Tumbangnya rezim otoritarianisme Soeharto tahun 1998, tidak terlepas dari gerakan sosialmasyarakat bawah yang berusaha menumbangkan suatu rezim yang sangat oligarkis. Sistem politik, ekonomi dan pembangunan mulai ditata kembali dan diarahkan bagikepentingan masyarakat.
Reformasi telah tiba. Demokrasi mengalami transisi yang luarbiasa, dimana kita melihat pers yang bebas, partai politik yang mulai semarak, organisasi masyarakat sipil yang mulai nampak dan tentunya kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat yang semakin terbuka. Dalam pada itu, kita mengamati bagaimana pemuda terlibat memperjuangkan demokrasi, karena merasa telah muak dan risih terhadap rezim Soeharto yang sangat berwatak kapitalis.
Tentu saja jika diamati, demokrasi dalam pemaknaan yang lebih luas, memiliki keterkaitan dengan pemuda. Di Indonesia hal ini sangat nampak, dimana perjuangan menolak revisi Undang-Undang KPK dan Pengesahan Undang-Undang Omnibus Law adalah contoh nyata dari usaha memperjuangkan demokrasi, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, perlu dicatat bahwa, pasca runtuhnya sistem otoriter Soeharto, gelombang demokratisasi justru tidak tumbuh secara signifikan.
Meskipun terjadi penolakan yang massif dari elemen masyarakat, tetap saja pemerintah mensahkan revisi UU KPK dan UU Omnibus Law. Demokrasi telah dibajak untuk kepentingan oligarki. Apa yang membuat hal demikian semakin nampak belakangan ini ialah, menurut saya, salah satunya kehadiran pemuda belum begitu massif dan gelombang aksi masih terbatas. Singkatnya, gerakkan pemuda masih sifatnya momentum.
Jika ditelisik lebih dekat, sebetulnya pemuda dan demokrasi adalah bagian yang tidak terpisahkan. Demokrasi membuka kesempatan bagi semua pihak untuk ambil bagian menyuarakan pendapat serta terlibat dalam sistem politik. Di sana, pemuda terlibat, mulai dari membicarakan politik, ekonomi, pembangunan, pendidikan dan kesejahteraan bagi kepentingan masyarakat. Dalam konteks itu, pemuda harus berani tampil sebagai garda paling depan memperjuangkan kepentingan masyarakat sebagai kelompok yang selama ini tersisihkan dari elit politik.
Harus diingat pula, keterlibatan pemuda dalam gerakkan-gerakkan pematangan demokrasi tidak memiliki nuansa politis. Bahkan, embel-embel politis yang mengekori pemuda harus disingkirkan, sebab pemuda berjuang dengan landasan idealisme. Mengutip Tan Malaka, idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh pemuda. Idealisme adalah jalan penuntun bak obor yang menerangi jalan di suatu yang gelap.
Hal demikian menurut saya penting, sebab, jika kita amati, demokrasi pasca otoriter semakin membuka kran bagi konsolidasi oligarki untuk semakin mengukuhkan agenda kepentingan bisnis dan politik mereka. Hal demikian tentu membutuhkan suatu perlawanan yang massif, demonstrasi jalanan yang besar dan kekuatan gerakkan yang tidak mudah tumbang. Sebagaimana meminjam kalimat Aspinall (2014), gerakkan sosial dari bawah, tentu sangat tepat dalam rangka membentuk satu kekuatan menumbangkan oligarki.
Dalam konteks demikian, sebagaimana Robison dan Hadiz (2014) mengemukkan, revolusi sosial dan politik menyeluruh merupakan jalan terakhir yang mampu mematahkan siklus oligarki demi terciptanya tertib sosial di dalam masyarakat. Pada tingkat demikian, kehadiran pemuda dalam gelanggang politik ditengah perseteruan sosial menjadi semakin nyata apabila pemuda mampu melakukan perlawanan. Dengan demikian, sudah semakin jelas, apabila pertautan demokrasi dan pelibatan pemuda merupakan elemen penting yang di dalamnya mampu menciptakan tatanan yang demokratis.
Jika diamati, demokrasi sebetulnya membutuhkan apa yang disebut sebagai ‘pikiran alternatif’ yang di dalamnya semua pihak mampu terlibat untuk menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Pikiran alternatif itu sebenarnya menggambarkan bahwa tidak ada yang mendominasi serta yang disubordinasikan. Karena itu, ruang demokrasi sebagai iklim untuk menciptakan pikiran alternatif, hemat saya, harus senantiasa tetap dijaga. Pemuda sebagai elemen penting mesti menyadari soal ini agar pikiran alternatif pemuda terhitung di dalam tatanan demokrasi.
Kesadaran Kolektif
Di tengah ancaman regresi gerakkan pemuda, kesadaran kolektif menjadi penting dan merupakan pilihan yang tepat yang musti diambil dalam rangka membangun dan membentuk gerakkan yang koheren dengan semangat pemuda. Kesadaran kolektif, merujuk pada pilihan sikap yang di dalamnya pemuda terlibat aktif menyuarakan tuntutan-tuntutan masyarakat akar rumput (grass root society) yang belakangan ini termarjinalkan.
Di sisi lain, kesadaran kolektif lahir dari suatu kondisi dimana sistem politik, agenda kebijakan, dan kesejahteraan masyarakat kelas bawah dicengkram oleh kekuatan politik kelas atas yang semakin ambisius, munafik, dan dipenuhi naluri menguasai. Tanpa ditopang dengan dilandasi kesadaran kolektif, hemat saya, gerakkan pemuda di masa depan akan sulit merangkul gerakkan-gerakkan lain yang memiliki misi bersama. Melainkan, justru gerakkan pemuda, sangat mungkin akan terjerat kedalam polarisasi gerakkan.
Di mana, setiap gerakkan mudah dibengkokkan dan bahkan dipolitisasi kedalam gerakkan tunggal dan kaku demi kepentingan parsial. Untuk itu, kesadaran kolektif sebagai suatu pilihan sikap dalam melakukan perlawanan sangat penting. Tanpa hal tersebut, hemat saya, gerakkan pemuda mudah ditunggangi dengan manuver gerakkan lain. Bangkitnya gerakkan pemuda atas rezim yang korup, merupakan bentuk kesadaran paling dalam merawat iklim demokrasi.
Anggota PMKRI Cabang Malang