Politik Dinasti? Gibran Harus Belajar Dari Uzumaki Boruto3 min read

Kemarin ketika rebahan tak sengaja saya membuka twitter, akhir-akhir ini di twitter yang sering trending semuanya aneh-aneh. Ya kurang lebih yang sering trending topic yang berbau unsur negatif semacam hastag #akulagipengen ataupun #vcssangek, haduh entah apa yang merasuki netizen twitter saat ini. Namun di tengah-tengah ramainya trending topic yang berbau unsur negatif, saya tak sengaja melihat satu tweet dari media online CNN Indonesia. Kurang lebih judulnya begini “Gibran Berpotensi Lawan Kotak Kosong di Pilkada Kota Solo”, (m.cnn.Indonesia.com, 17/07/2020).

Awalnya respon saya sih biasa-biasa aja, ya biasa lah namanya juga kontestasi politik. Namun disaat itulah kerangka berpikir saya berjalan, tiba-tiba suatu nalar untuk menelaah sesuatu yang sedang terjadi datang dengan spontan. Kurang lebih nalar saya mengatakan “Mas Gibran lawan kotak kosong pasti karena politik dinasti dari bapaknya”. Seperti yang kita ketahui mas Gibran Rakabuming merupakan putra sulung presiden tercinta kita yaitu pakde Jokowi. Awalnya sih saya berpikir sah-sah saja mas Gibran maju di Pilkada Kota Solo memperebutkan kursi 01 di sana. Namun jika kita berpikir secara logika, ini merupakan politik dinasti atau istilahnya politik turun-temurun dari bapak ke anak. Terlebih di kontestasi pilkada kota Solo hampir semua partai mendukung mas Gibran bersama pasangannya mas Teguh Prakosa. Alasan lain juga lawan mas Gibran dari pihak independen pasangan Bagyo Wahyono- FX Supardjo masih menghadapi kendala di proses verifikasi faktual dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo, (m.cnnindonesia.com, 17/07/2020). Hal ini yang memungkinkan mas Gibran akan lawan kotak kosong di pilkada kota Solo nanti.

Terlepas dari semua itu, akan memungkinkan mas Gibran akan menjadi pemimpin di kota Solo kalau lawannya hanya kotak kosong. Ya karena kotak kosong itu hanya ajang ceremonial untuk memanaskan kontestasi politik. Selain itu juga mas Gibran di dukung banyak partai besar, ya kemungkinan 90% akan menang dan 10% hanya data pendukung biar jangan sampai datanya sampai 100% aja heheheh. Berkaca dari hal diatas adalah alasan nalar saya mengatakan kalau ini adalah politik dinasti. Sebenarnya sih saya tidak mempermasalahkan mas Gibran jadi wali kota atau tidak, tapi saya hanya mempermasalahkan masa hampir semua partai mendukung mas Gibran. Apa mereka nggak berani lawan mas Gibran? Atau alasan lain mas Gibran anaknya presiden? Ya semoga saja lawan mas Gibran dari pihak independen tidak mendapat kendala dari KPU dan akan melawan mas Gibran di pilkada nanti. Dengan itulah nilai-nilai demokrasi kita tetap terjaga dengan adanya lawan mas Gibran memperebutkan kursi 01 di kota Solo.

Ngomong-ngomong tentang politik dinasti, mas Gibran harus belajar dari Uzumaki Boruto. Siapa sih yang nggak kenal Boruto? Itu loh anak dari hokage ke-7 Uzumaki Naruto yang diceritakan dalam anime Boruto. Memang sedikit aneh ketika saya membandingkan mas Gibran dengan Boruto yang notabenenya tokoh fiksi 3 dimensi. Namun ini bagus untuk menjadi pelajaran bagi mas Gibran, apa sih yang harus mas Gibran pelajari dari Boruto? Pelajaran yang mas Gibran harus ambil dari Boruto adalah tentang ketidakpekaannya kepada kepopuleran bapaknya yang merupakan seorang hokage pemimpin desa Konoha yang di idam-idamkan.

Selain itu dia tidak ingin menjadi hokage seperti bapaknya dengan alasan menjadi hokage itu tidak keren dan dia ingin menjadi pembantu hokage seperti Sasuke. Mungkin mas Gibran bisa belajar banyak dari Boruto perihal ini, ya memang semua berhak terjun ke dunia politik dan kita tidak dapat mengganggu gugat hal tersebut. Belajar dari Uzumaki Boruto yang bodoh amat tentang kepopuleran bapaknya sebagai hokage adalah pelajaran yang berharga bagi mas Gibran yang memulai karirnya melalui politik dinasti. Tak ada yang salah dengan majunya mas Gibran sebagai calon walikota solo, tapi yang kita takutkan nanti pandangan masyarakat yang miring tentang majunya mas Gibran karena melalui politik dinasti dengan menggunakan relasi dari bapaknya yang merupakan presiden. Jangan sampai pandangan ini akan mencoreng nilai demokrasi kita yang memegang prinsip luber jurdil (langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil).

Share