Fenomena pandemi Corona membuat berbagai tatanan sosial menjadi berubah. Rekonstruksi sosial terjadi karena wabah covid-19 alias corona. Hal itu pula yang membuat berbagai kekacauan di dunia. Tak Cuma kacau dalam bidang kesehatannya saja. Di Indonesia juga kekacauan dialami baik di bidang ekonomi, politik dan sosial. Penanganan yang pada awalnya terkesan lamban dan juga tidak serius memunculkan berbagai macam spekulasi bahwa pemerintah tidak begitu siap untuk menangani masalah ini.
Publik disuguhi berbagai macam lakon para pemangku kebijakan yang terkesan menyepelekan. Bebreapa diantaranya berkelakar bahwa virus ini tidak akan sampai masuk ke indonesia karena izinnya sulit, masyarakatnya suka makan nasi kucing hingga akan memberi diskon tiket pesawat untuk menggenjot sektor pariwisata. Selain itu kesemerawutan penangan pandemi ini juga menjadi sorotan lain. Tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah, simpang siurnya data pasien, hingga kebijakan mudik dan pulang kampung yang malah menambah banyaknya blunder yang dilakukan oleh pemerintah.
Yang baru-baru ini bahkan setingkat kementrian membuat inovasi produk kalung “anti corona” yang tentu saja membuat gempar masyarakat. Bukan karena inovasinya mengenai produk kesehatan, melainkan produk yang dikeluarkan merupakan hasil dair inovasi dari Kementrian Pertanian. Yang mana, kementrian ini sangat tidak relevan mengeluarkan produk kesehatan dengan berbagai macam embel-embel “corona” tanpa adanya riset yang mendalam mengenai khasiat produk tersebut.
Dilansir dari Detik News, hingga bulan April 2020 terdapat 37 blunder yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam menangani pandemi covid-19. Tentu jumlah ini akan bertambah banyak apabila diakumulasikan sampai hari ini. Dengan banyaknya blunder tentu akan mempengaruhi terhadap respon masyarakat. Masyarakat awam berpandangan bahwa pemerintah tidak begitu serius dalam menangani virus ini, padahal banyak negara yang “terjungkal” ketika menangani virus ini. Hal ini menjadi warning pada pemerintah, bukan hanya tentang bagaimana membuat kebijakan baik itu untuk penanganan ataupun kebijakan preventif untuk mencegah apabila sewaktu-waktu akan terjadi wabah seperti ini lagi.
Padahal, apabila berkaca pada penanganan virus yang juga pernah terjadi di indonesia seperti wabah virus flu burung dan flu babi Indonesia mampu ditangani dengan cukup baik. Tentu saja apabila berkaca pada strategi kebijakan dapat ditiru sehingga tidak kewalahan dalam menangani. Seharusnya dalam keadaan seperti ini, pemerintah memberikan trust kepada masyarakat agar masyarakat tidak ikut-ikkutan latah dan juga menyebarkan berita-berita yang belum terverifikasi kebenarannya yang malah dapat memperkeruh suasana.
Selain itu, Masalah yang terjadi di daerah terkait batuan pasca diterapkannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga memunculkan banyak spekulasi di dalamnya. Mulai dari bantuan yang tebang pilih, data yang invalid sampai indikasi penggunaan sembako untuk kampanye menjelang Pilkada serentak 2020. Bahkan DPR sampai mengkritik bantuan sosial yang telat karena menunggu tas presiden terlebih dahulu. Hal lain yang membingunkan di akar rumput adalah ketidakserasian antar lembaga dalam menangani masalah ini mulai dari komunikasi yang tidak baik hingga presiden meunjuk jubir khusus terkait corona ini. Bagi-bagi bantuan sosial dijadikan sebagai ladang untuk mendulang perhatian masyarakat bagi calon-calon kepala daerah yang akan mengikuti kontestasi pilkada. Tentu ini sangat efektif untuk mencari perhatian para pemilih. Terlebih bagi petahana ini dapat dijadikan kampanye terselubung yang dibungkus bantuan pemerintah.
Tindakan para pejabat publik yang semena-mena ketika menanggapi corona sedikit berbeda ketika disandingkan dengan Gubernur DKI Jakarta. Sebagai ibu kota negara, tentu Jakarta menjadi Rule of Model penanganan wabah ini. Berdasarkan enuturan Anies Baswedan bahwa pihak pemprov Jakarta telah memonitoring sejak awal Januari. Namun, pihaknya tidak mau mendahului langkah pemerintah pusat dalam penanganannya. Tapi, respon pemerintah pusat pada saat itu malah membuat publik beropini bahwa mungkin corona tidak akan sampai ke Indonesia. Namun, kebijakan yang dikeluarkan di DKI ataupun pusat juga menjadi polemik terutama ketika kebijakan yang seakan-akan bertentangan sehingga malam memunculkan anggapan di masyarakat bahwa antara presiden dan gubernur DkI sedang beradu kekuatan politik. Hal ini tentu sangat buruk karena kontra produtif dengan penanganan pandemi.
Melihat berbagai macam perilaku yang dilakukan pemerintah dalam menangani masalah ini, banyak publik yang mulai beropini tentang “bagaimana seharusnya penanganan pandemi ini?”. Tak dapapt dipungkiri memang, panggung konstelasli politik tak ayalnya seperti panggung hiburan. Yang menuntut seseorang untuk memngambilperannya masing-masing. Teori dramaturgi yang digagas oleh Evrin Goffman dalam buku The Presentation of Self in Everyday Life mengatakan bahwa perilaku dalam pertunjukan kehidupan sehari-hari yang menampilkan diri sendiri sama seperti penampilan para aktor disebuah panggung drama.
Presiden Jokowi serta seluruh pejabat publik yang menangani pandemi ini sama halnya dengan para aktor drama. Sejumlah skeneraio juga disiapkan untuk menangani maslah ini mulai dari social distancing, PSBB hinga kemungkinan terburuk lock down. Pesan-pesan baik secara verbal dan non-verbal diungkapkan agar meyakinkan masyarakat bahwa negara sedang serius menangani. Selain itu, berbagai konferensi pers yang dilakukan juga bertujuan agar meninggalkan kesan baik di masyarakat.
Goffman mengungkapkan tindakan ini sebagai impression management. Dalam hal memainkan peran, panggung politik sama dengan panggung hibran dimana semua aktor politikharus menampilak yang terbaik ketika berada didalam panggung (front stage). Publik diajak untuk masuk kedalam skenario, dengan demikiran tindakan bukanlah sesuatu yang natural melainkan telahdi konstruksi dalam realitas seolah-olah. Hal ini akan berbeda dengan panggung belakang (back stage) yang bebas dan juga representasi dari tindakan apa adanya.
Opini publik dibentuk bahwa dengan berbagai kebijakan yang pemerintah buat akan membuat masyarakat beropini bahwa pemerintah dengan begitubaiknya menangani masalah pandemi covid-19. Namun, pola-pola komunikasi yang diterapkan oleh pemerintah nyatanya malah membuat penanganan tidak begitu seruius pada awalnya. Namun malah membuat berbagai macam dagelan untuk menutupi ketidaksiapan Indonesia dalam menangani. Ketidaksiapan itu baik dari segi fasilitas berupa rumah sakit yang masih minim memiliki tempat isolasi khusus hingga banyak pasien yang disinyalir suspect covid-19 banyak ditolak.
Layar depan yang diampilkan oleh pejabat publik yang menjadikan corona sebagai lelucon menjadi indikator ketidakseriusan dalam penanganan. Apalagi dengan adanya statment dari Menkes bahwa corona dapat dicegah melalui doa menjadi sorotan media asing Australia. Tidak satu suara antara pemerintah pusat dan daerah seperti jumlah pasien positif yang pada awalnya berbeda antara data yang dimiliki oleh pusat juga menandakan adanya miskomunikasi dan kordinasi.
Seharusnya, dalam menangani pandemi ini selain dengan menerapkan kebijakan yang tepat pemerintah juga harus memperhatikan psikologi masyarakat. Karena apabila masyarakat secara terus menerus disuguhi blunder dan dagelan khas penanganan pandemi bukan tidak mungkin kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah akan turun. Turunnya kepercayaan masyayrakat akan berpengaruh dalam partisipasi masyarakat dalam menangani pandemi ini.
Mahasiswa Ilmu Politik dan kader magang organisasi Hijau-Hitam