Perempuan, Solidaritas Kelompok dan Konsolidasi Gerakkan5 min read

Seorang Perempuan selalu mudah dipengaruhi dengan diberi puji-pujian mengenai penampilannya daripada mengenai jalan pikirannya (Simone De Beauvoir; 1908 – 1986). Kalimat ini, hemat saya, sangat menggelitik sekaligus provokatif. Beauvoir sadar betul terhadap posisi perempuan pada masa-masa itu.

Perempuan selalu mendapatkan kedudukan yang jauh lebih rendah, jika tidak mengatakan terbelakang. Kondisi demikian dipengaruhi dari beragam faktor, seperti budaya, lingkungan sosial, pendidikan dan aspek-aspek lain yang turut mempengaruhi kedudukan perempuan dalam ruang sosial.

Hari-hari ini, ditengah kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi, perkembangan dan dinamika sosial di masyarakat mengalami banyak perubahan, tak terkecuali kedudukan perempuan. Jika pada masa-masa awal sebelum kebangkitan gerakkan feminis di Eropa, kedudukan perempuan rentan dengan kekerasan bahkan terus mengalami marginalisasi sosial, hari ini posisi perempuan sedikit mengalami perubahan.

Meskipun di lain tempat, perempuan selalu mengalami posisi di ruang sosial sebagai objek, bukan dipahami sebagai subjek yang memiliki arti penting terhadap kemajuan. Kondisi demikian tidak saja mengakibatkan perempuan terdegradasi, tetapi akses mereka terhadap ruang-ruang politik, ekonomi, pendidikan, boleh dibilang mengalami hambatan.

Akses ke ruang-ruang seperti itu sebetulnya mendorong pelibatan perempuan lebih banyak lagi. Alih-alih masyarakat konservatif justru melabrak ruang-ruang tersebut dan sembari mempolitisasi budaya (patriarki) sebagai budaya yang harus dipatuhi. Di sana kita melihat sebuah masyarakat yang pada dirinya sendiri sedang mencoba menginklusi pihak lain (perempuan) kedalam norma budaya, sementara pada tempat lain, mereka mengekslusi keberadaan perempuan dari ruang sosial mereka.

Inilah gambaran masyarakat yang berwatak konservatif dan dipenuhi dengan segala macam penindasan didalamnya terhadap perempuan. Penindasan itu tidak saja mengakibatkan perempuan semakin terbelakang, tetapi menjadi semakin tidak bergairah untuk menuntun mereka pada jalan dan pikiran tentang perubahan.

Sekali lagi, yang hendak saya katakan, masyarakat kita belum mampu melihat dan melabrak pikiran mereka sendiri yang terlalu konservatif dengan memahami keberadaan perempuan. Namun, kita tahu, bahwa pikiran masyarakat konservatif tidak sejauh itu. Di dalam masyarakat dengan pikiran semacam ini, justru yang dibangun ialah suatu tembok raksasa dengan mendemarkasi suatu garis antara keberadaan perempuan dan laki-laki.

Tembok ini semakin kokoh dan kuat, ketika dalam kondisi tertentu mereka semakin ditopang dengan kultur yang mensyaratkan perempuan harus patuh dan tunduk pada keputusan, apapun wujud dan bentuknya. Sementara pada lain tempat, perempuan semakin lemah akan kondisi yang mereka alami, persisis disinilah sebetulnya tembok itu semakin kokoh dalam masyarakat itu.

Bahkan tembok raksasa itu bisa kita periksa dengan seksama di berbagai aspek dan ruang sosial, politik, ekonomi, pendidikan. Di ruang semacam itu, justru saya menemukan bahwa perempuan belum sepenuhnya berada pada posisi dimana mereka terlibat aktif. Agenda kebijakan publik, misalnya, jika kita kritisi, sebetulnya belum sepenuhnya mengakomodasikan kepentingan perempuan. Sebagai misal, kebijakan partisipasi minimal 30% representasi perempuan dalam politik.

Kebijakan ini sedari awal, hemat saya, sangat bermasalah, dimana sejauh ini belum ada upaya bersama mendorong regulasi ini diterapkan secara serius dan massif. Ini menandakan ada inkonsistensi yang sebetulnya mengakar dalam masyarakat terhadap kedudukan perempuan. Lebih jauh, implikasi dari ketidak-seriusan ini dapat kita temukan dalam proses agenda kebijakan publik yang didesain oleh pikiran-pikiran laki-laki.

Solidaritas Kelompok

Masalah yang dihadapi perempuan sangat kompleks. Meskipun kita sudah dan sering mendiskusikan permasalahan tersebut, tetapi sejauh ini masalah perempuan terus menguat bahkan seiring dengan perkembangan tegnologi. Meskipun kekerasan terhadap perempuan selalu berubah watak, tetapi kekerasan itu menyimpan trauma psikologis yang sangat mendalam terhadap perempuan.

Trauma psikologis ini tidak saja mengakibatkan perempuan mengalami penindasan dan marginalisasi sosial, tetapi ada hal yang lebih besar yang justru mengakibatkan perempuan tidak mampu melakukan perubahan terhadap lingkungan sosial mereka, yakni kurang bahkan tidak ada dukungan sama sekali terhadap gerakkan perempuan, tidak ada wadah yang membentuk mereka serta solidaritas diantara perempuan yang tercerai-berai.

Saya akan membahas ketiga poin ini secara ringkas. Pertama, semakin kurang bahkan tidak ada dukungan terhadap gerakkan perempuan, hemat saya, semakin perempuan mengalami marginalisasi sosial dan terus terekslusi dari wilayah sosial. Dukungan dari luar terhadap gerakkan perempuan tidak saja memberikan semangat bagi gerakkan perempuan, tetapi mendorong pelibatan perempuan untuk memahami keberadaan mereka. Sampai disini, yang hendak saya katakan, bahwa tanpa adanya dukungan bagi gerakkan perempuan, selama itu pula gerakkan perempuan menuju pembaharuan dan perubahan hanya imajinasi.

Kedua, tidak ada wadah yang membentuk, mengorganisir dan menuntun gerakkan dan pikiran mereka. Ini sangat bermasalah. Hemat saya, wadah (perkumpulan perempuan) sangat penting bagi terciptanya kemandirian gerakkan perempuan. Gerakkan tanpa ditopang dengan adanya wadah yang terorganisir, hanya akan menghasilkan suatu gerakkan yang mudah ditunggangi kepentingan politis yang justru melemahkan dan menghancurkan gerakkan itu sendiri.

Ketiga, meskipun dua konsep diatas disiapkan secara matang, namun jika pada diri dan kelompok perempuan tidak tercipta solidaritas dan ikatan yang kukuh, gerakkan perempuan tidak akan mungkin berjalan. Atau kalau berjalan palingan mandeg ditengah jalan. Untuk itu, hemat saya, perempuan harus mampu membangun satu ikatan kolektif yang mencirikan gerakkan mereka dengan mengusung agenda partisipasi, baik dilevel bawah maupun ditingkat yang lebih luas.

Konsolidasi Gerakkan

Agenda kebijakan publik yang tidak mengakomodir kelompok perempuan, sejatinya harus dilawan. Bentuk kebijakan, apapun itu, tidak boleh mendegradasi perempuan, melainkan mendorong pelibatan mereka dan paling tidak pro-perempuan. Untuk mencapai itu, selain perempuan harus menyadari akan diri dan posisi mereka, yang paling penting yakni ada semacam konsolidasi gerakkan yang dibentuk dan dibangun dalam rangka melibatkan mereka pada aspek-aspek kebijakan.

Bagi saya, langkah semacam ini cukup memberikan pengaruh terhadap agenda kebijakan. Sehingga kebijakan tidak bias laki-laki, tetapi memenuhi kepentingan perempuan di satu sisi dan kemanfaatan bagi mereka. Kemanfaatan itulah yang hendak dicapai dengan mendorong keterlibatan perempuan.  

Konsolidasi gerakkan harus dibangun dari dalam diri mereka sendiri yang ditopang melalui solidaritas kelompok, dukungan dari luar dan ada wadah yang mengorganisir mereka. Dalam kerangka itulah, hemat saya, konsolidasi gerakkan yang hendak dibangun tidak mudah ditunggangi kepentingan politis, tidak mudah dihancurkan, apalagi mengalami penolakan. Melainkan justru mendorong semangat lebih terhadap perempuan untuk ikut mendukung rangkaian agenda kebijakan serta menentang setiap agenda itu jika melemahkan kedudukan mereka.

Pada akhirnya, perempuan harus bergerak. Mengutip Rosa Luxemburg (1871 – 1919), mereka yang tidak bergerak, tidak merasakan kalau mereka sedang dirantai. Hemat saya, persis pada poin inilah perempuan harus bergerak dan membangun aliansi bersama dengan mengusung satu misi bersama yakni kesejahteraan perempuan. Ini bisa dilakukan jika perempuan mau bergerak melalui solidaritas kelompok dan konsolidasi gerakkan yang mereka bangun. Salam perjuangan.

Share