Local Strongman dalam Pilkades4 min read

Pemilihan Kepala Desa atau Pilkades merupakan istilah yang sudah lumrah didengar oleh masyarakat terutama bagi yang tinggal didaerah pedesaan. Pergantian tampuk kepeimpinan secara periodik akan membangun semangat masyarakat untuk mencari siapa pemimpin yang ideal untuk memajukan kesejahteraan masyarakat desa. Suka cita dalam menyambut pemimpin yang paling dekat dengan rakyatnya sangat terasa.

Pada musim kampanye, para calon kepala desa sudah jauh-jauh hari tebar pesona keseluruh penjuru desa dan berupaya menarik simpati masyarakat dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya adalah dengan bagi-bagi kaos, sembako, paket bantuan ataupun upaya memberdayakan masyarakat dan petani yang mayoritas penduduk desa bekerja disawah dan ladang. Tentu ini merupakan strategi yang sangat bagus apabila dikelola dengan baik dan dijadikan proggram unggulan.

Pemilihan kepala desa erat kaitannya dengan kehidupan pemerintahan desa yang nantinya menjadi motor penggerak kesejahteraan masyarakat di pedesaan ( UU no 6 tahun 2014). Pemerintahan desa merupakan struktur kekuasaan terdekat dengan masyarakat dalam sistem pemerintahan nasional. Hal ini menunjukan bahwa jika pemerintahan Desa berfungsi dengan baik, maka akan sangat terasa pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan diberbagai bidang di masyarakat.

Sebagai perwujudan demokrasi, sudah tentu dalam setiap tahapan pilkades akan sangat sarat dengan uatan-muatan politis. Berbagai brand dilekatkan pada tiap-tiap calon agar meyakinkan pemilih bahwa calon tersebut merupakan calon terbaik dimata publik. Dwijowijoto (2004) mengungkapkan bahwa “politics is about image and image is reality”. Hingga pada akhirnya citra akan menjadi sebuah faktor penentu daripada kenyataan itu sendiri. Personal branding merupakan identitas pribadi yang mempu menciptakan respon emosional terhadap orang lain mengenai kualitas dan nilai yang dimiliki orang tersebut.

Kontestasi politik lokal dewasa ini menjadi diskursus yang dikesampingkan karena banyak orang yang lebih memilih untuk mengamati problematika politik nasional dengan aktor-aktor yang lebih besar. Hingga pada akhirnya pemerintahan ditingkat bawah tidak berjalan dengan lancar karena pemerintah tidak bekerja serius untuk melayani rakyat sesuai janjinya, akan tetapi malah lebih melayani kepentingan sendiri, keluarga, relasi bisnis dan tim sukses yang telah mendukungnya.

Akibatnya dalam pelaksanaan pemerintah daerah akan tersandra dengan kehadiran local trongman yang berada diluar jalur kekuasaan formal. Kehadiran kekuasaan nonformal ini merupakan bentuk balas budi atas dukungan yang telah diberikan. Sebagai bentuk abuse of power, local strongman dapat mengintervensi birokrasi sehinga akan mengakibatkan pada  upaya memperkaya sekelompok orang yang berada dilingkaran kekuasaan secara berlebihan dan akan berpotensi merugikan dan mengorbankan kepentingan rakyat.

Pasca tumbangnya rezim otoriter, dan diberaukannya asas desentralisasi melalui otonomi daerah maka kemunculan local strongman sebagai aktor politik baru merupaan sebuah peristiwa yang tidak bisa diprediksi sebelumnya. Keuasaan yang berpindah dari pusat membuat orang-orang lokal memegang pengaruh besar yang disokong oleh beberapa kekuatan dibelakangnya.

Pelaku local strongman sangat beragam bisa dari golongan pengusaha, politisi, tokoh ormas bahkan pelaku kriminal dan preman dapat saling mendukung demi memenangkan pemilihan. Merebaknya hal tersebut dilandasi karena mahalnya modal politik, ongkos politik yang dikeluarkan oeh calon tentu akan dicari dengan cara mencari dukungan dari para pemilik modal dan juga usaha untuk mencari relasi seluas-luasnya agar memudahkan mensosialisasikan pesan-pesan kampanye.

Ketika caon yang diusung menang, maka para pendukung tidak akan segan untuk mengintervensi kehidupan pemerintahan desa sehingga munculah kekuatan politik nonformal. Kekuatan ini secara tidak langsung dapat menentukan proses pengambilan keputusan, pembagian jabatan serta pembagian tender proyek. Dalam kasus ini makan akan terjadi politik patron-klien, patron diartikan sebagai orang yang yang berukasa (pater:bapak) dan klien (pengikut).

Tunduknya kekuasaan formal ini diakibatkan karena adanya hubungan yang tidak sepadan namun saling membutuhkan. Patron sebagai individu yang muncul yang memppunyai kelebihan baik dibidang ekonomi, status, kekayaan  maupun pengaruh. Sementara klien merupakan individu yang sama sekali tidak memiliki kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh patron. Sehingga akan memunculkan golongan Badut, Bandit dan Bandar sebagai perwujudan orang yang dikendalikan, orang yang merampok dana dan pemilik modal.

Dinamika politik lokal ketika dijalankan secara baik maka akan mendorong kegiatan pelembagaan demokrasi, namun disisi lain telah melahirkan nonformal governance sebagai kekuatan yang anti demokrasi dimana dapat mendegradasi kekuatan formal governance. Akibatnya adalah pemerintahan akan menjadi korup dan merugikan banyak masyarakat sehingga posisi pemerintahan akan menjadi sangat rapuh dari kepercayaan masyarakat.

Jika melihat dari pendapatan desa yang semakin hari semakin dimanjakan dengan berbagai macam suplai dana untuk kemajuan pembangunan dapat tercermin dari kesejahteraan masyarakat didesa tersebut. Sehingga besarnya dana APBDesa digunakan semaksimal mungkkin untuk mendorong kemajuan desa. Namun jika kongkalikong terjadi antara pihak pemerintahan desa dengan kekuatan nonformmal maka akan terjadi penyimpangan penggunaan dana desa seperti di beberapa daerah.

Pada dasarnya, local strongman merupakan aktor lama yang masih memiliki kekuatan sumberdaya sosial, ekonomi dan politik. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk membendung fenomena local strongman diantaranya adalah :

  1. Penguatan reformasi birokrasi yang harus tetap dilakukan dari pusat sampai ke daerah.
  2. Pendidikan politik sebagai basis penguatan masyarakat sipil agar memunculkan daya kritis masyarakat dan sebagai perwujudan kekuatan check and balances
  3. Komitmen dalam mewujudkan good governance, clean government dan open government sehingga segala bentuk pengelolaan baik itu kekuangan dan birokrasi dapat diakses oleh masyarakat luas guna memunculkan transparansi dan medorong perbaikan sistem tata kerja.
  4. Penegakan hukum yang tidak tebang pilih. Penegakan hukum harus diterapkan sampai ke desa-desa tanpa memandang siapa yang salah sehingga akan mewujudkan bentuk equality before the law. Hal ini dapat dilakkukan melalui pihak-pihak terkait seperti pengadilan, kejaksaan serta kepolisian yang membentuk sentra layanan pengaduan terkait berbagai macam penyalahgunaan kekuasaan sampai ke desa-desa.

Mahasiswa Ilmu Politik dan kader magang organisasi Hijau-Hitam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like