalahkan, karena menang para pemimpin mahasiswa tahun 1966 mendapat reward berupa posisi di pemerintahan dan legislatif,

Karena kalah para pemimpin mahasiswa di tahun 1974 dan 1978 mendapat punishment masuk penjara. Namun dalam gerakan mahasiswa, apalagi jika berpretensi sebagai gerakan moral, bukan kalah dan menang, atau kuat dan lemah itu benar yang menjadi perhitungan. Yang menjadi fokus haruslah tetap isu yang mereka kumandangkan, yaitu isu yang menjadi anak zamannya. Di masa sekarang isu tidak bisa tidak adalah demokratisasi dan kompetisi ekonomi yang fair (tanpa monopoli, korupsi, kolusi), lalu mereka mencari partner politik berdasarkan kesamaan isu.

Dengan isu diatas, seandainya pun tidak berhasil, gerakan mahasiswa saat itu akan tetap dikenang sebagai hati nurani zamannya, asalkan mereka tetap pada jalur tanpa kekerasan, bagi gerakan mahasiswa tanpa kekerasan, pemisahan gerakan moral dan gerakan politik tidak lagi relevan, karena moral harus juga diperjuangkan secara politik, dan aksi politik harus dijalankan dengan prinsip moral. Gerakan mahasiswa akan semakin dikenang, apalagi jika gerakan ini berhasil menumbangkan tipe rezim, Soeharto memang sudah jatuh, namun rezim ekonomi dan politik yang otoritarian belum sepenuhnya tercabut.

Pemerhati Sosial, Minat Kajian Politik Sastra dan Filsafat

2 thoughts on “Bangkitkan Kembali Gerakan Mahasiswa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like