Beberapa hari lalu dalam postingan akun sosial milik Eka Kurniawan. Getol sekali ia melakukan konfrontasi terhadap pembajakan buku yang terus-menerus dilakukan dalam banyak marketplace yang ada di seluruh Indonesia. Dan kerentanan ini pun sebenarnya banyak terjadi di daerah yang cukup dikatakan mempunyai persaingan intelektual yang tinggi.
Seperti halnya saja, kota Batu. Daerah yang disebut-sebut sebagai kota pendidikan ini ternyata adalah yang paling getol dalam hal pembajakan buku. Sebut saja Wilis, salah satu marketplace yang hampir semua bukunya adalah bajakan. Hingga pengalaman saya ketika membeli buku di sana. Terlihat sangat jelas persaingan antar toko, yang mana ketika saya menawar buku di toko A, misalnya, dengan harga 30. Secara spontan toko B yang mendengarkan penawaran tersebut langsung memberikan harga buku yang lebih murah dengan harga penawaran yang saya lakukan sebelumnya. Tentu saja dengan pola pikir; yang kecil tapi banyak.
Hal di atas sangat wajar terjadi di setiap marketplace yang ada di Indonesia. Pembajak buku dengan alasan sederhana Eka, karena ia telah memiliki alat produksi dan memiliki kapital untuk menekan bahan baku—pada saat yang sama tidak membayar upah pekerja (penulis, editor, desainer, layouter, dll). Serta dengan pemahaman kolektif masyarakat yang menganggap bahwa membeli buku bajakan lalu membacanya bukan merupakan tindakan kejahatan. Karena dalam pandangan komunal mereka, buku terlihat sebagai gudang pengetahuan yang tidak diimbangi dengan penalaran kritis terhadap pembajak buku.
Seperti yang dilansir dari Republika.co.id pada Selasa, 05 November 2019, disebutkan bahwa Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Arys Hilman mengatakan keberadaan marketplace yang tak lagi menghiraukan pembajakan buku secara tidak langsung merugikan banyak belah pihak (penulis, penerbit, editor atau pun designer cover) dan hal ini pula merupakan langkah membunuh kreatifitas. “Karena kalau tidak akan kehilangan konten. Karena buku terkait konten, begitu dia dibunuh proses kreatifnya, kontennya akan hilang,” kata Arys menjelaskan. Ia pula menegaskan kalau memang merupakan seorang intelek, seharusnya dapat menghargai karya intelektual lainnya.
Padahal dalam Pasal 1 ayat 23 UU 28/2014 saja, sudah jelas-jelas mengungkap definisi pembajakan adalah “Penggandaan ciptaan secara tak sah dan pendistribusian barang hasil penggandaan secara luas untuk memperoleh keuntungan ekonomi.” Bahkan, pelakunya diancam dengan pidana penjara maksimal 10 tahun atau denda Rp 4 miliar, sesuai Pasal 112, 113 ayat 3, dan Pasal 114 UU Nomor 28 Tahun 2014.
Pembajak buku, kehadirannya di satu sisi muncul sebagai pahlawan disebabkan buku yang ia jual laku sekalipun dengan harga miring. Akan tetapi di sisi lain, bagi penulis, penerbit, editor, dll, hal tersebut merupakan langkah mengibiri ekonomi mereka yang seharusnya dengan pundi-pundi itulah mereka menghidupkan ekonominya. Sehingga tak lagi bisa dikatakan bahwa dunia kesusastraan kita akan berkembang bila soal mengolah rasa saja mereka tak bisa. Dan soal kata ‘menghargai’ di hati mereka, hanya cukup tertanam; yang penting saya dapat, soal mereka, terserah.
Maka benar apa yang dikatakan Eka di atas, sebagaimana pula Pram. Ia tidak ingin dengan adanya marketplace di seluruh Indonesia akan menjadi penghambat bagi kesusastraan bangsa. Seperti dikatakan oleh Arys Hilman, hal tersebut merupakan langkah membunuh kreatifitas. Maka apa yang masih bisa kita harapkan? Di samping kita harus memperbaiki minat baca bangsa yang masih jauh diharapkan dapat pulih dengan segera. Di sisi lain kita dihadapkan dengan kehadiran pembajak buku yang dapat merusak pertumbuhan kesusastraan ke depannya.
Dalam bermacam diskusi kebudayaan yang dilakukan di beberapa daerah. Pertanyaan apa fungsi kesusastraan terhadap negara masih menjadi primordial. Pendapat klasik Horace yang menyatakan bahwa seni cukup menyajikan keindahan dan berguna (dulce et utile). Sedangkan pendapat Heidegger, fungsi kesusastraan khususnya dalam puisi adalah tak lain merupakan fondasi kebenaran.
Namun pendapat Muhammad Iqbal, si Penyair Timur, seakan ingin melampaui kedua pendapat tersebut dengan menyatakan bahwa fungsi seni yang dalam hal ini puisi, adalah perwujudan kehidupan, perwujudan diri. Bagaimana bisa mewujudkan diri secara kukuh tanpa mengenal diri, dan bagaimana manusia mengenal dirinya apabila tidak mengenal Tuhan terlebih dahulu sebagai sumber dari kehadirannya di bumi (Abdul, 2020: 27-28)
Secara tersirat, dapat di tarik benang merahnya mengenai kasus pembajakan buku yang marak terjadi. Sebagaimana fungsi seni dalam hal ini mencakup pula kesusastraan. Maka ketika seni merupakan alat perwujudan diri dan kehidupan. Secara tidak langsung kita pun harus mengukuhkan diri dengan langkah mengenal tuhannya terlebih dahulu, yakni agama.
Bukankah hal pengkebirian ekonomi seseorang yang tidak menjadi haknya adalah termasuk dari tindakan yang bertentangan dengan ajaran agama. Dan dalih bagaimanapun yang mengantarkan mereka tidak mempercayai Tuhan. Sesungguhnya sesuai apa yang dikatakan Thahjono Widarmanto, bahwa setiap manusia mempunyai rasa ‘bertuhan’, perasaan ini pun merupakan nurani manusia yang paling fitrah, yang paling suci, yang setiap saat muncul dari alam bawah sadar manusia.
Maka dengan dalih apa pun mereka mengatakan pembelian buku bajakan atas dasar pengetahuan. Maka pengetahuan dasar manusia sebagai makhluk religi merupakan pengetahuan pertama kali yang mereka dustakan. Maka benar apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh, I went to the West and saw Islam, but No. Muslims; I got back to the East and saw Muslims, but not Islam. Dan itulah yang terjadi menyoal kelonggaran pasal-pasal hak cipta di negara kita, yang hanya sebatas ada tanpa ada tindakan tegas dari pemerintah.
Lain halnya ketika kita melaporkan sebuah pencurian dengan sigapnya aparat kepolisian bahkan warga ikut untuk mencarinya. Beda sekali dengan pelanggaran hak cipta ini, sekalipun tahu bahwa hal tersebut dilarang, tetap saja tak ada tindakan tegas dari pemerintah dan masyarakat sekitar. Kasus ini pun diperkirakan akan ditindak lanjuti bila ada pengaduan dari korban, itu pun bila ditanggapi dengan sigap. Kalau tidak? Entah. Lalu kapankah kita akan berbenah, pasca hegemoni politik di atas kebudayaan pada dekade 50-an sudah membuat kesusastraan kita lamban bahkan tersendat. Sehingga dengan pertentangan paham yang begitu hebatnya, caci-mencaci hingga keluar dari etika sastra atau pun moral dan bermaksud membinasakan lawannya pada akhirnya menghambat perkembangan kesusastraan kita yang masih muda ini.
Kedua paham L’art pour l’art dan l’art engagee yang menjadi pertentangan antara dua kubu hanya berlandaskan hegemoni kekuasaan sekedar menjadi isi yang kosong. Dan hal itu pun berlanjut dengan era orde baru yang membatasi hak-hak sipil untuk menyuarakan aspirasinya bahkan sampai membungkam pendapat- pendapat mereka sehingga banyak yang berakhir menjadi tahanan politik (tapol) dan lagi-lagi membuat kesusastraan kita tak mendapati ruangnya untuk berkreasi secara bebas. Lalu akankah pembajakan buku kali ini adalah tindak lanjut berikutnya untuk mematahkan kreatifitas kita dan membuat nasib kesusastraan kita ke depannya akan lebih muram. Entahlah?
Referensi:
Mahasiswa UNUJA