PDB: ‘Mitos’ Kesejahteraan yang Terus Dilembagakan6 min read

Produk Domestik Bruto (PDB) begitu mendominasi kebijakan-kebijakan lembaga keuangan internasional, bahkan benar-benar mengendalikan setiap segi dari tata kelola perekonomian dan perpolitakan. Kita tahu, dalam beberapa dekade terakhir, kinerja PDB telah menjadi  prioritas nomor satu di hampir (jika tidak semua) negara di dunia. Tentu kita bisa mempertanyakan realitas tersebut, bagaimana latar belakang sejarah kemunculan PDB yang kemudian seakan menjadi angka-angka yang dianggap ‘ajaib’, mujarab hingga begitu dominan? Dan adakah permasalahan-permasalahan dari PDB tersebut?

Seorang profesor ekonomi-politik dari University of Pretoria, yakni Lorenzo Fioramonti berusaha memberikan jawabannya melalui buku yang ia tulis, yakni Gross Domestic Problem: The Politics Behind the World’s Most Powerful Number (2013), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Problem Domestik Bruto: Sejarah dan Realitas Politik di Balik Angka Pertumbuhan Ekonomi (2019).

Dalam studinya tersebut, Lorenzo Fioramonti menjelaskan bahwa meskipun upaya pertama untuk mengukur pendapatan nasional sudah dilakukan sejak abad ke-17 di Irlandia, sistem neraca nasional saat ini ternyata punya sejarah yang jauh lebih baru. Produk Domestik Bruto yang semula disebut produk nasional bruto, diciptakan pada abad ke-20 semasa krisis ekonomi yang hebat. Setelah itu, pecah perang dunia ke-2, di mana angka-angka PDB turut menjadi ‘mesin perang’ yang ampuh bagi Amerika Serikat (hlm.21-22).

Pasca berakhirnya perang dunia ke-2, politik global memasuki era yang disebut sebagai ‘perang dingin’ yang melibatkan pertarungan dua kekuataan utama, yakni Amerika Serikat dan Soviet. Pada puncak perang dingin ini, Lorenzo Fioramonti mengemukakan bahwa kinerja ekonomi menjadi bumbu penting dalam kontestasi politik global di antara dua negara tersebut (hlm.44).

Soviet sendiri mendasarkan sistem kalkulasi mereka pada dua indikator utama, yakni produk sosial bruto dan produk national neto. Oleh karena itu, antara blok Amerika dan blok Soviet mempunyai sistem kalkulasi ekonomi yang berbeda (hlm.42).

Fioramonti menerangkan, bahwa pada 1982, Komite Ekonomi Gabungan Kongres AS menerbitkan buku yang disusun CIA berjudul Measures of Economic Growth and Development in the USSR (1950-1980), yang intinya berisi mengenai dugaan-dugaan bahwa sebenarnya perekonimian Soviet telah mengalami pelambatan signifikan dalam pertumbuhan ekonomi (hlm.48).

Pada pertengahan 1980-an, tuduhan-tuduhan CIA (yang entah benar atau tidak) mengenai neraca nasional Soviet mulai membuahkan hasil. Pemerintahan Soviet di bawah Mikhail Gorbachev, memperkenalkan serangkaian reformasi komprehensif untuk mendorong keterbukaan dalam urusan publik, termasuk dalam soal statitistik resmi. Sebagian akibat dari terbitnya laporan CIA tersebut, pertarungan pun pecah di kalangan elite soviet (hlm.49).

Akibat begitu banyaknya kritikan, Uni Soviet pun memutuskan untuk meninggalkan metodologi yang mereka terapkan sebelumnya dan mulai mengumpulkan statistik PNB pada 1988. CIA pun berperan penting dalam memfasilitasi proses transfer pengetahuan soal PNB tersebut. Pada Mei 1989, Kantor Analisis Soviet CIA menggelar seminar yang berfokus pada persiapan transisi Soviet menuju perhitungan PNB secara penuh (hlm.50).

Menjadi catatan penting, beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 10 November, ribuan rakyat Jerman berkumpul di pintu penjagaan utama yang memisahkan Berlin Timur dan Barat. Hanya dalam beberapa jam, “dinding” antara kapitalisme dan komunisme pun runtuh. Dua tahun kemudian, Uni Soviet bubar dan penguasa baru dengan bersemangat menyambut perekonomian pasar (hlm.51). Dengan kata lain, hal tersebut menandai berakhirnya perang dingin dan menguatkan posisi Amerika sebagai satu-satunya  hegemon terbesar di dunia.

Munculnya Amerika sebagai hegemon ini, jelas memungkinkan Amerika untuk mengekspor nilai-nilai yang sejalan dengan kepentingan Amerika ke negara-negara lain. Kita bisa meninjau misalnya studi William I. Robinson dalam studinya, yakni Promoting Polyarchy Globalization, US Intervention and Hegemony (1996), Robinson menjelaskan bahwa Amerika bahkan mengekspor ‘desain’ demokrasi yang sejalan dengan kepentingan pasar bebas kapitalis (hlm.55).

Sementara itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Fioramonti, bahwa PDB sendiri sejalan dengan kepentingan pasar bebas. Oleh karena itu, berdasarkan pemaparan di atas, tentu kita akan memahami mengapa kemudian PDB begitu digdaya dan mendominasi debat publik dan media.

Kritik-kritik Terhadap PDB

Berdasarkan catatan Fioramonti, Simon Kuznetz adalah orang yang bertanggung jawab menyusun neraca nasional pertama Amerika Serikat. Berdasarkan pemaparan Kuznetz sendiri, Fioramonti memaparkan ada tiga cara untuk mengukur PDB. Pertama, PDB dapat dihitung sebagai jumlah dari seluruh pengeluaran (atau pembelian) yang dilakukan oleh pemakai barang, cara ini dikenal dengan pendekatan pengeluaran. Kedua, mengingat bahwa harga pasar dari sebuah barang jadi atau jasa harus mencerminkan seluruh pendapatan yang didapat dan biaya yang dikeluarkan selama proses produksi, maka PDB dapat juga dihitung sebagai jumlah dari seluruh biaya tadi, cara ini dsebut dengan pendekatan pendapatan. Ketiga, PDB juga bisa diukur sebagai jumlah dari nilai tambah di setiap tahapan proses produksi, cara ini disebut dengan pendekatan nilai tambah (hlm.8-9).

Sejak diciptakan, PDB telah membentuk pemahaman kita mengenai kemajuan ekonomi. PDB menunjang dampak produksi industri (terutama industri-industri yang tingkat pencemarannya tinggi. PDB menyederhanakan kompleksitas sosial menjadi angka-angka yang kering, dan dengan itu, menggencarkan masyarakat pasar dengan mengabaikan kepentingan manusia, sosial dan ekologi (hlm.15).

PDB menghantarkan sebuah era kekayaan materi (paling tidak bagi sebagian orang dalam masyarakat industri) sembari menumbuhkan ketimpangan, pengurasan sumber daya alam, dan naiknya keresahan sosial (hlm.15).

Oleh sebab itu, sebenarnya usaha untuk “menggulingkan” PDB sudah banyak dilakukan sejak tahun 1970-an, termasuk diperjuangkan oleh para pakar ekonomi ekologi progresif, kelompok masyarakat sipil, dan sebagainya. Contohnya, pada 1980, ada sebuah usaha terpadu untuk mengintegrasikan data ekonomi makro, sosial dan lingkungan ke dalam sebuah ukuran kesejahteraan manusia yang komprehensif dilakukan oleh pakar ekonomi ekologi Herman Daly dan teolog John Cobb (hlm.106-113).

Usaha lainnya yang paling tersohor untuk menggugat hegemoni PDB, yakni wacana Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diinisiasi oleh Program Pembangunan PBB (UNDP) sejak 1990, yang menyatakan bahwa tujuan dasar pembangunan adalah untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menikmati hidup panjang, sehat, dan berdaya cipta (hlm.127).

Akan tetapi, mata dunia semakin terbuka lebar untuk mempertanyakan dan memikirkan ulang soal PDB, yakni ketika terjadi krisis kapitalisme global atau resesi besar-besaran pada 2008. Ditambah lagi, ada laporan dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang disponsori oleh PBB, yang menyebut bahwa ada peningkatan emisi gas rumah kaca d atmosfer secara berlipat ganda karena aktivitas manusia. IPCC pun memprediksi dunia berada dalam ancaman serius berkait iklim global (hlm.1-2).

Dalam laporan kerja Comission on the Measurement of Economic Performance and Social Progress (2009), yang diterjemahkan menjadi  Mengukur Kesejahteraan: Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur yang Tepat untuk Menilai Kemajuan (2011) yang dtulis oleh sebuah Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial (Joseph E. Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fitoussi) yang terbentuk atas inisiatif Presiden Prancis pada 2008, yakni Nicholaz Sarkozy, dikatakan bahwa sejak lama PDB merupakan satuan yang tidak memadai untuk menakar kesejahteraan dari waktu ke waktu, terutama yang terkait dengan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial, aspek-aspek yang sering disebut sebagai ‘keberlanjutan’ (hlm.6). Dengan demikian, maka dapat disimpulkan, PDB merupakan ‘mitos’ kemajuan ekonomi atau bahkan kesejahteraan yang terus dilembagakan. Penting untuk menjadi catatan kita bersama, bahwa naiknya pertumbuhan ekonomi berbasiskan angka-angka PDB, tidak menjadi sebuah jaminan terwujudnya keadilan sosial dan tereduksinya kesenjangan. Malahan, naiknya pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDB, bisa juga menandakan semakin parah terjadi kerusakan lingkungan, dan ancaman perubahan iklim yang mengkhawatirkan.

Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like