Mainstream (arus utama)? Apa itu mainstream? Jika diliat dari KBBI arti mainstream adalah 1. (n) ide, tindakan, dan nilai yang diterima secara luas oleh sekelompok masyarakat atau golongan. Seperti dalam politik, mode, atau musik. Dan 2. (a) mewakili sikap, nilai, dan praktik yang diterima secara umum dalam masyarakat atau kelompok. Dari definisi tersebut dapat diambil point penting berupa, ide/tindakan/nilai yang diamini oleh masyarakat/golongan.
Kita biasa mengenal istilah mainstream dengan sebutan “kewajaran”. Sebuah fenomena yang seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari, bukan berupa keanehan, kegilaan, dan juga anomali. Contoh dari hal ini adalah, pacaran atau romantisme-naive yang dialami oleh para remaja sekarang, juga beberapa orang dewasa-dan anak kecil. Pacaran adalah fenomena mainstream saat ini, dimana hal tersebut sangatlah wajar dan bukan berupa keanehan, malah akan sangat lucu apabila kita (orang-orang yang berada dalam mainstream) menjumpai seorang remaja, yang sudah berumur 17 tahun ke atas, hari ini dan ia tidak memiliki pacar.
Itu adalah produk yang dihasilkan oleh masyarakat kita saat ini. Sebuah produk yang sebenarnya cukup alamiah untuk dihasilkan manusia. Karena bagaimanapun juga dalam diskursus psikologi (dalam hal ini psikologi perkembangan), tindakan intimasi/keinginan untuk dekat dengan seseorang, adalah salah satu tindakan yang wajar dan harus dilalui oleh individu. Permasalahannya dalam psikologi hal itu ditujukan untuk mendapatkan karakter yang ideal/tidak sakit, bukan untuk dijadikan gaya hidup, fokus utama, atau goal individu. Menjadi dekat dengan orang lain bukanlah masalah, tetapi jika hal itu dijadikan fokus utama, dan membuat si individu melupakan apa yang seharusnya ia tuju, maka itu adalah sebuah kekeliruan yang besar.
Hasrat adalah suatu hal yang alamiah, namun pembebasan dan pemasrahan putusan kepadanya adalah suatu kecerobohan dan tindakan yang perlu dihindari.
Dikutip dari salah satu ceramah Prof. Karlina Supelli, dia mengatakan bahwasanya hasrat tidak boleh dibiarkan begitu saja, tak terdidik, dan juga liar. Selain pendidikan intelektual kita juga perlu mendidik habit (ragawi) dan juga hasrat agar semuanya dapat berlaku sebagaimana mestinya. Hasrat yang tak terdidik cenderung bersifat merugikan, dan acapkali bersifat destruktif, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Raga/habitpun juga demikian, harus terdidik semuanya, harus tirakat, dan juga harus matang. Kebiasaan adalah lahan kosong yang perlu kita tanami kebajikan-kebajikan, bukan kedzaliman, karena begitu ia tumbuh, maka ia tidak akan berhenti, kecuali ia mati.
Hal ini adalah salah satu pengetahuan yang jarang diketahui oleh orang-orang belakangan ini. Dimana mereka hanya memandang pendidikan sebagai intrumen untuk mengembangkan akal dan juga logika saja, bukan yang lainnya. Sebuah pandangan yang benar-benar mereduksi arti dari pendidikan itu sendiri. Karena bagi mereka pendidikan hanya khusus untuk akal/intelektual saja, sehingga hal selain itu bukanlah pendidikan dan sama sekali tidak mencerdaskan.
Para orang tua sibuk menceramahi guru yang menghukum muridnya dengan tindakan fisik, seperti menyapu halaman, memunguti sampah, ataupun membersihkan lapangan. menurut mereka hukuman seperti itu bukanlah pendidikan, bukan hal yang dapat mencerdaskan anak-anaknya. Mereka tidak pernah tahu bahwa dengan hukuman semacam itu, kepedulian seorang anak terhadap lingkungan bisa saja muncul dan juga tumbuh menjadi kebiasaan. Ini adalah fenomena-fenomena mainstream yang terjadi di masyarakat kita saat ini.
Kembali lagi pada pembahasan awal, mainstream. Dalam teori milik Michel Foucault (salah seorang filsuf Prancis) tentang kegilaan. Dia menyebutkan bahwasanya kegilaan/ketidak wajaran ditentukan oleh episteme yang membentuknya. Sebuah pengetahuan yang menjadi landasan utama suatu masyarakat. Dengan adanya pengetahuan itu, suatu aturan akan muncul, dan barometer terhadap segala hal akan ada dengan sendirinya. Apakah ini wajar? Ataukah tidak? Apakah dia normal? Atau jangan-jangan dia gila? Itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan muncul ketika episteme terbentuk dan mengakar di masyarakat. Sebuah logika dan nalar yang menentukan bagaimana seharusnya sosial berjalan.
Lalu apa hubungannya teori milik Foucault dengan mainstream yang telah dibahas di awal? Penulis berpendapat bahwasanya mainstream cukup mirip dengan teori kegilaan yang foucault sebutkan. Hanya saja lebih ringan dan tidak terlalu esktrem. Dalam teori milik Focault, kekuasaan atau pihak dominasi –yang nantinya menentukan pergerakan sosial– bukanlah terletak pada pemerintahan, atau sekelompok orang yang bertindak untuk mengelola sosialnya. Melainkan pada episteme/pengetahuan yang mengakar pada masyarakatnya. Dan hal ini adalah apa yang terjadi pada mainstream. Dimana ia benar-benar membawa seluruh sosial di dalamnya menuju tepi yang ia kehendaki.
Inilah permasalahannya, jika mainstream itu baik maka tidak apa-apa dan malah bagus, tapi jika tidak? Bagaimana nasib sosial di dalamnya? Bangunan-bangunan hancur tidaklah masalah, perekonomian runtuh masih bisa dibangun kembali, tetapi apabila sosial yang rusak, moralnya, nilai-nilainya, juga spirit di dalamnnya? Bukankah itu masalah yang teramat besar? Bayangkan saja seperti ini, ada seorang individu yang muncul di masyarakat yang mengedepankan popularitas, penampilan dan juga kekayaan. Sedangkan dirinya jauh lebih mengedepankan pengetahuan, kerendah hatian, juga kemanusiaan. Bagaimana nasib individu tersebut? Apakah ia akan selamat dan tetap mengedepankan apa yang ia bawa? Atau ia akan larut kedalam mainstream dan terseret menuju tepi yang ia tentukan?
People know what they do; frequently they know why they do what they do; but what they don’t know is what they do does.
― Michel Foucault, Madness and Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason
MasyaAllah tabaarakallah, tulisan yang tajam dan cukup sederhana untuk diikuti dan dipahami. Semoga banyak anak muda yang membaca. Saya sudah bantu share. Jazaakumullaahu khairan untuk penulis dan tim Mengeja Indonesia.