Saat pertama kali membaca karya Albert Camus, saya terkejut dengan pemikirannya. Khususnya, “L’Etranger” (Orang Asing) adalah buku yang sangat saya kagumi. Buku ini membawa saya ke dalam dunia yang mirip dengan film independen dalam hal suasana, tetapi cerita yang menyedihkan dan tanpa harapan ini membuat saya merasa frustrasi dan terdorong untuk mengeksplorasi makna kehidupan saya sendiri.
Albert Camus adalah penulis berusia 46 tahun yang lahir di Aljazair pada 7 November 1913, dan meninggal pada 5 Januari 1960 di Villeblevin, pada masa Aljazair masih jajahan Prancis. Dia meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil bersama seorang penerbit bernama Michelle Gallimard. Camus terkenal dengan novel pertamanya, “L’Etranger”, dan memenangkan Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1957. Lewat “L’Etranger”, ia memperkenalkan pemikiran filosofisnya, yang berfokus pada eksistensialisme dan absurdisme.
Saya menemukan sulit untuk memahami pemikiran Camus tentang absurdisme, karena dia tidak menjelaskannya secara jelas dan sistematis. Banyak yang berpendapat bahwa Camus lebih cocok sebagai penulis daripada filsuf karena gaya penulisannya yang penuh metafora dan pernyataan berlebihan. Namun, dia berhasil menciptakan filosofi melalui sastra, yang tidak hanya menyampaikan ide-idenya tetapi juga mengajak pembaca untuk merasakan dan memikirkan pemikirannya.
Dalam “L’Etranger”, kita diperkenalkan dengan karakter bernama Meursault, yang menggambarkan situasi abnormal manusia. Sebelum membahas lebih lanjut, mari kita lihat ringkasan singkat isi buku. “L’Etranger”, ditulis oleh Camus pada tahun 1942, menceritakan tentang Meursault, seorang tokoh fiksi.
Meursault adalah karakter yang melankolis, ceroboh, dan tampaknya tidak memiliki semangat hidup. Kehidupan sehari-harinya mencerminkan sikap ini. Contohnya, ketika mendengar berita kematian orang yang dicintainya, reaksinya biasa saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ini terlihat dari bagaimana dia merespon kematian ibunya dan bagaimana dia mengamati orang-orang di sekitarnya.
Meursault memiliki hobi yang unik: ia suka mengamati orang-orang sibuk di jalan dari jendela apartemennya yang sempit. Bagi Meursault, orang-orang ini seperti aktor dalam sebuah pertunjukan teater. Dia memandang dunia dari jarak jauh, merasa seperti ‘orang asing’ yang tidak terlibat dalam kesibukan sehari-hari.
Camus menggunakan cerita Meursault untuk mengeksplorasi tema absurditas. Meursault menyadari bahwa dia berbeda dari orang-orang di sekitarnya dan sering mempertanyakan rutinitas kehidupan sehari-hari. Dia merasa teralienasi dari lingkungannya dan menolak untuk mengikuti norma-norma sosial.
Pada suatu hari, Meursault terlibat dalam sebuah insiden di pantai yang berakhir dengan dia menembak seorang Arab. Dia tidak merasa takut atau menyesal setelah peristiwa itu, yang menunjukkan pandangannya yang unik terhadap kehidupan dan kematian.
Di pengadilan, Meursault tetap acuh tak acuh. Dia menjawab pertanyaan dengan tenang dan tidak terpengaruh oleh proses persidangan. Dia terlihat asing di mata masyarakat karena sikapnya yang tidak biasa terhadap kehidupan dan kematian.
Di akhir buku, Meursault menyadari bahwa hidupnya tidak berarti. Dia menolak norma sosial dan memilih untuk hidup sesuai dengan pemahamannya sendiri tentang kehidupan, yang membuatnya menjadi ‘orang asing’ di masyarakat.
Cerita Meursault sangat menyentuh. Dia adalah contoh seseorang yang melanggar norma sosial dan mulai menyadari ketidakberartian hidup, menjadi orang asing dalam masyarakatnya. Bagi Camus, kehidupan ini absurd dan tidak berarti.
Camus menyatakan bahwa jika Meursault adalah manusia nyata, ia akan hidup sesuai dengan keinginannya sendiri, tanpa berpura-pura atau berbohong tentang perasaannya. Sikap ini akan membuatnya terasing dari masyarakat. Meursault mengajarkan bahwa hidup terus berlanjut, dan tidak perlu dipandang sebagai sesuatu yang besar atau penting.
Camus berpendapat bahwa absurditas adalah kondisi di mana manusia tidak dapat menemukan tujuan atau makna hidupnya sendiri. Bagi Camus, ketidakpastian dan ketidaktahuan tentang masa depan adalah hal yang absurd.
Melalui karakter Meursault, Camus menunjukkan bahwa ada banyak hal dalam kehidupan yang tidak bisa dipahami dan dianggap tidak wajar. Meursault memilih untuk hidup sesuai dengan kenyataan, tanpa menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang hebat. Dia hidup di saat ini, meninggalkan masa lalu dan masa depan.
Kisah Mitologi Mengenai Absurdisme
Saat menjelaskan konsep absurdisme, Camus menggunakan mitos Sisyphus sebagai ilustrasi. Mitos ini bercerita tentang Sisyphus, raja Corinth, yang dikutuk oleh Zeus untuk terus-menerus mendorong sebuah batu ke puncak gunung. Ada berbagai versi tentang sebab kutukan ini, termasuk karena Sisyphus melanggar aturan kematian, membocorkan rahasia Zeus, atau karena ia melaporkan penculikan Aegina oleh Zeus. Namun, intinya tetap sama: Sisyphus terkutuk mendorong batu itu tanpa henti.
Camus berkomentar: “Saat Sisyphus kembali untuk mendorong batu itu lagi, itulah momen kesadarannya.” Menurut Camus, manusia pada dasarnya adalah seperti Sisyphus. Kita sadar bahwa hidup ini seringkali tampak tanpa makna atau tujuan, namun kita tetap melanjutkannya.
Manusia seperti Sisyphus, masing-masing dengan beban mereka sendiri. Meskipun kita tahu bahwa usaha kita mungkin akan berulang dan sia-sia, kita tetap terdorong untuk melakukannya lagi dan lagi.
Camus mengatakan bahwa hidup ini tidak berarti karena kita terus berjuang tanpa mengetahui makna sebenarnya dari kehidupan. Jika diibaratkan, kehidupan adalah perjalanan yang harus kita tempuh, di mana ketidakberartian adalah bagian dari kesadaran kita. Kita menyadari bahwa kehidupan berjalan seperti biasa dan apa yang kita alami hanyalah sementara. Batu yang didorong Sisyphus melambangkan keinginan manusia yang berubah-ubah. Meskipun ini tidak mengubah ketidakberartian hidup, kita tetap mengikuti keinginan itu.
Camus dianggap absurd karena pemikirannya yang tidak lazim dan sering bertentangan dengan norma sosial. Banyak yang berpikir bahwa pandangannya tentang absurdisme adalah sesuatu yang suram, putus asa, dan pesimis. Melihat kisah Sisyphus, banyak orang menganggap kutukan mendorong batu sebagai sebuah siksaan yang hanya bisa diakhiri dengan bunuh diri. Namun, Camus menentang pandangan ini. Dia berkata: “Perjuangan menuju ketinggian itu sendiri sudah cukup untuk mengisi hati seorang manusia. Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.” Menurut Camus, kita bisa menjalani hidup yang tidak berarti ini dengan menganggapnya menyenangkan.
Mitos lain yang berkaitan dengan kutukan abadi adalah kisah Prometheus. Dalam mitologi Yunani, Prometheus dikutuk oleh Zeus karena mencuri api untuk manusia. Hukumannya adalah diikat di Pegunungan Kaukasia dan hatinya dicabik-cabik oleh elang setiap hari. Meski lukanya sembuh setiap hari, siksaannya berulang terus menerus. Berbeda dengan Sisyphus, Prometheus dijanjikan akan diselamatkan oleh Hercules di masa depan.
Aspek krusial dari cerita ini terletak pada saat Prometheus dikutuk. Dia sangat menginginkan kematian, meyakini bahwa itu lebih baik daripada menghadapi hukuman abadi yang tidak ada akhirnya. Prometheus menantikan kematian sebagai pembebasan daripada terus menanggung siksaan. Sebaliknya, Sisyphus menemukan semacam kesenangan dalam hukumannya, sebuah perspektif yang unik. Filosofi Camus yang menonjol di sini adalah bahwa meski kita tidak bisa menolak kondisi tertentu dalam kehidupan, seperti Sisyphus, kita harus mampu menemukan cara untuk menjalaninya.
Mengeja Indonesia adalah sebuah gerakan yang otonom dan nirlaba, mengangkat isu-isu fundamental bangsa.
Makin dibaca makin gak jelas, bukan karena ceritanya sulit dimengerti, tapi karena jelas banget ini artikel bahasa inggris ditranslate pake google