Kabar duka datang dari dunia sastra, seorang sastrawan legendaris Indonesia pak Sapardi Djoko Damono menghembuskan nafas terakhir. Kabar ini menjadi pembicaraan hangat beberapa hari ini, sekitar ribuan ucapan bela sungkawa mewarnai kolom media sosial atas kepergian pak Sapardi sang sastrawan legendaris. Banyak yang merasakan kehilangan atas kepergian pak Sapardi. Mulai dari penulis, sastrawan, hingga penikmat karya pak Sapardi dari semua kalangan. Begitu juga saya yang notabenenya menyukai karya sastra khususnya karya pak Sapardi, merasakan kehilangan atas kepergian sastrawan legend tersebut.
Ngomong-ngomong tentang karya pak Sapardi, kita pasti tak asing dengan buku yang berjudul “Hujan Bulan Juni”. Sebuah buku kumpulan puisi pak Sapardi sekitaran tahun 1989 di kemas rapi dalam buku tersebut. Terlebih puisi-puisi yang melegenda seperti hujan bulan juni , aku ingin, dan pada suatu hari nanti. Beberapa puisi tersebut yang menjadi favorit penikmat sastra dari semua kalangan hingga saat ini. Meskipun puisi tersebut di ciptakan di tahun 1989 namun karyanya abadi tak punah di telan zaman.
Dari pak Sapardi kita belajar, jatuh cinta di bulan juni dan patah hati di bulan juli. Karya pak Sapardi yang tercipta di bulan juni mampu membuat semua orang jatuh cinta seketika. Jatuh cinta akan karyanya yang luar biasa dan mampu mewarnai bulan juni walau sedang musim hujan. Namun jatuh cinta itu hanya sementara, setelah bulan juni berlalu kita merasakan patah hati tepat di bulan juli atas kepergian pak Sapardi sang sastrawan legendaris.
Puisi-puisi pak Sapardi kita di ajarkan untuk mencintai dengan sederhana. Mengajarkan kita terkhusus cowok-cowok zaman sekarang yang hobi memberikan harapan palsu kepada perempuan, atau saat ini istilahnya “Fakboy”. Seharusnya para fakboy belajar untuk mencintai dengan sederhana ala pak Sapardi, bukan hobinya bilang sayang eh ujung-ujungnya menghilang. Perkara perasaan bukanlah hal main-main, perasaan adalah bagaimana dua ikatan berkomitmen dan tabah seperti hujan di bulan juni. Kira-kira seperti itu pelajaran yang bisa kita dapatkan dari pak Sapardi.
Pak Sapardi juga mengajarkan bahwa jasad manusia pasti akan mati tapi karya akan tetap abadi. Begitulah yang di ajarkan pak Sapardi di dalam puisinya yang berjudul “Pada suatu hari nanti”. Di dalam puisi tersebut mengajarkan kita untuk terus berkarya khususnya dalam menulis. Mungkin jasad kita akan mati di suatu hari nanti, tapi karya kita melalui bait-bait yang kita tulis dalam puisi akan tetap abadi.
Dari pak Sapardi kita juga belajar untuk tetap mencintai puisi bagi kita yang menyukai sastra. Bagi pak Sapardi sendiri, puisi adalah ibadah sudah wajib kita mencintai dan tetap menulis bait-bait aksara. Bagi saya sendiri, pak Sapardi adalah sosok sastrawan yang melegenda dengan karyanya yang abadi. Karya-karya pak Sapardi tetap akan ada walau jasad pak Sapardi telah tiada.
Melalui karya-karya pak Sapardi yang abadi, banyak pelajaran yang bisa kita dapatkan. Baik itu pelajaran untuk tetap tabah seperti hujan bulan juni, tak memberikan harapan palsu dan tetap mencintai dengan sederhana, serta tetap berkarya untuk suatu hari nanti. Itulah yang membuat saya kagum akan sosok pak Sapardi, bait-bait puisinya yang melegenda memiliki pelajaran yang berharga.
Kini sosok pak Sapardi telah pergi, namun karyanya tetap akan abadi. Karya-karyanya akan tetap ada walau jasad pak Sapardi telah tiada. Mari kita panjatkan doa untuk kepergian pak Sapardi agar arwah beliau tenang dan dapat di terima di sisi tuhan yang maha esa. Sosok pak Sapardi adalah sosok yang abadi melalui karya-karyanya yang masih bertahan hingga kini. Dalam mencintai sastra, kita harus mengambil pelajaran dari pak Sapardi yang menganggap puisi itu ibadah. Tetap mencintai dengan sederhana dan tetap tabah seperti hujan di bulan juni. Selamat jalan pak Sapardi, karyamu tetap abadi. Kami kirim doa dari sini teruntuk karyamu yang indah tak punah di telan zaman. Semoga tenang di alam sana, dari kami yang mencintaimu melalui karya-karyamu.
Seseorang yang ingin menjadi manusia merdeka.