Transformasi Penjajahan di Indonesia dalam Novel Orang-Orang Oetimu5 min read

Minggu ini saya merampungkan beberapa target membaca buku saya. Salah satunya, saya telah merampungkan novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018. Yup anda betul, judulnya Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi. Anda boleh menghardik saya akibat telat nya pembacaan akan novel tersebut yang booming sekitar tahun 2019. Tapi bagi saya pribadi, sebuah novel epik tidaklah dinilai dari ke-booming-annya, melainkan relevansinya yang melampaui kesaatinian maupun zaman-zaman berikutnya.

Membaca Orang-Orang Oetimu berarti membaca kilas balik sebuah zaman dimana Indonesia masih sangat prematur memakai baju demokrasi. Setting yang dibangun yakni menjelangnya sebuah keruntuhan rezim pemerintahan paling lama di Indonesia, di sebuah daerah Nusa Tenggara Timur, daerah Timor, bernama Oetimu. Kampung tersebut memiliki sejarah yang amat panjang berkaitan dengan “penjajahan”, mulai dari Portugis, Belanda, Jepang, sampai Indonesia.

Tentu saya tidak akan mengulas novel tersebut menggunakan sebuah teori kritik sastra, karena sudah pasti akan banyak blog yang berjejer di google jika anda mengetikkan keywords tersebut. Namun saya akan mengulas pandangan pribadi, entah itu bisa dikategorikan sebuah kritik sastra atau tidak, tentang pandangan seorang warga negara yang pendidikan sejarahnya dipenuhi oleh kisah tragis bangsanya yang dijajah oleh tentara-tentara kumpeni imperialis.

Begini, kita tahu bahwa pendidikan sejarah kita penuh akan kisah-kisah tragis perjuangan pahlawan untuk memerdekakan negara Indonesia dari penjajahan-penjajahan, baik yang dilakukan oleh negara barat maupun timur. Namun, saya tidak pernah tahu, jika negara yang dahulu pernah dijajah oleh negara lain, pernah menjajah daerahnya sendiri.

Tentu term menjajah disini bukan majas, melainkan makna harfiah. Betul, menjajah seperti Belanda menjajah kita dulu. Dan saya menemukan fakta tersebut setelah melihat kilas fiksi nya pada novel Orang-Orang Oetimu ini. Tentunya sebagai seorang yang dicekoki pula dengan narasi nasionalisme awalnya akan menilai bahwa tindakan represif aparat negara macam TNI atas orang-orang Timor merupakan bentuk tindakan mengamankan negara. Namun setelah logika tersebut dibalik, saya menemukan perasaan yang mengejutkan.

Kita tau jika kemerdekaan merupakan suatu hal yang didambakan oleh sebuah negara atau daerah yang diduduki negara lain. Hal ini lumrah, karena kebebasan dari keterkungkungan merupakan fitrah makhluk hidup, manusia maupun binatang. Kemerdekaan ini pada akhirnya, jika tercapai, akan dipertahankan mati-matian jika sudah tercapai.

Timor Timur merupakan salah satunya. Kala itu, daerah tersebut dipengaruhi oleh tiga faksi politik, UDT yang menghendaki penyatuan dengan portugal, Fretilin yang menghendaki kemerdekaan penuh rakyat Timor Timur, dan Apodeti yang menginginkan pemyatuan dengan Indonesia. Ketiga faksi ini saling memperebutkan pengaruh di derah Timor Timur.

Sampai suatu ketika, Tentara Indonesia merangsek masuk ke dalam wilayah ini dan bekerja sama dengan Faksi Apodeti. Di titik ini lah, sebagai warga bekas negara jajahan melihat perlakuan tentara nya yang tidak manusiawi, menyebabkan hati yang menderu-deru. Apa sebab? Tak lain dan tak bukan karena perasaan kolonialisme ternyata telah merasuk pada diri aparat negara bekas jajahan sekalipun.

Atas nama membela negara dari aksi separatisme, jika dilihat dari sudut pandang Indonesia, hal tersebut akan dicap sebagai tindakan benar karena mengancam “keutuhan” NKRI, sekali lagi, “keutuhan”. Atas nama keutuhan ini lah kira nya para aparat negara tersebut menghalalkan tindakan asal “cabut nyawa” bagi setiap orang yang dianggap sebagai pembelot. Apalagi, isu komunisme yang menjadi momok utama pemerintahan orde baru kala itu dimainkan secara paksa kepada para pejuang kemerdekaan Timor Timur.

Justru hal ini unik karena dengan ditampilkannya gambaran represi tersebut, walaupun secara fiksi, sebagai warga negara saya melihat hal tersebut dengan hati yang masygul. Begini, sebagai seorang yang dicekoki oleh pandangan nasionalisme, seyogyanya seseorang tidak akan pernah menghendaki keterpecahan seuatu daerah, apalagi sampai pemisahan. Namun, jika kita mundur sedikit melihat dengan sudut pandang orang lokal, hal itu merupakan bentuk “paksaan” untuk menjadi warga negara Indonesia, karena mereka diperlakukan bukan seperti warga negara sendiri.

Dilema antara nasionalisme dan kemanusiaan ini lah kiranya yang menjadi latar belakang perasaan dilematis yang dialami. Pandangan politik yang didengungkan oleh orde baru ini menjadikan nasionalisme sebagai tembok kasar yang justru menghalangi kemerdekaan yang tercantum pada pembukaan UUD 1945 bikinan negara Indonesia sendiri, Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.

Dari novel tersebut juga, saya mengetahui jika kampanye makan nasi itu juga lahir dari pemaksaan “Jawanisasi” yang dilakukan orde baru pada masyarakat yang secara kultural tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Sebut saja daerah-daerah di timur Indonesia yang sebenarnya tidak pernah mengenal padi sebelumnya. Dengan kampanye “makanan beradab”, orde baru dengan tanpa memperhatikan kondisi sosio-kultural masyarakat setempat menjadikan nasi sebagai makanan pokok.

Selain melakukan penjajahan secara fisik, Indonesia pada masa itu juga melakukan penjajahan secara sosio-kultural. Penciptaan “dogma” makanan beradab ini yang sempat membuat saya sakit perut. Begini, dari mana pemerintahan orde baru memiliki indikator jika makanan nasi itu lebih beradab dari makanan pokok yang lain? Tentu hal tersebut merupakan akal-akalan pemerintah yang dulu pernah dianggap mempunyai prestasi sebagai “Lumbung Asia”.

Tak jauh berbeda dengan pemerintahan sekarang, program cetak sawah di daerah Timur Indonesia juga menimbulkan konflik sosio-kultural yang sama. Program percetakan sawah di papua misalnya, pemerintah dengan tidak arif menutup mata bahwa orang papua sendiri sebenarnya tidak menjadikan nasi sebagai makanan pokok. Lantas, untuk siapa cetakan sawah yang luasnya ribuan hektar yang direncanakan di Papua? Siapa lagi kalo bukan memenuhi perut-perut manusia di tanah jawa dan sekitarnya yang populasinya membludak.

Perihal “Jawanisasi”, novel ini banyak mengandung sindiran bernada satir pada konsep penyeragaman itu. Sampai-sampai, pada satu adegan di novel tersebut, disebutkan jika apa-apa yang terjadi di jawa akan menimbulkan bencana di daerah lain. Dalam novel ini juga dilakukan penggambaran secara satir bagaimana sentral nya pulau jawa, dengan demikian ia lebih diemaskan ketimbang daerah lain, apalagi jika dibandingkan dengan daerah Timor yang kecil itu, misalnya.

Novel ini wajib dibaca oleh para orang-orang yang selain gandrung akan sastra, juga gandrung akan antropologi. Selain itu, novel yang sarat akan sejarah di suatu daerah ini menunjukan bahwa novel bernada etnografis mengalami puncaknya di tahun-tahun ini, seperti pemenang sayembara novel DKJ lainnya yakni Aib dan Nasib karya Minanto yang menggambarkan wilayah perkampungan Tegalurung di kawasan Indramayu dan novel Burung Kayu karya Niduparas Erlang yang menggambarkan kebudayaan Minahasa. Terakhir, pembacaan atas novel ini dapat dilakukan sebagai bentuk memperluas pengetahuan atas sejarah yang terjadi disuatu daerah. Serta, membuka mata bagaimana kondisi daerah tersebut ketika masa-masa reformasi. Biasanya, selalu yang ditonjolkan ialah sejarah yang terjadi di pulau Jawa atau Sumatera saja, namun tidak dengan daerah lainnya. Demikian, sekiranya dengan bertambahnya wawasan tersebut dapa memperluas sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan.

Mahasiswa Sastra Inggris UIN Malang yang berdomilisi di Bekasi, Jawa Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like