Suburnya Patologi Birokrasi Diskursus Problematika Netralitas ASN5 min read

Istilah patologi birokrasi khususnya dalam ilmu politik dan pemerintahan telah menjadi bahan diskursus yang menarik untuk dianalisis dan dipahami. Namun kata “Patologi Birokrasi” di sisi lain menjadi istilah yang jarang dimengerti oleh masyarakat awam lebih-lebih mereka yang tidak pernah belajar ilmu politik pemerintahan. Secara sederhana istilah patologi birokrasi dapat diurai maknanya untuk mempermudah kita memahami apa itu patologi birokrasi.

Patologi dapat diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari tentang penyakit. Sementara birokrasi berasal dari kata beauraccy atau biro yang artinya meja-meja pelayanan. Jadi patologi birokrasi dapat dimaknai sebagai penyakit dalam sebuah birokrasi. Melalui artikel ini penulis ingin memaparkan kesuburan patologi birokrasi di Indonesia tetapi tidak membahas persoalan patologi birokrasi yang terlalu mainstream.

Sebut saja misalnya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme). Masalah ini memang menjadi bagian dari patologi birokrasi yang ada di Indonesia, namun penulis mencoba untuk membawa cara pikir kita semua agar jika berbicara patologi birokrasi tidak hanya terpaku pada persoalan KKN semata. Ada patologi-patologi lain yang justru subur dan tumbuh dengan baik tanpa sepengetahuan kita, namun kita tidak menyadari apa patologi birokrasi di luar persoalan KKN.

Salah satu bentuk daripada patologi birokrasi ini justru menyangkut bagian dari sistem birokrasi itu sendiri yakni “Netralitas Aparatur Sipil Negara” atau dikenal juga dengan “Netralitas Birokrasi”.Tentu persoalan tersebut memunculkan pertanyaan mendasar bagi kita semua, mengapa  birokrasi ataupun aparatur sipil negara harus bersifat netral? Selanjutnya pertanyaanya kemudian jika sebuah birokrasi tidak netral apa implikasinya bagi yang bersangkutan atau bagi birokrasi itu sendiri?

Netralitas ASN dalam Potret Pemilihan Umum

Pemandangan pelanggaran netralitas oleh ASN dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum baik itu pemilihan eksekutif, legislatif tentu tidak bisa disangkal. Harus kita akui bahwa pelanggaran netralitas ASN telah mewarnai suburnya patologi birokrasi yang ada di Indonesia. Bahkan sudah diperingatkan oleh lembaga-lembaga yang memiliki otoritas pengawasan dan penjagaan terhadap netralitas ASN namun nampaknya regulasi ataupun institusi yang dibentuk tidak membuat mereka takut.

Misalnya saja KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara) yakni sebuah lembaga yang mengawasi nertalitas ASN begitu pula lembaga ombudsman RI yang menerima aduan jika ada laporan dugaan pelanggaran netralitas ASN dalam pemilu. Tingginya pelanggaran netralitas ASN memunculkan pertanyaan besar yakni apakah lembaga pengawasanya tidak bekerja dengan baik atau regulasinya yang tidak memiliki kekuatan hukum.

Terlepas dari itu semua maka pelanggaran nertalitas telah menjadi sebuah budaya dan kebiasaan yang terus berulang dan berulang. Kalau kita lihat dari laman www.kasn.go.id maka dari tahun 2015 sampai tahun 2018 terjadi peningkatan aduan terkait pelanggaran netralitas ASN. Jumlah aduan di tahun 2015 adalah 29 meningkat menjadi 55 di tahun berikutnya dan menurun 2 digit pada 2017 menjadi 52 dan mengalami peningkatan signifikan di 2018 menjadi 491.

Tentu peningkatan jumlah aduan juga dipengaruhi oleh jumlah daerah yang menggelar pemilihan umum. Bahkan data terbaru dari KASN menyatakan jika sampai dengan pada 15 Juni 2020 telah ada 369 orang ASN yang dinyatakan melanggar netralitas ASN. Tentu ini sangat disayangkan apalagi 33% pelanggaran ini dilakukan oleh Pimpinan Tinggi di Daerah. Sungguh persoalan netralitas telah mewarnai wajah patologi birokrasi Indonesia yang semakin hari kian mengkhawatirkan.

Urgensi Netralitas ASN Birokrasi

Tentu sebagian kita bertanya-tanya mengapa ASN  birokrasi harus menjunjung tinggi asas ketidak-berpihakan (netralitas). Sebagai ASN tentu netralitas menjadi sebuah keharusan yang wajib dipatuhi karena hal tersebut sangat berkaitan dengan nasib diri dan karier seorang ASN. Netralitas sebetulnya merupakan sebuah warning bagi ASN agar keedudukanya (karier) tidak terancam dan mampu membawa dirinya dalam situasi aman dan kondusif. ASN sebetulnya merupakan pegawai yang secara struktural berada di bawah jabatan politik sehingga netralitas menjadi pilihan yang aman.

Jika kita cemati sebetulnya kedudukan menjadi ASN merupakan kedudukan yang sangat dilematis jika diperhadapkan dengan jabatan politik. Di satu sisi pelanggaran netralitas akan bisa menguntungkan kariernya namun di sisi lain juga akan menghancurkan kariernya sebagai ASN. Dikatakan dilematis karena menjadi ASN diberikan opsi yang sulit memilih sehingga netralitas menjadi jalan tengah agar ASN tidak terombang-ambing kariernya dan tetap bisa bekerja secara profesional.

ASN dalam teori ilmu pemerintahan sebetulnya menjadi pelaksana kebijakan pemerintah sehingga tidak boleh seorang ASN menjadi alat politik bagi pejabat politik untuk mendapatkan kekuasaanya. Sebagai bagian dari sumber daya birokrasi ASN harus mampu mengendalikan kewajibanya agar tidak terperangkap oleh jebakan politik.

Ada beberapa alasan mengapa netralitas menjadi pilihan dan jalan tengan bagi ASN. Pertama, berkaitan dengan persoalan karier (masa kerja). ASN tidak bisa dipersamakan dengan jabatan politik. Karier seorang ASN sangat panjang sementara karier jabatan politik hanya lima tahunan dan akan dipilih kembali melalui pemilihan umum. Jika ASN tidak netral atau memihak salah satu pasangan calon dalam pemilu maka ketika yang didukung tidak terpilih maka karienya akan terancam. Bisa dimutasi di sebuah tempat terpencil, atau bahkan dicopot dari statusnya sebagai ASN.

Namun jika yang diusungnya terpilih sebagai pemimpin yang menduduki jabatan politik maka seorang ASN bisa di tempatkan dalam jabatan yang strategis. Seorang jabatan politik memiliki kewenangan untuk menata sistem birokrasi yang ada baik itu merombak seluruh pegawai-pegawainya atau tetap mempertahankanya. Oleh karena itu netralitas menjadi tameng untuk melindungi kariernya secara sederhana.

Kedua berkaitan dengan power atau kekuasaan yang melekat. Secara logika kewenangan yang dimiliki oleh jabatan politik lebih power dibandingan yang dimiliki oleh ASN. Seorang pejabat politik memiliki kendali dan kontrol untuk memutasi, memecat, atau mendiklatkan seorang ASN. Adanya tingkat kewenangan pejabat politik yang lebih besar dibandingkan dengan ASN ini menjadi warning agar ASN tidak mencoba bermain-main dengan api bila ingin aman posisinya. Tentu setiap ASN memiliki harapan untuk bisa bekerja dengan baik tanpa dihambat oleh kekuatan politik lainya yang bisa membuat kinerjanya terganggu.  

Ketiga, berkaitan dengan aspek profesionalitas dan asas kepatuhan hukum. Menjunjung tinggi aspek netralitas menjadi hal yang wajib dilakukan oleh seorang ASN. Setiap negara dan kepemerintahanya tentu memiliki regulasi atau aturan yang membuat sebuah tatanan menjadi lebih baik. Seperti halnya dalam persoalan ASN juga nampaknya netralitas telah memiliki landasan hukum yang mengikat. ASN wajib bekerja secara profesional sesuai dengan tanggung-jawabnya serta harus tunduk pada aturan yang telah dibuat oleh pemerintah.

 Dibentuknya regulasi ASN) dengan UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menunjukkan jika lembaga KASN memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menjaga ASN agar tetap menjunjung tinggi asas netralitas. Seorang ASN tidak boleh terlibat politik praksis karena hal tersebut akan mengganggu kinerja birokrasi sebagai implementasi kebijakan pemerintah.

Terakhir berkaitan dengan persoalan ASN sebagai services function (fungsi pelayanan kepada masyarakat). Lahirnya paradigma ASN sebagai abdi pelayan masyarakat tentu harus dilakukan dengan sepenuh hati. Tidak boleh sorang pelayan masyarakat dalam hal ini mencampur-adukkan politik praksis dengan pelayanan. Hal tersebut tentu akan mengganggu kinerjanya sehingga akan mengerdilkan bahkan menggeser fungsi pelayanan seorang ASN. Ini mesti harus dihindari oleh ASN karena kalau sudah terlibat politik praksis maka mereka akan menjadi alat politik dan kewajibanya tidak dapat dilaksanakan dengan baik.

Mahasiswa Departemen Ilmu Pemerintahan FISIPOl Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like