Tentu bagi orang Jawa lagu yang berjudul “Holopis Kuntul Baris” bukan lagi menjadi asing ditelinga kita. Lagu tersebut menggambarkan tentang kekuatan kerjasama atau gotong royong di dalam menyelesaikan persoalan. Holopis kuntul baris memiliki nilai filosofi mendalam bagi siapapun ketika menghadapi masalah. Menurut perspektif filosofi Jawa lagu tersebut mengandung makna bahwa hanya dengan kerjasama atau gotong royong maka permasalahan yang terasa berat sekalipun akan menjadiCo ringan jika dihadapi bersama-sama. Kalimat holopis kuntul baris diucapkan pertama kali oleh Presiden Soekarno tahun 1960 di mana pada saat itu kata tersebut digunakan untuk membangkitkan semangat rakyat agar menyatu dalam membangun negeri. Melalui kalimat tersebut Soekarno berhasil menggerakkan seluruh komponen bangsa dan bersatu padu dalam menyelesaikan masalah bangsa yang tengah dihadapinya.
Berangkat dari filosofi Jawa tersebut nampaknya ada sesuatu yang hilang dari negeri ini. Kita tahu saat ini negeri ini tengah dilanda virus mematikan yakni pandemi COVID-19. Virus yang berasal dari Kota Wuhan Hubei China telah menjalar ke seluruh lini-lini kehidupan. Semenjak merebaknya pandemi COVID-19 dari awal Bulan Maret 2020 sampai saat ini Juli 2020 nampaknya orang yang terinfeksi virus COVID-19 semakin mengkhawatirkan. Betapa tidak? Dikutip dari laman covid19.go.id pada 23 Juli 2020 data secara global sudah ada 216 negara yang telah mengonfirmasi kasus positif semakin masif dengan angka kematian juga mengalami peningkatan. Sementara di Indonesia kasus positif sudah mencapai angka 91.751 orang dengan kasus meninggal sebanyak 4.459 dan yang dinyatakan sembuh sebesar 50.255 orang. Angka tersebut bersifat dinamis dan akan terus bertambah, sehingga perlu penaganan serius dan komprehensif dalam menangani pandemi COVID-19 ini.
Adakah sesuatu yang hilang dalam menghadapi pandemi COVID-19?
Jika kita amati secara seksama pemerintah nampaknya sudah bekerja keras dalam menangani pandemi COVID-19 yang tengah melanda negeri ini. Berbagai kebijakan sudah diputuskan dalam memotong mata rantai penyebaran pandemi COVID-19 ini. Mulai dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), gerakan belajar, bekerha dan beribadah dari rumah, menerapkan protocol kesehatan (menggunakan masker, menjauhi kerumunan, jaga jarak sosial dan fisik, sering mencuci tangan pakai sabun). Namun pada kenyataanya angka kasus terkonfirmasi di Indonesia setiap hari justru mengalami peningkatan orang yang terkonfirmasi positif COVID-19. Dikutip dari siaran pers yang dikemukakan oleh gugus tugas percepatan penanganan NCoV-17 Achmad Yurianto setidaknya setiap hari terjadi penambahan kasus rata-rata sekitar 1000 lebih. Mencermati data penambahan tersebut artinya penularan pandemi COVID-19 masih terus berlangsung di tengah-tengah masyarakat kita.
Menurut hemat saya ada sesuatu yang hilang jika membaca cara penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia. Nilai-nilai kegotong royongan atau kerja sama tidak berjalan semestinya di dalam menangani pandemi COVID-19. Permasalahan pandemi COVID-19 tidak hanya menjadi masalah pemerintah semata, akan tetapi semua pihak harus turut andil dalam menangani wabah pandemi COVID-19 yang melanda negeri ini. Melalui pendekatan Pentahelix maka persoalan pandemi COVID-19 harus melibatkan kerja sama lintas sektor yang baik. Secara keilmuan dalam pendekatan model pentahelix ini perlu melibatkan lima sektor di dalam menangani pandemi COVID-19. Kelima sektor pentahelix tersebut meliputi pemerintah (government), swasta (busissness), civil society (community), academic, dan media. Kaki-kaki dalam model pendekatan pentahelix tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dalam menangani pandemi COVID-19, karena pada dasarnya jika salah satu kaki tersebut hilang maka dapat dipastikan akan kesulitan dalam menangani pandemi COVID-19 di Indonesia. Oleh karena itu saya ingin mengatakan jika sampai saat ini harus diakui bahwa nilai-nilai kegotong royongan tersebut seolah-olah hilang dalam menangani pandemi COVID-19. Betapa tidak? Semua sektor lebih mementingkan egonya masing-masing sehingga implikasinya setiap harinya orang yang terkonfirmasi semakin bertambah banyak.
Coba mari kita lihat betapa egoisnya sektor-sektor tersebut. Pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang terjadi justru banyak pelanggaran yang terjadi. Pada peraturan PSBB yang diperbolehkan untuk tetap beroperasi hanya 8 sektor. Sektor yang diijinkan meliputi sektor kesehatan, energy, pangan, komunikasi, logistic, keuangan, sektor kebutuhan sehari-hari (retail), dan sektor industry strategis. Namun kasus yang terjadi masih banyak perusahaan-perusahaan di luar sektor tersebut yang tetap beroperasi di tengah-tengah pemberlakuan kebijakan PSBB. Hal tersebut mencerminkan bahwa mereka abai terhadap kebijakan yang tengah diberlakukan.
Selanjutnya, mari kita lihat keegoisan dari sektor media. Dikutip dari laman berita detik.com yang diterbitkan pada 18 April 2020 menurut Menteri Komunikasi dan Informatika selama pandemi COVID-19 mencatat setidaknya ada 554 isu penyebaran berita bohong dan 89 0rang dinyatakan sebagai tersangka. Jika kita berpikir rasional maka media seharusnya bertanggung jawab untuk mengontrol dan mengendalikan pemberitaan liar di tengah wabah pandemi COVID-19. Hadirnya hoaxs pada saat pandemi COVID-19 menurut saya bukanlah sesuatu yang wajar, karena saat banyak masyarakat yang mengalami kesulitas atas terjadinya pandemi COVID-19 justru diperkeruh dengan hadirnya hoaxs yang mebuat masyarakat menjadi panic, takut, dan akhirnya bisa melemahkan daya tahan imunitas masyarakat. Tentu ini jika terjadi pada saat pandemi COVID-19 sangat berbahya bukan?
Di sisi lain peran pemerintah, academic, dan civil society dalam keadaan pandemi COVID-19 sangat dibutuhkan masyarakat. Melalui pertimbangan pakar-pakar yang ada di dalam perguruan tinggi pemerintah secara jernih mengambil dan memutuskan kebijakan secara cepat dan tepat. Oleh karena itu kajian-kajian harus dilakukan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Selain itu, peran civil society dalam menghadapi pandemi COVID-19 juga sangat dibutuhkan. Banyak masyarakat-masyarakat yang terdampak mulai dari masyarakat miskin, masyarakat rentan, bahkan masyarakat inklusif. Mereka perlu diperhatikan secara serius lebih lebih di tengah pandemi COVID-19 mereka harus tetap dilayani secara optimal.
Saya yakin jika sikap kegotong royongan itu melekat kuat dalam lima sektor pentahelix maka dalam menangani pandemi COVID-19 yang tengah kita hadapi akan terasa lebih ringan. Perlu kita sadari bersama bahwa nilai-nilai kerjasama yang kita miliki nampaknya hilang dan tidak tercermin jika kita melihat cara-cara egois yang dilakukan masing masing sektor. Oleh karena itu kita harus berusaha mengembalikan nilai-nilai kegotong royongan yang hilang tersebut agar persoalan pandemi COVID-19 tidak semakin masif terjadi. Kolaborasi seluruh sektor tersebut menjadi kunci keberhasilan kita dalam memutus mata rantai penyebaran virus ini. Jika model pendekatan pentahelix tersebut benar-benar terlaksana dan saling berkolaborasi dengan baik maka saya orang yang sangat yakin jika wabah ini akan segera berakhir, karena dengan kekuatan pentahelix tersebut adalah senjata yang paling ampuh dalam menghadapi pandemi COVID-19 saat ini.
Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta