Apa yang berbeda dari Indonesia 1960 dan Indonesia 2021? Sangat banyak. Jawaban atas pertanyaan itu juga sangat mudah, ditelaah dari berbagai segi: teknologi informasi, konvergensi kekuasaan, gaya hidup, hingga paradigma berpikir. Teknologi informasi telah menunjang hidup manusia yang menengadah ke horizon digitalisasi. Konvergensi kekuasaan pula menunjukkan di depan mata sebuah pemerataan dalam kongsi pengusaha-partai penguasa-istana. Transformasi gaya hidup yang menggejala adalah konsumerisme dan sikap cepat-bosan. Paradigma pikir yang muncul tidak hanya bersumber dari pengalaman konkret, namun juga interaksi dunia maya dan sosial-media.
Sekarang, coba saya balik. Apa yang sama dari Indonesia 1960 dan Indonesia 2021?
Tentu kita tidak akan membahas masalah teknis seperti sengketa Papua yang tak kunjung selesai atau kesenjangan sosial yang termodifikasi terus-menerus hingga menjadi ekstensif dan menjadi multidimensi itu. Pada tataran lebih tinggi, kesamaan Indonesia 1960 dengan Indonesia 2021 terletak pada masalah intoleransi dan polarisasi politik yang selalu segar-bugar: selalu laku dijual elite penguasa, bahkan menjadi sebentuk metode default meraih kekuasaan paling lumrah dan gampang, kendati wajah demi wajah kekuasaan melulu berganti.
Akar-akarnya sesungguhnya cukup mudah dilacak. Mengambil contoh termudah misalnya dari bagaimana insinyur cum agitator muda, Soekarno, menetapi arah perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan meninggalkan pola pertentangan kelas Partai Komunis Indonesia pasca-1926. Strategi mengontradiksi kelas borjuasi dan proletariat diganti dalam garis yang lebih tegas: kulit coklat kontra kulit putih.
Lanskap berpikir yang sama terpelihara terus semasa Jepang berkuasa. Apa-apa yang erat kaitannya dengan Belanda dipersetankan, termasuk bahasa. Titik kulminasinya meletus di masa revolusi fisik, ketika Brigadir Aubertin Walter Sothern Mallaby dipersamakan sebagai “Belanda” yang mau menjajah kembali dan karenanya harus dibunuh. Tentu, kematian Mallaby tidak serta merta menjadi tolok ukur bahwa revolusi fisik sepenuhnya bernuansa intoleran terhadap orang Belanda secara keseluruhan. Dua sosok desertir, Johannes Cornelis Princen dan Idjon Djanbi tak mungkin direken sebagai “Belanda jahat” itu tadi.
Sedangkan polarisasi politik hanyalah transfigurasi dari politik intoleran yang laku terjual di basis akar rumput. Dalam dekade 1920-an, faktor pembeda ialah warna kulit; tahun 1950-an faktor pembedanya warna partai pilihan. Perseteruan paling sengit dan mungkin melegenda tak lain dan tak bukan adalah palu arit (Partai Komunis Indonesia) lawan jagad lintang sanga (NU) dan lintang rembulan (Partai Masjumi). Dari parlemen hingga surat kabar partai, riuh-rendah di antara partai merah-hijau ini terasa hingga taraf desa. Tak pelak, rumah-rumah yang di terasnya memasang tampah merah menjadi haram untuk dikunjungi pendukung tampah hijau.
Lalu datanglah Dekret Presiden, susul-menyusul dalam waktu satu setengah bulan dengan “Manifesto Politik” yang berporos Undang-Undang Dasar 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin, dan kepribadian Indonesia. Polarisasi politik merah-hijau lantas menjadi reda dan akhirnya benar-benar padam ketika Partai Masjumi dinyatakan terlarang oleh pemerintah dengan dakwaan terlibat Permesta.
Lantas, apakah polarisasi politik mati begitu saja? Sama sekali tidak.
Justru dalam masa inilah, polarisasi politik menjadi senjata yang ampuh menggojlok siapa saja yang memiliki penafsiran yang berbeda terkait “Manifesto Politik” sebagai agen pendukung neokolonialisme, kolonialisme, imperialisme (nekolim); antek asing; bahkan yang paling seram: musuh Revolusi—ya, Revolusi dengan “R” besar. Kendati tidak dapat dipungkiri Indonesia telah dan hanya sekali meraih prominensi sebagai mercu suar Asia-Afrika dalam menentang praktik-praktik eksploitasi manusia oleh manusia, situasi intoleran menjadi ciri khas zaman yang karib disebut “Demokrasi Terpimpin” atau “Orde Lama” itu.
Eskalasi polarisasi politik mencapai tingkat tertinggi pada 1965. Setiap orang dapat tewas sia-sia hanya jika ujung jari seseorang menuding dadanya sambil berteriak, “PKI!” sebelum yang ditunjuk akhirnya digelandang militer untuk diinterogasi bahkan dibunuh. Sesudahnya, mantra “stabilitas dan pembangunan” memang nyata berhasil menekuk polarisasi politik di tingkat akar rumput, karena hegemoni militer-birokrasi Orde Baru menciptakan rantai kekuasaan yang telah menutup semua celah oposisi. Politik praktis adalah urusan elite; rakyat cukup diam menonton, sambil mengais rezeki dan taat membayar pajak.
Akan halnya pembalikan besar-besaran terjadi sesudah reformasi. Tumbuhnya kesadaran politik masyarakat yang dilibatkan langsung dalam proses elektoral, didukung dengan teknologi komunikasi yang canggih menjadikan masyarakat sipil sanggup melongok belakang pintu istana dan mengawasi parlemen, bahkan sebelum produk-produk kebijakan yang mereka buat diketok sah. Beberapa bulan lalu, misalnya, publik diberikan kesempatan sepuas-puasnya menarik saraf leher untuk meneriakkan penolakan maupun dukungan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja—sesuatu yang mustahil terjadi di masa Orde Baru berkuasa.
Lalu, sesudah politik praktis menjadi demikian terbuka dan mudah diakses tiap detik oleh masyarakat, mengapa elite kekuasaan masih terus-menerus memakai polarisasi dalam meraup suara dan dukungan?
Di sinilah persoalannya. Reformasi 1998 hanya sanggup mencari pengganti Soeharto, dan bukan bertujuan meruntuhkan konstruksi fundamental Orde Baru. Alhasil, warisan besar politik elitis pun diteruskan hingga hari ini, di mana politisi dan konglomerasi bekerja sama meratakan porsi kekuasaan. Karena wajah kekuasaan yang demikian itu, peran rakyat dibuat nyaris nihil di dalam pengambilan kebijakan strategis. Satu-satunya fungsi rakyat adalah memberi restu setiap lima tahun lewat kertas suara untuk melanggengkan kekuasaan.
Dan bagaimana cara membujuk rakyat bersedia memberikan restu itu? Polarisasi menjadi resep yang tak pernah gagal. Strategi memecah-belah sesama rakyat menjadi solusi vital agar manipulasi kekuasaan menjadi tak disadari. Partisipasi rakyat melalui pemilihan umum diklaim merupakan kontribusi terbesar bagi bangsa dan negara. Karena itu tidak perlu kita herankan, mengapa Pemilihan Kepala Daerah 2020 lalu tetap dikebut, meski tentangan terhadapnya juga muncul begitu besar.
Siapa sesungguhnya pemecah belah itu? Kita sudah tahu sendiri. Mantan menteri kelautan kita bahkan sedang berkonflik dengan salah satu agennya. Sebagai agen pemecah belah, ia amat lihai memainkan posisi korban yang teraniaya, diserang, dan hendak dijatuhkan. Celakanya, kita tidak merasa sedang dipecah-belah dan justru memuji sikap memecah belah itu.
Segelintir orang merasa bangga diidentifikasi “cebong”—sikap mendukung dan memuji pemerintah dan kebijakannya tanpa kecuali. “Cebong” dengan gagah menuding siapa saja yang mengkritik dan menalar kebijakan pemerintah sebagai “kadal gurun”. “Kadal gurun” lantang menyerapahi “cebong” sebagai penyambung lidah penguasa. Juga “cebong” berhasil mengumbar syakwasangka tentang “kadal gurun” yang dibayar segelintir pihak untuk menjatuhkan reputasi pemerintah.
Apakah yang dapat dipelajari dari polarisasi “cebong” dan “kadal gurun” ini? Salahkah jika kita memihak pemerintah yang konon dipimpin “orang baik” ini? Atau kelirukah saya jika dalam kapasitas warga negara mengkritik pemerintah yang konon demokratis ini?
Persepsi benar-salah bagi saya tak akan menjawab dan menemukan akar masalah secara jernih dan jujur. Tetapi yang jelas, dengan bertahan pada polarisasi “cebong” dan “kadal gurun”, kita jangan berharap akan datangnya “Indonesia Emas 2045”. Terjebak dalam polarisasi politik untuk melanggengkan manipulasi yang memanfaatkan kelengahan rakyat, tidak kurang menjadi tanda kemacetan selama 60 tahun. Dengan sikap politik yang dikotomis dan mati-matian (cinta mati-matian dan benci mati-matian), sadar atau tidak, kita mundur ke alam demokrasi 60 tahun lalu. Macet selama 60 tahun ini kiranya menjadi alasan mengapa rakyat gagal menyusun sebuah persatuan, namun merasa nyaman terjebak dalam “persatean”.
Tentu ini bukan kegelisahan saya sebagai pelajar yang diklaim “generasi Indonesia Emas”. Kegelisahan saya terletak dalam masalah kontekstual yang lebih besar dan mondial: perubahan iklim yang radikal, rusaknya ekosistem hutan dan laut, hingga cadangan bahan bakar fosil yang akan habis dalam waktu dekat.
Untuk menghadapi itu generasi saya kini terjebak antara cita-cita “Indonesia Emas 2045” dengan situasi masa kini. Pertanyaan yang masih mengganjal, “Apa mungkin Indonesia bertahan sampai 2045 jika masyarakat terus terpolarisasi, mudah tergiring opininya oleh agen-agen pemecah belah, serta miskin visi perubahan radikal sehingga hanya mengikuti kehendak modal multinasional dan investor?”
Kemacetan 60 tahun dalam ruang demokrasi kita agaknya sudah sampai pada titik tinggi yang benar-benar membuat situasi pengap. Konsolidasi kekuasaan yang memecah belah rakyat amatlah membutuhkan katarsis berupa oposisi yang berkualitas. Sayang, rakyat yang terpecah-belah gagal merumuskan aspirasinya sendiri, sehingga sirkus kekuasaan mendapatkan angin di buritan untuk melancarkan kepentingan golongannya sendiri. Kalau memilih bertahan, tak usah berharap generasi “Indonesia Emas”, karena yang membesarkan kami hanyalah generasi kaleng rombeng.
Kontributor lepas dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap di Tangerang Selatan, Banten.